Oleh: Alja Yusnadi
Seorang teman saya nyeletuk. Dia menanggapi kedatangan Presiden Jokowi ke Aceh, Selasa (25/8). Selama menjadi Presiden, ini kunjungan kedelapan Jokowi ke Nanggroe Syariat. Teman saya tadi merujuk kepada perolehan suara Jokowi di Aceh pada pilpres 2019, hanya 14 persen.
Jokowi ini memang unik. Di masa muda, dia pernah bekerja di Aceh wilayah tengah, sampai memiliki keluarga angkat di sana. Selama menjadi Presiden, Jokowi juga sering berkunjung ke Aceh.
Untuk urusan pembangunan jalan tol saja, Jokowi sudah dua kali ke Aceh. Pertama saat ground breaking, kedua saat peresmian jalur tol Blang Bintang-Indrapuri, kemarin.
Apa yang disampaikan kawan saya itu tidak sepenuhnya salah, dan juga tidak semuanya benar. Memang, sebagai petahana dan memiliki hubungan khusus dengan Aceh, suara 14 persen dari 3,5 juta pemilih itu sumbang, tidak wajar, ada yang timpung. Padahal pemilihannya one person one vote, satu orang satu suara. Tidak diwakili oleh perwakilan masing-masing kelompok.
Tapi itulah politik electoral. Setiap orang memiliki hak untuk memilih. Hak itu telah kita gunakan. Hasilnya, Jokowi kalah telak di Aceh. sebagai pendukung Jokowi, saya pasti kecewa dengan angka itu. Tapi itulah kenyataannya.
Bisa saja tim yang kurang maksimal bekerja, atau memang secara kultural, Aceh bukan pemilih Jokowi. Mau bagaimanapun digenjot, angkanya tidak akan naik, sia-sia saja.
Aceh bersama Sumatera Barat, Jawa Barat adalah daerah yang tipikal pemilihnya cendrung ke kanan. Sangat sensitif dengan isu keagamaan. Itu harus dihormati. Aceh mayoritas penduduknya beragama Islam dan sedang menjalankan Syariatnya pula.
Sejarah panjang ikut membentuk karakter pemilih itu. Aceh sering kali kecewa dengan Pemerintah dan beberapa kali pula melakukan pemberontakan, berupaya lepas dari Indonesia. Tapi itu dulu, sekarang sudah damai, sudah ada otonomi khusus.
Pilpres kemarin memang diwarnai perdebatan panjang, termasuk isu agama. Isu itu bukan soal benar-salah. Tapi siapa yang duluan menguasai persepsi publik. Saya bukan sedang ngibul, lihat saja contohnya, Prabowo yang menjadi lawan Jokowi di Pilpres, sekarang sudah menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Koalisi Indonesia Maju.
Kekurangan Jokowi dan tim, termasuk saya, telat menguasai atau mengendalikan isu agama. Jadilah, Jokowi beserta sebagian partai menjadi pelampiasan pemilih di Aceh, terjungkal.
Musim pemilihan sudah selesai. Jokowi dipilih kembali oleh rakyat untuk memimpin Indonesia, walau di Aceh kalah telak, tidak masalah. apalagi suara Aceh tidak signifikan untuk mempengaruhi suara nasional. Suara Aceh setara dengan suara satu atau dua Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
Pun demikian, kalau saya menjadi Jokowi tetap memikirkan Aceh, bagamaina angka 14 persen itu harus naik, paling tidak dua kali lipat. Kedepan, Jokowi memang tidak mungkin lagi menjadi calon presiden, karena Konstitusi membatasi dua periode.
Sebagai orang politik, Jokowi harus memikirkan hubungan Aceh dengan garis politiknya, terutama partai tempat dia bernaung, garis nasionalis. Empat tahun lagi cukup bagi Jokowi untuk berkawan dengan Aceh.
Sebenarnya, pada periode pertama dia menjadi Presiden, ada beberapa program yang sudah meluncur ke Aceh, termasuk pembangunan Waduk dan pembangunan Jalan tol itu. Program-program itu belum mampu membuat masyarakat Aceh berbaik sangka kepada Jokowi.
Artinya, ada yang salah. Jokowi harus segera menemukan kesalahan itu. Aceh memang tidak seberapa luas wilayah dan penduduknya, hampir tidak ada arti jika dibanding dengan total luas Indonesia.
Tapi, perlu dicatat, Aceh beberapa kali membuat repot Pemerintah. Saya doakan, supaya Pak Jokowi memiliki program yang dapat menyentuh hati masyarakat Aceh dan menaikkan citra garis politik Jokowi di Aceh.
Pilihan Presiden Jokowi sering-sering ke Aceh sudah tepat, paling tidak, pendukung Jokowi dapat mengatakan, siapa Presiden yang paling sering berkunjung ke Aceh? Tidak lain dan tidak bukan, jawabannya pasti Jokowi.
Tapi itu belum cukup Pak Jokowi, belum cukup. Menjawab pertanyan kawan saya tadi, apa salah Jokowi? Tidak ada yang salah, hanya upaya bapak untuk diterima di Aceh belum cukup. Harus lebih kreatif. Harus lebih masif.
Diakhir tulisan, saya ingin menyampaikan kepada bapak adagium yang berkembang di tengah-tengah masyarakar Aceh, “Meunyoe hana teupeh, Boh Kreh jeut ta raba, nyoe ka teupeh, Bu leubeh han dipeutaba.”
Lebih kurang, maksudnya, “kalau belum tersinggung, Kemaluannya bisa dipegang, tapi kalau sudah tersinggung, nasi sisa tidak ditawarkan.” Saya tidak melakukan penilitian untuk membuktikannya.
Jadi, Pak Jokowi, pandai-pandailah untuk berkawan dengan orang Aceh. Sebagai orang Solo, saya yakin Anda paham betul soal itu. Oiya, satu lagi, Belanda, saking stresnya menaklukkan Aceh, menghabiskan Gulden tidak sedikit. Akhirnya, Belanda bukan mengirim Bos intelijen, atau Bos pasukan khusus ke Aceh, yang mereka kirim adalah C. Snouck Horgronje, Antropolog dan Guru Besar Universitas Leiden. Semoga Presiden Jokowi dapat memahami maksud saya.
Kami, pendukungmu Pak Jokowi, menunggu langkah besar, yang kira-kira membuat kami leluasalah bergerak dan mengakui sebagai orang yang pernah menjadi bagian kecil dari sekoci Anda.