Desa, Benteng Terakhir Melawan Korona

0
161
Ilustrasi Benteng (Int)

Oleh : Alja Yusnadi

Dalam kondisi normal, di negara berkembang, masyarakatnya berlomba-lomba mengejar kemapanan, beramai-ramai meninggalkan desa menuju kota. Banyak kisah kita baca, orang desa, setelah menempuh pendidikan memilih kota sebagai tempat pertarungan hidup berikutnya, atau bahkan termasuk Anda.

Yang bertahan di desa rerata petani, nelayan dan pegawai rendahan. Hal itu selaras dengan teori yang disampaikan Dr. Ardon Nasrullah dalam bukunya Sosiologi Perdesaan.

Menurut Ardon, mata pencaharian masyarakat desa lebih dominan pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan sejenisnya. Karateristik masyarakatnya masih berkaitan dengan etika dan budaya setempat, seperti berperilaku sederhana, mudah curiga, menjunjung tinggi kekeluargaan, lugas, menghargai orang lain, suka gotong royong, dan demokratis.

Di Kota semacam menyimpan harapan. Saat arus balik, perantau tidak jarang membawa serta sanak-saudaranya yang ingin mempertaruhkan kehidupan di kota.

Kota-kota besar, semacam Jakarta jadi sumpek, dipenuhi para perantau yang ingin menggapai mimpi. Memang, di kota kerja apa saja menghasilkan uang dan mau apa saja juga pakai uang. Perputaran uang begitu kencang.

Kota besar ibarat rimba raya, siapa yang bisa menaklukkan akan menjadi raja dan dengan gampang dapat menguasai akses kota. Sebaliknya, yang kalah akan menjadi mangsa.

Situasi ini agak berbalik. Ditengah kepungan pandemi Corona, perantau beramai-ramai pulang ke kampung halaman. Setidaknya itu yang kita lihat dalam beberapa hari ini yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Aceh.

Kaum urban itu, ada yang dari Malaysia, Jakarta, Bali, berbondong-bondong kembali ke desa. Motifnya berbeda, ada yang pulang karena dalam situasi krisis seperti sekarang ini lebih nyaman berada ditengah keluarga, ada yang bekerja di sektor informal, usaha tutup gegara pembatasan sosial dalam skala besar, dan berbagai alasan lainnya.

Yang jelas, baru kali ini, selain menjelang lebaran, perantau berbondong-bondong pulang. Kondisi ini membuat orang desa cemas dan bimbang. Satu sisi, mengharapkan sanak-saudara, handai taulan dapat bersama-sama, di sisi lain, himbauan dari pejabat berwenang, agar perantau yang baru pulang, terutama dari wilayah zona merah berstatus Orang Dalam Pengawaan.

Seorang Camat di kabupaten Aceh Selatan sampai membuat maklumat dalam bentuk video, mengharapkan jika perantau yang sudah pulang, untuk menahan diri sejenak di rumah, karantina mandiri, tidak usah salam-salaman.

Jika itu tidak bisa ditahan, dan tetap bepergian, lebih baik jangan pulang, kasihan masyarakat. Begitu amaran pak camat yang diposting di media sosial. Apa yang terjadi disalah satu kecamatan itu adalah sampel, dan ini juga terjadi di kecamatan atau gampong-gampong lain dalam populasi yang besar ini.

Awalnya situasi di desa lebih terkendali dibanding di kota. Masyarakatnya tidak begitu acuh, perkembangan informasi tidak secepat di kota, banyak desa biasa saja menanggapi penyebaran Korona ini.

Situai menjadi kacau, di saat satu, dua orang perantau mudik. Mulailah penduduk desa kasak-kusuk. Menariknya, disaat pemerintah masih mewacanakan pemberlakuan “karantina wilayah”, beberapa desa sudah lebih dulu memblokade akses keluar-masuk, menutup setiap jalur hanya menyisakan satu-dua jalan yang dipasang portal.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah Aceh yang menetapkan jam malam, hampir setiap desa melakukan jaga malam untuk mengawasi pergerakan pendatang yang tidak ada laporan.

Barangkali strategi ini tidak secara langsung dapat menahan laju penularan virus. Namun, masyarakat desa dengan mudah bisa megetahui orang-yang keluar masuk, jika ada pendatang atau perantau yang baru pulang untuk segera melapor dan menjalankan intruksi pihak berwenang.

Pernah kejadian, di satu desa, seorang pemuda yang baru pulang dari Jakarta, diam-diam tidak diberitahu oleh keluarga kepada aparatur desa, kemudian masyarakat mengetahuinya, segera digiring ke kantor desa. Inilah alasan lain dari penutupan akses, dan disertai pemeriksaan di pintu masuk.

Seharusnya, hal ini juga yang dilakukan secara massif oleh pemerintah. Tidak cukup menghimbau perantau untuk tidak pulang, namun upaya apa yang sudah kita siapkan terhadap kepulangan mereka?.

Salah satu kebijakan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan disetiap pintu masuk, baik udara, darat dan laut. Pemerintah juga memberikan tempat untuk mereka mengurung diri selama dua minggu, seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota Subulussalam.

Atau, jika ada pendatang atau perantau pulang, selain memeriksa suhu tubuh juga segera memberikan tanda yang terkoneksikan kepada dinas kesehatan, pihak kecamatan dan pihak desa. Agar yang bersangkutan dapat melakukan “karantina” mandiri.

Semua masyarakat berhak tahu siapa saja yang baru pulang dari perantauan atau pendatang, agar dapat menjaga jarak. Sebaliknya, perantau dan pendatang untuk segera mengurung diri selama dua minggu, baik didalam rumah maupun di tempat yang khusus yang disediakan.

Kesigapan desa bukan hanya dalam menjaga perbatasan, beberapa desa sudah ada yang membagikan kebutuhan pokok kepada masyarakat.

Desa menjadi benteng terakhir pertahanan dalam mencegah penyebaran Korona. Dengan karakteristik alamiahnya seperti disebut Adon Nasrullah tadi, desa masih memiliki rasa saling hormat, kekeluargaan, gotong royong, menjadi modal utama.

Pemerintah harus memperkuat desa. Selain peningkatan jumlah penerima Program Keluarga Harapan, desa juga harus diberikan kewenangan untuk memperkuat benteng.

Desa memiliki kekuatan untuk mendeteksi dan memproteksi siapa yang paling berhak mendapat bantuan kebutuhan pokok dan siapa yang harus diisolasi. Pemda memiliki fasilitas dan tenaga medis, pemerintah memiliki kebijakan fiskal.

Pemerintah melalui kementrian desa seharusnya memberikan kewenangan kepada desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tahun 2020 dibolehkan untuk membantu kaum rentan, termasuk memberikan kebutuhan pokok kepada masyarakat desa.

Dalam melawan penyebaran Korona ini, desa menjadi benteng terakhir, jika benteng aman dan terkendali, kemungkinan besar kita dapat melewati tantangan global ini, tentu, dengan Qudrah-Iradah-Nya!

 

Tulisan ini sudah pernah tayang di rubrik AY Corner anteroaceh.com, edisi 3 April 2020