Oleh : Alja Yusnadi
Apakah anda kira, New Normal ini benar-benar New? Benar-benar baru? Siapa bilang? Selama ini kita saban waktu mengalaminya, koq. hanya butuh kepekaan sedikit saja. Cepat atau lambat, kita akan merasakannya, baik dengan maupun tanpa Corona.
New normal, adalah standar nilai baru dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Sebenarnya tidak semua baru, tapi menjadi baru di saat dilakukan semua orang di semua tempat dan situasi.
Misalnya saja cuci tangan pakai sabun. Praktek ini sudah lama dianjurkan pemerintah, tapi sangat sedikit yang menjalankan, kecuali berkaitan dengan medis. Pakai masker juga demikian.
Bagi anda yang berada dikota besar cukup beralasan, karena kualitas udara sangat buruk, sesak dengan karbon dioksida.
Tidak demikian dengan yang berada di pedesaan. Saya, menghirup udara yang berasal dari pegunungan Leuser. Kawasan Ekosistem yang menjadi paru-paru dunia. Memakai masker terasa sia-sia, selain ditertawakan tetangga.
Paling berat, menghindari bersalaman. Entah itu tradisi, atau anjuran keyakinan, disaat bertemu kawan semacam ada keharusan berjabat tangan.
Itulah beberapa hal kecil yang sebelum Corona dianggap tabu menjadi laku. Tidak bersalaman tidak lagi sombong, memakai masker tidak lagi disebut lebay, kemana-mana menenteng hand sanitizer tidak dicibir.
Masyarakat secara kolektif diajak untuk memaklumi terhadap sebuah perubahan, termasuk dalam praktik sosial.
Sebenarnya, tanpa Corona-pun, tatanan dunia terus bergerak mengikuti perkembangan zaman. Di zaman pra sejarah, bagaimana homo sapiens hidup berpindah-pindah dan bergantung pada alam untuk hidup.
Revolusi Agricultur menggeser beberapa nilai atau kesadaran kolektif masyarakat. Sudah muncul kebutuhan untuk membuat rumah. Memunculkan berbagai kepercayaan.
Kemudian, Revolusi Saintifik menempatkan humanisme sebagai pusat peradaban. Pada masa ini melahirkan berbagai banyak pemikiran atau teori, sebut saja Liberalis, Sosialis, Komunis, dan berbagai pemikiran lainnya.
Dalam hal lebih sederhana, disaat pulang kampung, saya tidak lagi menemukan anak-anak mandi di sungai, berlarian, telanjang. Dua puluh tahun silam, setiap menjelang lebaran, Meriam bambu saling bersahutan.
Setelah menuai padi di sawah, anak-anak berlarian, membuat seruling anai-anai. Semua itu hanya kenangan. Dan, saya pastikan generasi 2000-an tidak mengenalnya.
Permainan tradisional itu kini berganti dengan permainan modern. Meriam bambu diganti mercon dan kembang api. Sungai yang dulu mengalir lancar kini sudah tersendat. Anak-anak tak lagi bermain “takat silop”, petak umpet, lompat tali.
Sekarang, dirangkum dalam satu benda kecil yang bernama HP. Anak-anak dipaksa meninggalkan permainan tradisional, beralih ke permainan gadget. Menanak nasi tidak lagi menggunakan kayu bakar, cukup colok ke saklar. Air minum tak lagi dimasak, diganti dengan minuman isi ulang.
Dulu, usia harapan hidup manusia berkisar antara 40-50 tahun. Sekarang, angka itu naik menjadi 70 tahun. Bisa saja, 30 atau 100 tahun yang akan datang angka harapan hidup naik menjadi 100 atau 150 tahun.
Bahkan, ada ilmuwan yang sudah berani mengembangkan penelitian, bagaimana meperpanjang usia melalui perbaikan teknis organ tubuh.
Perkembangan sains telah merubah wajah dunia. Sesuatu yang dulu dianggap tidak mungkin, menjadi hal yang biasa saja pada millennium berikutnya.
Dunia kepenulisan juga menerapkan nilai baru. Media cetak tidak lagi menguasai pasar. Kehadiran media digital dalam berbagai corak menjadi ancaman bagi media cetak.
Gaya penulisan juga bergeser. Sekarang, essay, kolom yang tidak begitu kaku bisa dengan mudah kita baca, sampai menghantarkan penulisnya sebagai referensi baru dalam menulis di media online.
Ada atau tidak Corona, perubahan itu menjadi keniscayaan. Tidak bisa ditolak. Sebagaimana Isac Newton menemukan teori grativitasi. Sebagai penganut agama, terkadang teori yang dikembangkannya pada titik tertentu bersebrangan dengan apa yang diyakininya. Tapi kemudian tak dapat ditolaknya.
Barangkali, Corona mempercepat beberapa perubahan. Proses belajar-mengajar, rapat-rapat, seminar bisa dilaksanakan secara daring. Tanpa Corona, kemungkinan akan terjadi beberapa tahun kedepan.
Angka kematian juga begitu. Suatu masa, perang menjadi pembunuh manusia paling kejam. Disaat yang berbeda penyakit menular dan pandemi muncul menjadi mesin pembunuh.
Pada tahun 1974, Konferensi Pangan Sedunia meramalkan bahwa China tidak akan mampu memberi makan satu Miliar penduduknya. Namun, coba lihat sekarang, China tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia.
Begitulah perubahan yang terus mencari bentuk terbaiknya. Sains menjadi pengemudi, agama penerangnya. Kita harapkan ada cahaya di ujung Corona ini. Lahirnya nilai-nilai baru yang dapat membantu kita semua.
Berkembangnya ilmu medis dan virologi. Ditemukan penangkal, sebagaimana ditemukannya vaksin cacar, flu burung, dan semacamnya.
Jadi, sekali lagi saya katakan, New Normal bukan sesuatu yang baru samasekali. Tidak usah gagap menjalaninya. Biasa saja. Ajak imajinasi kita untuk menemukan hal-hal baru. Karena kita butuh yang baru-baru. Bukankah kita juga bahagian dari yang baharu?
Tulisan ini sudah pernah dimuat di The Geotimes