Oleh: Alja Yusnadi
Apa yang Anda bayangkan, ketika mendengar koperasi? Penagih hutang, simpan pinjam, atau apa? Koperasi sudah begitu jauh dari harapan awalnya sebagai: Soko guru perekonomian Indonesia.
Yang paling dekat dengan kita, koperasi ya itu tadi. Ada rentenir berkedok koperasi, memberikan layanan kredit kepada masyarakat. Bunganya sampai 20 persen , pinjam satu juta, harus menyicil 40 ribu rupiah setiap hari, selama satu bulan.
Petugas koperasi mengutip setiap hari. Satu sisi, pedagang kecil yang usaha nya non formal itu sangat terbantu. Di sisi lain, bunga yang dua puluh persen itu bisa mencekik leher. Harusnya, pemerintah, entah melalui Bank Pembiayaannya, atau melalui instansi lainnya, dapat mengambil peran itu.
Kemudian, koperasi juga sangat dekat dengan simpan-pinjam. Sebutlah misalnya koperasi pegawai ini-pegawai itu.
Padahal, Soko itu tiang penyangga, guru itu utama. Sehingga, soko guru: tiang penyangga utama. Kalau kita ibaratkan ekonomi sebagai sebuah rumah yang terdiri dari beberapa tiang, salah satu tiang itu adalah koperasi, tiang yang paling besar dan kokoh pula.
Apakah dua jenis kegiatan tadi itu dapat menjadi penyangga utama? Boro-boro menjadi tiang penyangga, yang ada, pelan-pelan mengorek pondasi, lama-lama dapat merubuhkan bangunan ekonomi.
Koperasi, sudah saya dengar sejak SD, dua puluh tahun yang lalu. Dalam perjalanannya, saya belum melihat ada usaha yang dijalankan oleh koperasi yang kelasnya di atas, minimal setara dengan usaha yang dijalankan oleh bentuk badan usaha lainnya.
Usaha-usaha mikro dan kecil banyak berbentuk badan usaha perseorangan. Usaha Menengah ke atas menggunakan badan hukum CV atau PT, jarang sekali saya temukan koperasi. Setidaknya, di sekitar lingkungan saya tinggal. Kalaupun ada, yang menggurita itu ya koperasinya para pegawai pemerintah, baik sipil maupun militer.
Selama ini, koperasi ibarat bak rabo bak teungoh krueng, mengikuti arus air. Jika koperasi dijalankan oleh rentenir, berwujudlah ia, seolah-olah rentenir. Jika koperasi dijalankan oleh para pegawai, jadilah ia tempat meminjam uang.
Adakah koperasi dalam wajah aslinya—setidaknya berbeda dari dua wajah tadi–? Ternyata banyak, saya saja yang belum mempunyai akses ke situ.
Hari ini, Rabu (14/7), saya mengikuti seminar yang diadakan oleh IPB University. Pematerinya: Teten Masduki (Mentri Koperasi dan UKM), Kamaruddin Batu Bara (Presiden Direktur/Ketua Koperasi Benteng Mikro Indonesia), Agus Ali Nurdin (Okiagaru Group), Ricki Iskandar Toreh (Limbah Karya Mandiri, Pematang Siantar).
Belakangan, Teten mendadak ada rapat kabinet. Mentri Koperasi itu diganti oleh Riza Damanik, yang tidak lain dan tidak bukan adalah staf ahli di kementriannya.
Jadilah panggung webinar itu “milik” orang Batak: Batu Bara, Damanik, Pematang Siantar, Tanjung. Keempat pembicara itu, kecuali Riza adalah praktisi koperasi.
Betapa aduhainya koperasi ditangan orang-orang hebat itu. Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia misalnya, sudah memiliki 77 cabang, 193.576 orang anggota, 929 orang karyawan, dan sudah memiliki aset kurang lebih 800 Milyar rupiah.
Selanjutnya, Koperasi Konsumen Benteng Mikro Indonesia sudah memiliki 83.711 orang anggota, 92 orang karyawan, dan memiliki aset 27,5 Milyar rupiah.
Semua data itu, disampaikan Kamaruddin di dalam webinar itu. lihatlah bagaimana BMI menjelma dalam wujud asli koperasi, setidaknya menurut data yang disampaikan Kamaruddin.
Itulah gambaran awal yang disebut Bung Hatta: “Arah perekonomian di masa yang akan datang harusnya semakin jauh dari individualism, dan semakin dekat kepada kolektivisme, yaitu sama sejahtera atau sejahtera bersama. Pembangunan ekonomi Indonesai pasca perang haruslah didasaran kepada cita-cita tolong menolong.”
Sebagai badan usaha, perbedaan mencolok antara koperasi dengan badan usaha lainnya adalah soal kepemilikan. Koperasi didirikan minimal oleh 9 orang anggota. Hasilnyapun di bagi sama. Kolektivitas inilah yang disampaikan Hatta puluhan tahun silam.
Makanya, dalam negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, kekayaan beberapa orang saja bisa setara dengan kekayaan seperempat populasi. Coba saja, para pengusaha itu menggunakan koperasi yang anggotanya seperti BMI itu, pasti sumberdaya itu akan mengalir, setidaknya kepada anggota.
Koperasi adalah bentuk badan usaha, setara dengan CV, PT, Firma, UD, dan seterusnya. Oleh karena itu, apa saja usaha yang bisa dijalankan dengan PT, CV, bisa juga dijalankan dengan koperasi.
Jika dalam sistem usaha agribisnis, koperasi bisa menjalankan usaha di semua sub sistem: agroinput, agroproduksi, agroindustri, agromarketing, dan subsistem penunjang, seperti keuangan, pendidikan dan pelatihan.
Menariknya, keberadaan milenial dalam beberapa koperasi yang saya sebut tadi. Semua memanfaatkan potensi anak-anak muda. Beberapa alumni IPB University mendirikan koperasi di wilayahnya masing-masing. Ricky Toreh salah satunya.
Anak muda itu memiliki potensi. Yang diperlukan adalah penggerak. Anak-anak muda terdidik harus berani pulang kampung menjadi peer educator, menggerakkan teman sebaya.
Modal pasti akan menjadi masalah. Namun, yang sangat penting dan mahal itu ide. Tidak semua orang bermodal (uang) punya ide. Dialogkanlah ide itu dengan yang punya modal. Bersindikatlah dalam badan usaha yang bernama: koperasi. Ini bukan ceramah, ya! Paling tidak harapan, terutama harapan untuk diri sendiri.
Atau, jangan-jangan, kita tidak memiliki sifat yang disebut Bung Hatta: Koperasi tidak menghendaki orang-orang yang luar biasa untuk mengemudikannya, di mana-mana koperasi dikemudikan oleh orang biasa saja yang mau kerjasama di atas dasar beberapa sifat tertentu: Jujur dan Setia Kawan…[Alja Yusnadi]
*Selamat kepada koperasi yang berulang tahun ke 74 pada 12 Juli lalu.
**Selamat kepada Prof. Arief Satria, Rektor IPB University yang menerima Penghargaan Jasa Bakti Koperasi dan Usahan Kecil Menengah (UKM) tahun 2021 dari Kementrian Koperasi dan UKM.