Oleh: Alja Yusnadi
Ada dua perayaan penting dalam bulan ini, Oktober. Pertama, perayaan bulan Bahasa dan sastra. Kedua, perayaan Hari Sumpah Pemuda. Walau berbeda, tapi tak bisa dipisahkan samasekali.
Sejak 1980, pemerintah menetapkan Oktober sebagai bulan Bahasa, berikutnya berubah menjadi Bulan Bahasa dan Sastra.
Perayaan itu sudah memasuki usia 40 tahun. Ibarat manusia, pada usia itu sudah setengah matang. Sudah menikah dan memiliki keturunan. Kalau menikah muda hampir punya cucu.
Rupanya, usia matang itu tidak menjadikannya dikenal semua orang, termasuk saya. Padahal, penetapan bulan Bahasa itu lebih tua beberapa tahun dari umur saya.
Pun, peringatannya sebulan suntuk, bukan sehari seperti perayaan hari besar dan hari khusus lainnya.
Tidak semua orang ikut terlibat dalam perayaan bulan Bahasa ini. Hanya pihak yang terkait langsung saja. Misalnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, institusi pendidikan, lembaga Bahasa, dan semacamnya.
Sebenarnya, semua orang berbahasa. Harusnya pula terlibat dalam perayaan bulan Bahasa itu.
Indonesia memiliki 600-700 bahasa daerah. Memiliki sekitar 1300 suku.
Masing-masing daerah dan suku memiliki Bahasa sendiri.
Bayangkan, jika semua daerah itu berkomunikasi menggunakan Bahasa daerahnya masing-masing. Tidak ada Bahasa Indonesia.
Keluarga yang menikah antar Bahasa ini sangat kerepotan. Contohnya saya. Harus berkomunikasi dengan Bahasa Aceh dengan istri saya yang lahir dari orang tua berbahasa Sidempuan.
Betapa rumitnya komunikasi diantara kami.
Bahayanya lagi, kalau satu sama lain tidak saling mengerti Bahasa yang digunakan. Lalu, dipilihlah Bahasa lain yang dapat menjembatani kebuntuan komunikasi itu.
Itulah Bahasa Indonesia. Menjadi Bahasa pemersatu.
Dalam kasus lain yang lebih rumit terjadi saat Aceh masih konflik bersenjata. Banyak pasukan non organik yang dikirim ke Aceh, ada dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan. Masing-masing pasukan itu tidak bisa berbahasa Aceh, dan tidak semua orang Aceh bisa Bahasa Indonesia.
Dalam sebuah patroli, seorang serdadu bertanya kepada seorang penduduk yang sedang melintas di depan pos keamanan,”Apa yang Anda bawa itu,” tanya serdadu. “Dabas, pak,” jawab penduduk itu.
Dabas itu dasar katanya dabeuh, dalam Bahasa Aceh, artinya barang bawaan.
Ada lagi, kejadiannya di pos ronda, seorang penduduk yang lagi jaga malam lagi merebus telur ayam. Lalu, seorang serdadu bertanya, “apa itu,”. Di jawab,”Buah Ayam, pak”. Maksudnya telur ayam. Dalam Bahasa Aceh telur Ayam itu boh Manok. Kalau diartikan kata perkata, Boh itu buah, Manok itu Ayam. Jadilah Buah Ayam.
Masih banyak lagi kisah Bahasa ini yang mengundang galak tawa. Inilah keberagaman Bahasa itu.
Mungkin, Atas dasar itu pula, para pemuda nusantara, pada 28 Oktober 1928 bersepakat, menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pemersatu.
Dipilihnya Oktober sebagai bulan Bahasa juga tidak lepas dari sumpah pemuda pada bulan oktober itu.
Para pemuda itu berikrar menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan. Tentu selain bertumpah darah dan berbangsa satu, yaitu Indonesia.
Setiap tahun, pemerintah daerah melakukan upacara peringatan hari sumpah pemuda setiap 28 Oktober. Melibatkan organisasi kepemudaan, siswa, mahasiswa, dan aparatur sipil negara.
Tidak demikian halnya dengan peringatan bulan Bahasa. Tidak ada upacara. Semaraknya tidak sampai ke daerah.
Kedua peristiwa penting itu tidak bisa dipisahkan. Yang satu meletakkan pondasi, satunya lagi menjadi jembatan atau perekat ribuan Bahasa yang ada.
Secara bersamaan, menjunjung tinggi Bahasa persatuan jangan sampai menghilangkan Bahasa lokal atau daerah.
Tanpa Bahasa daerah ikut menghilangkan—setidaknya mengurangi—kesakralan Bahasa Indonesia.
Kita memiliki tanggung jawab sejarah untuk mempertahankan Bahasa daerah tetap tumbuh dan berkembang. Secara sederhana dapat dimulai dengan menggunakan Bahasa daerah dengan anak dan keluarga dekat.
Selanjutnya menggunakan Bahasa Indonesia sebagai perekat atau penghubung jika berinteraksi dengan orang yang menggunakan Bahasa daerah yang berbeda.
Dengan demikian, kita telah menjalankan dua peran sekali jalan.
Dalam kapasitas saya sebagai Ketua Organisasi Kepemudaan, saya sudah beberapa kali mengikuti upacara peringatan hari sumpah pemuda, menjadi komandan upacara pula.
Namun, saya belum pernah samasekali mengikuti perayaan bulan Bahasa. Melalui tulisan ini, saya ingin merayakannya: Bulan Bahasa dan Sastra. Hari Sumpah Pemuda…[Alja Yusnadi]
Jang Moeda Jang Berjoeang. Jang Moeda Jang Beroeang.
Merdeka!!!
Merdeka!!!
Merdeka!!!