Oleh: Alja Yusnadi
Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Nova Iriansyah sudah beberapa kali terlibat adu kepentingan dengan DPRA.
Walaupun berkuasa, Nova agak direpotkan dengan dinamika politik yang terjadi di lembaga wakil rakyat.
Pihak oposisi—katakanlah begitu—terlalu dominan. Walau sempat diragukan berbagai pihak, DPRA dibawah kepemimpinan Dahlan Jamaluddin membuat repot Pemerintah Aceh dengan membatalkan Memorandum of Understanding (MoU).
Bukan MoU Helsinki, tapi MoU antara Pemerintah Aceh dan DPRA terkait perencanaan pembangunan yang menggunakan skema penganggaran tahun jamak.
Sebagaimana kita ketahui, di DPRA oposisi lebih kuat. Mereka membentuk koalisi, namanya: Koalisi Aceh Bermartabat (KAB). Anggotanya: Partai Aceh (PA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).
KAB menguasai 46 kursi dari 81 kursi DPRA. Jika pengambilan keputusan berdasarkan pendapat akhir fraksi, KAB juga menang jumlah. KAB memiliki: Fraksi PA, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PAN, Fraksi PKS, Fraksi PNA.
Sisanya: Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, dan Fraksi PKB-PDA.
Pertarungan dengan formasi 5 lawan 4 tersebut terjadi pada paripurna pengambilan keputusan terkait pembagian Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Pada saat itu, fraksi yang di luar KAB tidak memiliki jabatan pimpinan AKD. KAB menyapu bersih.
Sebagai partai pemenang kedua dan ketiga pada pemilu legislatif 2019, Partai Demokrat dan Partai Golkar tidak memiliki pimpinan AKD, justru Partai Gerindra, PNA, PAN, dan PKS yang mendapat jatah pimpinan AKD. Ini adalah konsekwensi logis dari koalisi besar yang mereka bangun.
Dalam perjalanannya, koalisi non KAB ini lebih cair dari KAB itu sendiri. Walau kelihatan tidak ada agenda yang jelas, sejauh ini KAB satu suara di saat menentukan arah kebijakan DPRA.
Lihatlah, bagaimana sebaliknya, fraksi-fraksi yang awalnya saya anggap mendukung pemerintah seperti Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PKB-PDA tidak satu suara dalam menentukan sikap terhadap MoU Penganggaran tahun jamak.
Di luar Fraksi Demokrat yang konsisten membela kebijakan Pemerintah hanya Fraksi PPP yang terdiri dari PPP dan Nasdem.
Fraksi Partai Demokrat dapat kita pahami, karena Nova adalah ketua DPD Partai Demokrat Aceh.
Perubahan sikap Fraksi Partai Golkar dan PKB-PDA perlu di evaluasi oleh Nova. Apakah ini memang keinginan Nova atau ada yang salah dalam kebijakannya.
Menurut catatan saya, koalisi non KAB—saya sebut koalisi pemerintah—sudah dua kali kalah dalam pertarungan politik di DPRA. Pertama mengenai AKD, kedua mengenai Multi Years.
Saya tidak tahu, apakah ini pembiaran atau skema yang di bentuk, atau merupakan kecolongan dan ketidak berdayaan menghadapi KAB.
Kalau melihat sederet nama dari Koalisi Pemerintah, agak susah mengambil kesimpulan tidak berdaya mengkonsolidasi kekuatan politik di DPRA.
Sebut saja misalnya Dalimi, Wakil Ketua DPRA dari Fraksi PD. Dia sudah tiga periode di DPRA dan sudah menjadi pimpinan DPRA selama dua periode.
Kemudian adan nama Hendra Budian, Wakil Ketua DPRA dari Fraksi Partai Golkar. Mantan aktivis Hak Azasi Manusia ini memiliki kemampuan komunikasi politik dan pengalaman advokasi yang mentereng.
Seterusnya ada Ikhsanuddin, Ketua Fraksi PPP. Mantan ketua KNPI Aceh ini juga sudah malang melintang di dunia politik Aceh.
Terus, kenapa mereka tidak mampu memainkan ritme di DPRA? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, Nova membiarkan koalisi pemerintah di DPRA berjalan sendiri. Jika Nova memilih langkah ini, dia membiarkan KAB menguasai parlemen, sementara Pemerintah Aceh terus berjalan. Contoh paling kentara adalah di saat Irwandi mem-pergubkan APBA 2018.
Kedua, KAB terlalu dominan, sehingga membuat Nova tidak berdaya dan tersandera dengan langkah politik DPRA. Opsi kedua ini bisa jadi karena Nova tidak mampu memenuhi tawaran yang diajukan DPRA.
Jika Nova memandang penting posisi DPRA, dia akan melakukan komunikasi politik yang seimbang. Bisa saja dia mendelegasikan kewenangan itu kepada orang kepercayannya di DPRA.
Bisa juga Nova punya hitungan lain: membiarkan penolakan DPRA dan melakukan lobi ke Kemendagri.
Mendagri memang seringkali menjadi sandungan bagi DPRA. Beberapa kali keputusan DPRA dianulir oleh kemendagri, termasuk soal bendera.
Beberapa hari yang lalu, Kemendagri sudah memberikan sinyal keberpihakan kepada Pemerintah Aceh. Tidak ada alasan bagi DPRA membatalkan produk yang telah menjadi kesepakatan.
Dalam hal ini Kemendagri bersikap ganda. Satu sisi, membatalkan rencana pembangunan rumah ibadah dan rumah dhuafa yang sudah disepakati oleh DPRA dan Gubernur Aceh, di sisi lain menyerukan untuk tidak membatalkan proyek tahun jamak.
Secara politik tentu tidak strategis bagi Aceh karena terlalu sering “melibatkan” Pemerintah Pusat dalam menengahi perbedan cara pandang antara Pemerintah Aceh dan DPRA.
Pun demikian, menarik kita tunggu, apakah Nova akan melanjutkan proyek tahun jamak ini? Bagaimana pula sikap DPRA? Jangan sampai, DPRA menggunakan Hak Interpelasi, Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat, seperti yang sedang terjadi di Jember…[]