Oleh : Alja Yusnadi
“Kau yang mulai, kau yang mengakhiri”. Itu lirik lagu, penyanyi dan penciptanya adalah Rhoma Irama, si raja dangdut yang tersohor itu. Ungkapan rasa bang haji kian lengkap dengan “kau yang berjanji, kau pula yang mengakhiri”.
Saya tidak tahu perasaan apa yang sedang melanda ketua Partai Idaman itu disaat menciptakan lagu, entah urusan cinta, bisa saja. Sebenarnya, urusan janji dan khianat itu tidak hanya kita temui dalam percintaan, tapi dalam setiap lakon kehidupan.
Urusan khianat ini, Aceh memiliki pengalaman yang aduhai. Dalam setiap kisah heroik perjuangan, selalu diselip kehadiran generasi model panglima Tibang. Salah satu contoh, perlawanan Cut Nyakdin harus berakhir disaat pengikutnya bersekutu dengan penjajah. Walau ada yang menyatakan, pengikut tersebut kasihan, karena Cut Nyak sudah terlalu tua untuk bertahan di dalam hutan yang juga sudah sakit-sakitan. .
Dalam percaturan politik kekinian, tembang bang haji itu cocok mewakili perasaan Edi Syaputra alias Obama dan Samsul bahri alias Tiyong. Obama dan Tiyong merupakan dua punggawa disaat pemenangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah pada saat pilkada 2017 lalu.
Tidak tanggung-tanggung, Tiyong merupakan ketua tim pemenangan, sekalius ketua harian PNA, partai lokal dimana Irwandi yang menjadi ketua umumnya. Bisa dibayangkan sebesar apa perjuangan Tiyong sebagai orang nomor satu dalam pemenangan.
Belakangan, hubungan Tiyong dengan Irwandi merenggang. Puncaknya, disaat Irwandi masih dalam tahanan KPK, Tiyong bersama pentolan PNA lainnya menggelar Kongres Luar Biasa. Alhasil, Tiyong menjadi ketua.
Situasi kian runyam, disaat tampuk pimpinan tertinggi dikendalikan Nova Iriansyah. Sebagai wakil gubernur, dia secara otomatis menjadi pelaksana tugas, disaat Gubernur berhalangan. Nova sudah dua tahun memikul beban berat itu sendiri, mengendalikan 17 Triliun APBA tanpa pendamping.
Sebagai pengusung, PNA semacam terdepak dari lingkaran kekuasaan. Tidak berlebihan memang. Lihat saja, Fraksi PNA di DPRA bergabung bersama gerbong Fraksi Partai Aceh, mereka menyebut perkongsian politik ini sebagai Koalisi Aceh Bermartabat. KAB.
Sesama partai lokal dan memiliki embrio yang sama, PNA dan PA pernah bersiteru-tegang. Dimulai sejak awal berdirinya PNA dan keikutsertaan mereka pada pemilu legislative 2014 hingga pemilihan kepala daerah 2017.
Saat itu, PNA bersama Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Aceh dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengusung pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah. Sementara PA bersama Gerindra, PAN, PKPI mengusung Muzakir manaf-TA. Khalid.
Walau memiliki kursi mayoritas di DPRA, PA kalah bertarung dengan PNA dalam pilkada gubernur. Sejak saat itu, PA menabuh genderang, menjadi mitra kritis, semacam oposisi bagi pemerintah Irwandi-Nova.
Begitu juga dengan Obama. Pengusaha asal Bireun ini merupakan pendukung Irwandi-Nova dan juga ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten Bireun. Walau akhirnya, Obama diberhentikan oleh DPP karena dianggap bertentangan dengan aturan dasar partai.
Secara pasti saya tidak mengetahui pengkhianatan seperti apa yang sedang mereka lakoni. Yang jelas, Obama, Tiyong beserta beberapa kawan, beramai-ramai ke rumah dinas wakil gubernur Aceh. Rumah dinas ini dihuni oleh Nova. Sampai-sampai mereka bertahan hingga malam.
Dibalik kesamar-samaran itu, publik dapat menangkap satu hal terang, tersumbatnya komunikasi. Obama dan Tiyong adalah dua orang yang lebih dikenal, masih banyak yang menyatakan pendukung dan relawan yang hendak membuat perlawanan.
Saya tidak tahu apa yang mereka ributkan?. Seharusnya, sebelum menentukan dukungan, mereka harus mengetahui platform, visi-misi yang diperjuangkan. Idealnya, perlawanan dilakukan, disaat pemimpin yang diperjuangkan melenceng dari garis perjuangan.
Dalam narasi yang berkembang, hampir tidak saya temukan persoalan melencengnya perjuangan. Yang dominan adalah ketidak pedulian kepada pendukung dan relawan. Dalam bab ini memang aburd sekali, bagai meluruskan benang yang kusut.
Entah kepedulian dalam wujud apa. jika kepedulian dimaksud bantuan uang tunai, tentu tidak bisa dibayangkan, berapa butuh uang. Sekiranya, yang dibutuhkan masyarakat adalah kebijakan yang berpihak kepada mereka, bukan hanya pengusaha.
Sayup-sayup, perpecahan itu diduga persoalan penguasaan proyek APBA. Sebagaimana kita tahu, di Aceh, pengusaha kontruksi, rerata mengharapkan belas kasihan pemerintah melalui proyek pembangunan.
Para elit, sebagian besar menentukan dukungan politik yang menjadi pertimbangan adalah sejauhmana bisa mengakses proyek plat merah itu, bukan pergulatan gagasan. Maka tidak jarang kita temukan, pimpinan daerah auto pilot.
Dalam demokrasi liberal seperti yang sedang kita lakoni sekarang ini, gugatan-gugatan semacam itu bagai sarapan pagi, sangat mudah kita temukan. Balas budi politik sudah menjalar sampai kepada pemilihan kepala desa.
Para pendukung dijanjikan sejumlah jabatan yang mentereng, dilvel pemerintah desa, sebut saja kepala seksi dan kepala urusan. Jabatan di perdagangkan.
Nah, bagaimana kaitannya Tiyong dan Obama tadi?. Kita tentu memiliki takaran masing-masing. Bagi pendukung Nova, gerakan kedua politisi ini dianggap salah alamat, sementara menurut sebagian yang lain, tindakan keduanya merupakan bentuk perlawanan terhadap ketidak adilan.
Bagi yang bukan kedua-duanya, minimal seperti saya, ini adalah bentuk lain dari anak haram system kontestasi kepala daerah yang liberal dan mahal. Kehadirannya tidak diharapkan, namun tak bisa ditolak, akibat kegatalan.
Setelah mendukung, ramai-ramai pula menikung. Jika sudah begini, tak salah kata bang haji, “kau yang berjanji, kau pula yang mengingkari”, kau yang mendukung, kau pula yang menikung. []