Oleh: Alja Yusnadi
Terawan Agus Putranto, seorang militer sekaligus dokter. Terawan, satu diantara sedikit dokter militer yang mampu sampai ke puncak karir dan dibincangkan banyak orang. Di militer, Terawan mengakhiri karir sebagai Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, dengan tiga bintang di pundaknya.
Di bidang kesehatan, Terawan juga sudah meraih gelar doktor, sehingga gelar dan namanya menjadi Letjen (Purn) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K). Terawan melengkapi rentang karirnya dengan menjadi dokter khusus kepresidenan.
Entah karena itu, Presiden Joko Widodo melantik Terawan untuk memimpin kementrian yang sangat penting: Kementrian Kesehatan. Ya, Terawan menjadi Menteri Kesehatan di periode kedua Jokowi sebagai Presiden.
Bukan Terawan namanya jika tidak diselingi kontroversi. Menjelang penunjukannya sebagai Menteri Kesehatan, Majlis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyurati Presiden agar tidak mengangkat Terawan menjadi Menteri Kesehatan, karena sedang dijatuhi sanki etik oleh IDI.
Sebabnya, praktik “cuci otak” Terawan dianggap belum memenuhi kreteria praktek medis.
Akan tetapi, surat MKEK itu tidak menghalangi Terawan untuk menjadi Menteri. Tidak lama setelah dilantik, kinerja Terawan kembali dihadapkan pada situasi yang tidak mudah: Korona.
Beberapa kali Terawan lepas ucap soal Korona, pada saat itu virus baru ditemukan di Wuhan, China belum sampai ke Indonesia.
Lama tidak terdengar, baru-baru ini Terawan kembali mengeluarkan statement, seperti biasa, kata-kata Terawan tidak mampu menembus sekat awam.
Entah benar demikian, atau karena pengaruh masa lalu Terawan sebagai militer, dokter ahli radiologi ini menyebut Indonesia memiliki persediaan 3500 dokter cadangan. Saya tidak paham, apakah dokter cadangan itu seperti pasukan cadangan yang lagi bersiap di dalam barak.
Dokter bersama tenaga kesehatan lainnya menjadi salah satu kelompok yang beresiko tinggi penularan Korona. Setidaknya, sampai tulisan ini dirilis sudah lebih seratus orang dokter—dokter umum dan dokter spesialis—yang meninggal dunia, kalau terpapar, pasti sudah banyak.
Sebagaimana tentara ketika perang, dokter menjadi garda depan dalam menangani pasien positif Korona. Belum lagi, dokter beresiko merawat pasien yang belum mengetahui sudah terinfeksi.
Jika tidak diproteksi, bukan tidak mungkin suatu saat tenaga kesehatan akan ambruk, kewalahan menangani pasien Korona.
Lihat saja, beberapa fasilitas kesehatan harus tutup sementara karena petugasnya terpapar Korona yang salah satu sebabnya berasal dari ketidakdisiplinan pasien atau keluarga pasien.
Beberapa hari yang lalu, layanan cuci darah di RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh harus ditutup sementara karena dokter dan perawat di ruangan tersebut sudah terpapar Korona.
“Sangat dahsyat akibatnya jika petugas bertumbangan lantaran positif Covid. Efek lanjutan akan dirasakan oleh masyarakat, khususnya kelompok yang sangat rentan terhadap Covid,” ungkap Dr.,dr, Azharuddin SpOT K-Spine, FICS Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin.
Azhar benar. Satu sisi dokter harus menyelamatkan diri, di sisi yang lain, dokter terikat sumpah untuk melayani masyarakat dalam situasi apapun.
Semangat melayani ini juga yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Budi Warsono, SpPD, K-HOM, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Sebagai dokter spesialis penyakit dalam, Prof. Budi masih melakukan praktik di usianya yang sudah tidak muda lagi, sekitar 76 tahun.
Guru besar FK Unair itu bukan tidak paham akan resiko yang akan dihadapinya, apalagi tempat prakteknya di Kota Surabaya, kota yang menjadi salah satu penyebaran terparah Korona.
Namun, itulah tugas yang harus diemban. Menurutnya, jika dokter menolak untuk mengobati karena takut Korona, itu melanggar sumpah. Begitu kokoh guru besar itu memagang sumpah.
Walaupun sudah mengantisipasi, toh, akhirnya Prof Budi terkena juga, dia meninggal sebab Korona.
Kembali kepada pernyataan Terawan, setelah saya ulek diberbagai media daring, ternyata yang dimaksud dokter cadangan itu adalah dokter intersif, yang lagi magang. Bukan seperti pasukan cadangan yang lagi antri di dalam barak.
Kalau dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat merekrut pasukan rakyat, komponen cadangan, melatih beberapa hari dan mempersenjatainya. Mendidik dokter tidak bisa sesingkat itu. dalam waktu normal saja, seorang dokter menghabiskan setidaknya 5 sampai 6 tahun untuk memperoleh gelar dokter. Untuk spesialis, ditambah 4-5 tahun lagi. Sementara itu, seorang bintara, dalam waktu normal dididik dalam waktu sekitar 6 bulan.
Karena membutuhkan waktu yang panjang, agak kerepotan jika Pemerintah harus merekrut dokter rakyat. Jadi, soal dokter cadangan itu, tidak usahlah menjadi strategi utama.
Langkah pertama, proteksilah dokter dan tenaga kesehatan yang sudah ada dengan seprotek-proteknya. Jika tidak berhasil, barulah dipersiapkan langkah berikutnya. Membuat program akselarasi mahasiswa Fakultas Kedokteran yang lagi magang atau Co-as dipercepat, dipermudah atau dipersingkat. Berikutnya, mahasiswa semester akhir dipermudah untuk Co-as dan intersip.
Dalam hal ini, Terawan harus berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan, Fakultas Kedokteran se-Indonesia, IDI dan organisasi profesi lainnya. IDI pun demikian, harus membackup kerja-kerja kementrian kesehatan. Lupakan sebentar persoalan surat rekomendasi itu. Sekarang waktunya berjibaku, untuk menanggulangi Korona.
Ini saatnya Terawan membuktikan bahwa dia layak memimpin kementrian kesehatan, bukan Menkes Cadangan.