Oleh: Alja Yusnadi
Libya boleh saja porak poranda, dilanda perang saudara. Pun Presidennya Kolonel Muammar Khadafy mengakhiri hidup secara mengenaskan. Dibunuh oleh lawan politiknya yang juga orang Libya.
Pemimpin Diktator itu dicongkel dari kekuasaannya. Oleh rakyatnya sendiri yang membentuk Dewan Transisi Nasional yang didukung penuh oleh Amerika Serikat dan sekutu.
Di tangan Khadafy, Libya tersohor hingga ke seluruh negeri. Dengan minyaknya, Libya menjadi lahan ekspansi.
Kemashuran Libya sampai ke Aceh. Saya sudah fasih mengucapkan Libya, Tripoli dan Khadafi sejak usia sekolah dasar. Sepasih menghafal nama-nama Menteri kabinet pembangunan.
Bagi orang yang tinggal di Aceh, Libya itu identik dengan pasukan elit. Jika sudah mendengar eks Libya, itu adalah pasukan tempur.
Libya menjadi “Rindam” bagi pasukan elit Aceh Merdeka. Tidak semua bisa ke sana. Itu pasukan khusus, kemampuan tempurnya diatas rata-rata. Setidaknya, itulah yang saya dengar cerita perihal lulusan Libya.
Beberapa nama eks Libya, Arjuna, Ahmad kandang, Ishak Daud, Muzakir Manaf, sangat familiar di saat Aceh perang. Karena aksi-aksi mereka yang tergolong nekat dan kemampuan tempur di atas rata-rata.
Entah benar demikian atau propaganda semata, yang jelas eks Libya merupakan pasukan kelas satu. Disegani lawan, diakui kawan.
Peran Eks Libya tidak hanya pada saat konflik saja. Setelah damai, selain tunduk di bawah payung Komite Peralihan Aceh (KPA)—lembaga eks kombatan GAM—mereka juga mendirikan Komite Mualimin Aceh (KMA).
Dalam situasi genting atau kemelut politik, eks Libya pasti muncul ke permukaan, memberikan pernyataan.
Setidaknya, KMA sudah beberapa kali menanggapi situasi politik Aceh kekinian. 2016, KMA mengingatkan Pemerintah Aceh untuk segera mengibarkan bendera Bintang Bulan.
Beberapa hari yang lalu, Ketua KMA Zulkarnaini atau biasa dipanggil Teungki Ni bersama panglima wilayah KPA se Aceh melakukan pertemuan. Salah satu isinya untuk membicarakan beberapa point MoU Helsinki dan UUPA yang belum terlaksana.
Mou Helsinki adalah dokumen kesepakatan damai antara GAM dengan RI yang diteken pada Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
UUPA adalah Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dua dokumen itu adalah dasar pelaksanaan tata kehidupan Aceh pasca perang.
Memang, setelah damai, sedikit sekali forum yang membahas perkembangan perdamaian Aceh.
Sudah sampai di mana Aceh hari ini dalam skenario yang telah dibentuk? Apakah masih stagnan? Aceh Maju? Aceh Baru? Atau Aceh hancur?
Atau jangan-jangan para pemangku kepentingan itu tidak memiliki skenario. Kalau begitu, saran saya bacalah buku Skenario Aceh Baru yang disusun oleh Konsorsium Aceh Baru (KAB).
KAB ini lahir pasca Aceh damai, digagas oleh beberapa Civil Society Organitation (CSO).
Tentu, KAB yang sedang naik daun sekarang–Koalisi Aceh Bermartabat– tidak ada hubungan samasekali dengan Konsorsium Aceh Baru. Walaupun sama-sama KAB.
Secara legal formal, harapan itu sebenarnya ada pada partai politik lokal yang lahir dari kekhususan Aceh. Saat ini, ada PA, PNA, PDA, SIRA—partai lokal—yang berada di DPR Aceh dan sebagian Kepala Daerah.
Tentu tidak boleh menarik garis dengan partai nasional. Harus bersinergi.
Namun, entah ada forum lintas stakeholder yang membahas pasang-surut Aceh pasca damai, entah dibiarkan begitu saja.
Dalam hal ini, harus berterimakasih kepada KMA, eks Libya itu. Mereka masih peduli, walau secara sporadis, seperti perang gerilya…[Alja yusnadi]