Oleh: Alja Yusnadi
Tidak perlu menjadi ahli famasi dulu atau menjadi Apoteker dulu untuk mengetahui perbedaan obat generik dengan obat paten. Cukup dengan membaca beberapa artikel, kita sudah mengetahui perbedaan keduanya. Olehkarena itu pula saya memberanikan diri menulis ihwal obat-obatan ini, walau bukan ahli farmasi atau Apoteker.
Soalnya, saya punya pengalaman membeli obat, yang paten harganya lebih mahal, generik lebih murah. Awalnya, saya kira harga yang mahal itu berhubungan dengan kualitas yang lebih baik.
Pasien yang memiliki kemampuan ekonomi atau yang memegang asusransi kesehatan kelas tertentu membeli obat paten, yang kurang mampu atau yang asuransi kesehatannya dibayar pemerintah cukuplah yang generik saja. Bukan apa-apa, lihatlah obat yang diberikan waktu berobat ke Puskesmas, itu obat telanjang, diisi dalam toples besar, itulah contoh obat generik, pikir saya waktu itu.
Rupa-rupanya beda paten dan generik ini adalah soal hak paten, sebagaimana diatur dalam UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten. Isi dan kandungannya tak usah ditanya: persis. Obat paten itu adalah obat yang masih memiliki hak paten, tidak boleh diproduksi oleh perusahaan farmasi yang lain.
Misalnya, perusahaan A memproduksi obat X, lalu dia mengurus hak paten. Hak paten itu ada jangka waktunya, kalau tidak salah selama 20 tahun. Selepas itu, barulah dapat diproduksi atau ditiru oleh perusahaan farmasi yang lain.
Kenapa obat generik lebih murah? Karena obat generik tidak memerlukan uji klinis, tidak memerlukan biaya penelitian, dan biaya-biaya lainnya yang tidak sedikit. Makanya, perbedaan harga kedua jenis obat itu sampai 85 persen. Singkat kata, kalau nanti Anda ditawari obat paten atau obat generik, sudah mengetahui perbedaannya. Beda merk, isinya sama.
***
Biar lebih sederhana, mari kita ambil contoh lain, di luar farmasi. Begini ceritanya. Beberapa hari yang lalu, sejumlah mantan menteri, mantan panglima TNI dan sederet mantan-mantan yang lain berkumpul, mereka mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI).
Gerakan itu bermaksud menegur Pemerintahan, mulai Presiden, DPR, DPD untuk konsisten menjaga Indonesia berdasarkan konstitusi, menyelamatkan Indonesia dari ancaman Korona, menghindari bangkitnya Komunisme.
Paling tidak itu yang saya tangkap dari delapan poin tuntutan KAMI. Tidak ada yang salah dengan KAMI. Dalam negara demokrasi, kekuasaan memerlukan koreksi, penyeimbang. Barangkali, KAMI lahir karena kekuatan parlemen dianggap tidak berjalan sebagaimana yang mereka harapkan.
Walaupun, dari beberapa deklarator itu merupakan pendukung fanatik Parabowo-Sandiaga pada pemilihan presiden 2019 lalu. Dalam perjalanan, Prabowo menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet Presiden Joko Widodo-Makruf Amin.
Dua pilpres terakhir menjadi ujian kebangsaan. Ujian keberagaman. Ujian Bhinneka Tunggal Ika. Sampai hari ini, kita sudah melaluinya dengan baik, sampai 75 tahun Indonesia merdeka.
Sebelum KAMI, sudah ada beberapa gerakan politik non-partai politik yang sekali jalan dengan kekuatan gerbong partai politik menginterfensi proses demokratisasi di Indonesia. Mencegah Presiden Jokowi untuk kembali berkuasa.
Gerakan politik tersebut diawali dengan gerakan moral-agama, persoalan Basuki Tahja Purnama atau Ahok. Dilanjutkan dengan gerakan mengawal fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) terhadap kasus ahok, sampai akhirnya Ahok di penjara.
Gerakan-gerakan ekstra parlementer itu mendapat sekutu dengan beberapa partai politik yang ada di Senayan. Bisa jadi keduanya memiliki visi yang sama dalam melihat Indonesia, bisa juga hanya dipertemukan pada kepentingan sesaat.
Jelasnya, mereka bersepakat untuk mendukung Prabowo-Sandiaga sebagai calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia periode 2019-2024. Entah tidak sengaja atau memang menjadi strategi kubu nasionalis dalam meredam kubu “oposisi”, akhirnya Prabowo bersedia menjadi Menteri.
Masuknya Prabowo ke dalam kabinet diikuti pula dengan garis politik partai Gerindra, baik di Parlemen maupun di luar parlemen. Walau ada satu-dua orang, seperti Fadli Zon, saya perhatikan Gerindra secara kepartaian sudah lebih tertib dalam mendukung Pemerintah.
Akibatnya, kekuatan ekstra parlementer tadi kehilangan—setidaknya berkurang—corong di Parlemen. Hanya PKS yang masih konsisten tidak masuk ke dalam koalisi Pemerintah. Partai Demokrat dan PAN masih malu-malu, antara masuk atau tetap di luar.
Selama ini, kekuatan “opisisi” melekat kepada Prabowo. Ada beberapa lagi di luar partai politik. Masalah besarnya adalah, ketika mereka kehilangan sandaran, maka tidak ada pilihan lain, harus membuat sandaran baru.
Dalam hal ini, KAMI adalah kekuatan baru, wajah baru dari “oposisi” ekstra parlemen. Isinya mayoritas orang-orang lama yang tidak sepakat dengan Jokowi. Bagi saya, kekuasaan harus dikoreksi. Harus tetap ada yang mengingatkan dari dalam dan dari luar. Barangkali, koalisi pemerintah mengingatkan dari dalam. Bagian luarnya biarlah menjadi porsi KAMI.
Ibarat obat tadi, jangan sampai KAMI ini menjadi obat generik, dimana orangnya itu-itu saja, tujuannyapun tidak jauh beda, hanya beda waktu dan namanya saja. Apakah KAMI akan menjadi obat paten dengan komposisi, khasiat, yang berbeda dari gerakan-gerakan ekstraparlementer sebelumnya atau justru hanya menjadi obat generik, yang komposisi dan tujuan yang sama.
Pun Demikian, mau generik atau paten, kekuasaan tetap memerlukan penyeimbang, pengoreksi. Semoga KAMI menjadi obat, kalau bisa jangan obat generik lagi lah.