Oleh : Alja Yusnadi
Menurut catatan sejarah, hampir setiap 100 tahun sekali berbagai wabah, endemi, bahkan pendemi melanda dunia. Setidaknya, bisa kita urut mulai tahun 1720, terjadi wabah Marseille. Sesuai dengan namanya, wabah ini terjadi di Marseille, Perancis. Menewaskan sedikitnya 200. 000 orang.
Berikutnya pada tahun 1820, terjadi wabah kolera. Angka kematian karena virus ini juga tidak sedikit, tidak ada catatan pasti, namun menjalar sampai ke Indonesia. Pada tahun 1920, terjadi Flu Spanyol, menjangkit sekitar 500 juta orang.
Seratus tahun berikutnya, Dunia diguncang dengan Virus Corona yang memulai cariernya di daerah Wuhan, Tiongkok. Bagaimana virus ini memporak-porandakan kehidupan Negeri Tirai Bambu. Tiongkok dibuat kerepotan, dalam waktu tidak begitu lama, Rumah Sakit berhasil dibangun. Pemerintah menghabiskan tidak kurang dari Rp. 200 Triliun untuk menanggulangi Corona.
Karena penyebarannya yang sangat cepat dan lintas benua, WHO menetapkan penyebaran virus ini diatas wabah dan endemi, yaitu pendemi. Hampir semua negara terjangkit virus ini, termasuk juga Indonesia.
Jika membaca beberapa literature, baik dari lisan pejabat yang berwenang maupun tulisan dari para pakar medis atau genetika, virus covid-19 ini sangat meresahkan. Media penularannya manusia dan hewan. Cukup dengan bersentuhan virus ini akan menjangkit. Satu orang yang sudah positif berjabat tangan dengan orang lain kemungkinan besar akan terjangkit, bayangkan saja berapa angka eksponensial yang terjadi.
Selama belum ditemukan anti virus, yang paling bisa dilakukan oleh penduduk bumi adalah menghentikan atau mengurangi laju penyebaran. Makanya, ada yang menawarkan solusi Lock Down.
Disatu sisi, gagasan ini dapat menahan laju atau melokalisir penyebaran virus. Menghentikan ativitas, sekolah, perkantoran, wisata. Semua yang menjadi tempat aktivitas orang banyak harus dihentikan.
Gagasan ini sudah diterapkan di beberapa negara yang sudah terjangkit Corona, seperti Italia. Namun ada juga negara yang tidak melakukan Lock Down, namun tetap berupaya memutus mata rantai penyebaran virus, seperti Korea Selatan.
Kedua solusi itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Lock Down misalnya, jika pemerintah Indonesia menghentikan semua aktivitas, bisa dibayangkan bagaimana nasib orang yang bekerja di pasar? Perusahaan swasta? Petani? Nelayan?.
Membandingkan dengan pertanyaan lebih memilih selamat atau hidup juga tidak relevan. Menghentikan semua aktivitas juga berpeluang besar terjadinya chaos, penjarahan, dan berbagai konflik sosial.
Yang kita inginkan tentunya selamat dari virus dengan tetap bisa bertahan hidup. Inilah yang harus dipikirkan oleh pemimpin, mulai dari presiden hingga kepala desa, sesuai peran dan fungsi masing-masing.
Menerapkan protokol kesehatan yang ketat, terutama di pintu masuk-keluar Indonesia begitu penting, terutama yang menghubungkan Indonesia dengan dunia luar, harus ada standart operasional prosedur, seperti di Bandara, Terminal dan Dermaga.
Upaya pemerintah dan kesadaran kolektif.
Sejauh ini, pemerintah belum menyampaikan perlu menghentikan semua aktivitas. Pemerintah mengumumkan kegiatan belajar-mengajar, ibadah, bekerja dilakukan di rumah. Pemerintah kelihatan sangat berhati-hati terhadap penggunaan istilah Lock-Down, dimana semua aktivitas dihentikan.
“Dengan kondisi ini, saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah. Inilah saatnya bekerja bersama-sama, saling tolong menolong ,dan bersatu padu, gotong royong, kita ingin ini menjadi sebuah gerakan masyarakat agar masalah Covid-19 ini bisa tertangani dengan maksimal,” ucap presiden Jokowi, Minggu (15/3)
Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat, pemerintah aceh dan kabupaten/kota mulai mengikutinya dengan mengeluarkan kebijakan, libur sekolah selama dua minggu.
Belum sampai 24 jam sejak pengumuman itu dikeluarkan, langsung direspon oleh public. Bebarapa titik pasar di Banda Aceh kelihatan banyak di serbu oleh ibu-ibu, mereka belanja tidak seperti biasanya, belanja dalam jumlah besar, barangkali untuk stok beberapa minggu. Beberapa jenis komoditi harganya langsung bergerak naik.
Dalam ilmu kebijakan publik, setiap kebijakan harus mempertimbangkan segala aspek. Kebijakan menghentikan beberapa aktivitas harus diikuti dengan kebijakan lain. Misalnya, kebijakan libur sekolah, harus dipikirkan bagaimana mengisi waktu libur. Jangan sampai, waktu libur sekolah digunakan untuk berkunjung ke satu tempat, baik itu wisata atau kedaerah ibukota provinsi,
Kepala daerah harus mengeluarkan intruksi kepada jajarannya untuk menghentikan sementara perjalanan luar negeri, luar daerah dan dalam daerah, kecuali hal yang mendesak, baik menggunakan anggaran pribadi, apalagi menggunakan anggaran negara.
Jikapun sampai pada kesimpulan perlunya menghentikan aktivitas total, pemimpin harus memikirkan kebijakan penanggulangan dampak sosialnya. Bisa dibayangkan, jika pasar tutup, barang kebutuhan sehari-hari menjadi langka, harga melambung tinggi, masyarakat ekonomi lemah tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Itulah sekilas kompleksitas masalah yang harus dipertimbangkan jika melakukan mengisolasi secara total.
Pemutusan penyebaran virus sangat penting, memastikan masyarakat tetap bisa menjalani hidup juga tidak kalah penting. Jangan sampai, menghindari dari virus Corona akan mati merana. Fungsi dari menghentikan aktivitas yang melibatkan orang banyak adalah untuk memutus mata rantai penyebaran virus, termasuk sekolah, tempat kerja.
Perlu kesadaran dari kita semua untuk mewujudkan hal tersebut. Kita diharapkan tidak bermigrasi dari satu kota ke daerah yang lain. Karena kita tidak bisa memastikan terbebas pasti dari virus yang mematikan tersebut. Bisa saja kita yang membawa virus atau terkena virus, maka baiknya tetap berdiam disatu tempat.
Sebagai upaya pencegahan, hindari kontak langsung, cuci tangan pakai sabun, jaga pola makan dan kesehatan, ikuti terus perkembangan dari lembaga berwenang Selebihnya, berpegang teguh kepada Tali-Nya, seraya berdoa agar virus mematikan ini segera ditemukan pola penanganannya…[]
Tulisan ini sudah pernah tayang di anteroaceh.com rubrik AY Corner, edisi 16 Maret 2020.