Oleh: Alja Yusnadi
Semasa Aceh dalam situasi perang, hampir saban hari kita mendengar, membaca, bahkan sesekali melihat kontak senjata antara pasukan gerilyawan dengan serdadu. Berbagai macam pesenjataan; senapan laras pendek, laras panjang, pelontar, termasuk granat digunakan.
Pada saat perang, semua peralatan itu merupakan kebutuhan untuk pasukan, mempertahankan diri dan melumpuhkan lawan. Salah satu yang digunakan adalah Granat.
Senjata pembunuh yang digunakan dengan cara melempar ini memiliki beberapa kelebihan; ringan-karena ukurannya segenggam- dan dapat melumpuhkan lebih dari satu orang sasaran, biasanya digunakan dalam pertempuran jarak dekat.
Sementara itu, Biro Pengadaan Barang dan Jasa atau lebih dikenal dengan Unit Layanan Pengadaan (ULP) merupakan bagian dari pemerintah Aceh yang tugas pokoknya adalah memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa kepada Penguasa Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Dalam bidang kerjanya, Biro ini berurusan dengan vendor-pihak ketiga-yang merupakan rekanan yang akan mengikuti pelelangan pekerjaan dalam ruang lingkup pemerintah Aceh.
Di masa pemerintahan Irwandi-Nova, sudah beberapakali bongkar pasang kepala ULP. Irwandi di awal pemerintahnya mengangkat Irawan Pandu Negara, sekitar delapan bulan menjabat, Pandu digantikan oleh Ir. Nizarli, M.Eng. Akademisi Unsyiah itu dilantik oleh Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah pada April 2018.
Di tengah jalan, Nizarli mengundurkan diri, karena sebelumnya, pengangkatan Nizarli menuai sejumlah polemik, Tarik ulur karena statusnya sebagai akademisi Unsyiah harus mendapat izin dari Rektor untuk bekerja di pemerintah daerah.
Untuk mengisi kekosongan, Pandu kembali menjabat, karena hanya dua orang tersebut yang dulunya lewat seleksi lelang jabatan untuk formasi kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa.
September 2019, Plt. Gubernur Aceh mengangkat Sayid Azhari sebagai Plt. Kepala Biro, Azhari menggantikan Pandu yang dimutasi menjadi kepala sekretariat Majelis Pendidikan Aceh.
Melihat giatnya bongkar-pasang, menunjukkan posisi kepala ULP ini begitu penting sekaligus getir.
Apa pula hubungan granat dengan ULP?. Itulah yang terjadi pada hari Jumat (20/3/2020) sekitaran magrib. Rumah milik Sayid Azhari yang berlamat di gampong Baet, kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, dilempar granat, pelakunya orang tak dikenal.
Setelah perang, memang ada beberapa kali terjadi letusan senapan secara sporadis di Aceh, sebelumnya, menjelang pilkada 2012, sekitar 5 orang terbunuh dalam aksi kekerasan yang terjadi pada 31 Desember 2011 dan 1 Januari 2012.
Ada dua pendekatan yang berkembang pada saat itu, kepentingan pilkada dan kepentingan pekerjaan yang melibatkan orang luar. Eksesnya, pemerintah pusat melalui kemendagri mengeluarkan kebijakan Collingdown untuk pelaksanan pilkada di Aceh.
Pun demikian, seolah bertolak belakang, menurut menkopolhukam, penembakan lebih terkait dengan masalah bagaimana penduduk lokal untuk diberdayakan dalam pekerjaan dan program pembangunan daerah.
Memang, beberapa korban jiwa yang menjadi korban amukan senjata yang dilakukan orang tidak bertanggungjawab pada saat itu merupakan orang luar Aceh.
Bagaimana dengan kasus yang menimpa rumah kepala ULP ini? Banyak dugaan berkaitan dengan kasus lelang proyek di lembaga yang dipimpinnya. Sebelum peristiwa ini terjadi, muncul spekulasi dari berbagai pihak, bahwa pekerjaan proyek di Aceh dikuasai oleh kelompok tertentu.
Salah satunya seperti yang disampaikan Pengamat Politik dan Pemerintahan, Dr. taufiq A. Rahim. Menurut Taufiq, banyak proyek APBA yang dikuasai elite yang berkuasa untuk kepentingan politik, biaya politik, dan memperkuat partai politik, terutama kepentingan pemilu. Itu pandangan Taufiq yang disampaikan pertengahan tahun lalu kepada salah satu media.
Bisa diduga, ada pihak yang tidak senang dengan kepemimpinan Azhari di ULP, karena penawarannyaa kalah atau dikalahkan. Seperti yang disampaikan menkopolhukam tahun 2012 lalu, penyebab terjadinya kasus penembakan karena alasan pekerjaan.
Menggunakan granat bukan pilihan, walau sekedar memberi efek kejut. Hal tersebut dapat mencederai, bukan hanya Azhari. Untuk mengantisipasi, kepala daerah harus mengevaluasi kembali. Agar proses tender berjalan dengan fair, dapat diterima semua pihak.
Setiap yang hidup dan berkehidupan di Aceh memiliki tanggungjawab untuk memastikan kondisi tetap kondusif. Sudah terlalu lelah kita hidup dalam situasi perang. Kalaupun ada yang tidak tepat dengan lelang proyek, ayo gunakan cara yang lebih beradab.
Karena letupan senjata kalian dapat mengusik damai Aceh yang sudah berlangsung hampir 15 tahun. ribuan nyawa melayang, yatim dan janda sampai hari ini belum tuntas pemenuhan haknya. Jadi, jangan usik lagi. Jangan tambah lagi. Jangan memperkeruh.
Sudah 15 tahun kita berusaha keluar dari rahang ketertinggalan, ingin menyamai ekonomi provinsi lain, namun kita masih berada di urutan paling bawah se sumatera. Apalagi kalau situasi kembali mencekam? Bisa-bisa Aceh berada diurutan terakhir se Indonesia.
APBA merupakan sumber pendanaan terbesar di Aceh sekarang ini. Setiap tahun sekitar 17 Trilun, sebagian nya untuk mendanai pekerjaan pembangunan fisik. Itulah yang diperebutkan para rekanan.
Satu sisi, keberadaan APBA ini ikut mendongkrak perekonomian Aceh, terutama bagi pengusaha lokal yang bergerak dibidang kontruksi. Disisi lain, jangan sampai pula proses tender atau lelang proyek mengusik kedamaian dan ketentraman.
Mungkin, bagi pelaku dan akor intelektual, setelah geranat dilempar dapat bersembunyi disemak-semak kota atau bebas berkeliaran, namun bagi masyarakat ekonomi lemah, Aceh damai adalah modal besar dalam menjalani kehidupan.
Jangan sampai, gegara makelar dan pialang proyek, masyarakat lemah yang jadi korban!
Tulisan ini sudah pernah tayang di rubrik AY Corner anteroaceh.com edisi 21 Maret 2020.