Oleh: Alja Yusnadi
Beberapa hari ini, selera saya menulis agak turun. Ditambah lagi, kunjungan Prof. Rokhmin ke Aceh Selatan, minggu lalu. Semakin lengkap alasan saya untuk tidak menulis, mengisi situsweb aljayusnadi.com ini.
Saya ikut terlibat, mulai dari menjemput, menemani di lapangan, hingga mengantar. Sewaktu menjemput, saya ikut bersama Tgk. Abral Muda. Ketika di lapangan, saya bersama rombongan Bupati.
Awalnya, saya enggan, karena “dipaksa” oleh Prof. Rokhmin, barulah saya ikut mendampingi. Itupun, hanya dalam beberapa momen saja. Ketika di Kuala Tuha, Lhokrukam dan TPI Labuhanhaji.
Bukan apa-apa, Prof. Rokhmin itu Ketua DPP Bidang Maritim di partai politik yang saya Ketua DPC Aceh Selatannya.
Kunjungan orang yang sering saya panggil Prof itu mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan. Menteri yang dulu, 17 tahun yang lalu pernah ditempatinya.
Aceh Selatan tidak asing bagi Prof. 2017 lalu, dia pernah berkunjung, salah satu agendanya melantik pengurus DPC Gerakan Nelayan Tani Indonesia (GANTI), saat itu, saya didapuk sebagai Ketuanya dan Prof Ketua Umumnya.
Oleh karena itu, soal Durian, Lobster, Mina politan, keindahan pantai, Prof tidak begitu kaget.
Ini adalah kunjungan kedua bagi Guru Besar IPB ini. Kali ini, kapasitasnya sebagai Koordinator staf ahli Menteri Perikanan dan Kelautan Edi Prabowo.
Sambutan pemerintah Kabupaten Aceh Selatan juga tidak kurang meriahnya. Mulai Bupati, SKPK, hingga para pendukung ikut meramaikan.
Begitulah antusiasnya Bupati dalam mewujudkan program Aceh Selatan Hebat. Setidaknya, jika program kelautan dan perikanan dapat berjalan, Hayeu Meulaot akan hebat.
Pembangunan yang hebat itu tidak mungkin dilakukan solo. Harus melibatkan banyak orang, banyak pihak, banyak kepala, banyak pemikiran. Tentu, Bupatilah yang menjadi Dirijennya.
Pun demikian halnya dengan yang selama ini “bertapa” di atas singgasana, sekarang sudah waktunya turun gelanggang.
Apa yang dilakukan Prof itu, dapat dikatakan sebagai bentuk turun gunung. Bayangkan saja, seorang mantan menteri, Guru Besar, bersedia untuk menjadi Penasehat Bupati dari Kabupaten yang letaknya jauh dari ibu kota itu.
Selain Prof, ada satu lagi yang saya lihat sudah mulai turun gunung. Nama lengkapnya, Syafruddin, sering dipanggil Ungoh.
Ungoh, salah satu yang membidani PNA Wilayah Aceh Selatan. Selagi masih Nasional—Partai Nasional Aceh—Ungoh menjadi Sekretaris Wilayah Aceh Selatan, Ketuanya Tgk. Amran, yang Bupati Aceh Selatan sekarang.
Pentolan Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR)—organisasi mahasiswa progresif di Aceh yang berafiliasi dengan LMND—ini memang dikenal jago dalam pengorganisasian.
Sebelumnya, tangan dinginnya juga berhasil membentuk struktur Partai Rakyat Aceh (PRA).
Namun, keuletan pengorganisasiannya itu belum cukup untuk terpilih menjadi wakil rakyat. di Pilleg 2019 lalu. Ungoh, kalah suara dengan caleg PNA lainnya di daerah pemilihan IV yang meliputi Kecamatan Pasieraja, Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Timur, Kluet Tengah.
Banyak orang memperkirakan, termasuk saya, Ungoh dipersiapkan oleh PNA untuk menjadi pimpinan DPRK Aceh Selatan yang berdasarkan pemilu 2019 menjadi milik PNA.
Dugaan itu meleset. Ungoh tidak berdaya. Dan, Ketua DPRK milik Amiruddin, teman saya yang lain. Walau hampir dua kali purnama belum dikeluarkan SK oleh Gubernur Aceh, karena terkendala dualisme kepengurusan.
Pasca pilleg, peran Ungoh tidak begitu terlihat dalam membantu AZAM—Azwir-Amran. Padahal, di awal rezim AZAM, pemerintah dibantu oleh Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD).
Saya tidak mendengar Ungoh masuk di dalam tim itu, sampai akhirnya tidak kedengaran lagi. Entah bubar, entah dibubarkan. Entah membubarkan diri.
Dua tahun sudah AZAM memimpin. Denyutnya belum begitu terasa. Diperparah lagi, ditahun pertama, Bupati sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal dunia. Tahun kedua, dilanda Korona. Terjadi pemotongan anggaran di sana-sini.
Sampai akhirnya Tgk. Amran dlantik menjadi Bupati sisa masa jabatan, AZAM terus diuji. Tahun ketiga, juga masih terdampak Korona. Sebagian anggaran masih harus dialihkan.
Kondisi ini, diperburuk karena renggangnya hubungan Bupati dengan Sekda. Dari dalam, tersiar kabar ada upaya untuk mengganti Sekda. Puncaknya, seorang pejabat eselon tiga mengomentari perihal pergantian Sekda yang notabenya pejabat eselon dua, dan “komandan”nya ASN.
Ditambah lagi, masih lowongnya posisi Wakil Bupati. Belum ada pembicaraan serius untuk mengisi kekosongan itu. Padahal, Wakil Bupati dapat membantu mewujudkan program AZAM.
Dalam dua tahun, AZAM kehilangan tandemnya berturut-turut, mulai dari kehilangan Azwir, TP2D, Sekda (fungsi), hingga Wakil Bupati (masih kosong).
Sambil menunggu, di situlah peran Ungoh dan kawan-kawan intelektual yang masih tersisa dalam “kabinet” AZAM tadi.
Bupati harus didampingi, diberikan ide-ide segar. Terus mengingatkan akan janji kampanye. Dan, yang tidak kalah penting, menjaga wibawa Pemerintah dari anasir sengkuni, yang merusak pemerintah dari dalam.
Ramai-ramai saja belum tentu mampu, apalagi sendiri.
Sayup-sayup, saya mendengar Ungoh kembali turun gunung. Mengakiri “pertapaan”. Turun ke gelanggang.
Entah sampai dimana sudah upaya Ungoh dan kawan-kawannya itu, saya tidak mengetahui pasti. Sudirjo, seorang intelektual PNA lainnya pernah berujar, bahwa Ungoh telah turun gunung.
Kemarin, saya membaca tulisan Ungoh di sebuah media online yang memang menjadi media paling konsisten memberitakan soal AZAM, bahkan Humas kalah di belakang. Judulnya Tgk. Amran Membuktikan Komitmennya Melayani Rakyat.
Saya kira, ini adalah sinyal, kembalinya Ungoh ke gelanggang. Tulisan itu, siapapun yang membacanya, dapat menyimpulkan: sundulan ke dalam gawang.
Masih ada waktu 3 tahun lagi, dua kali pembahasan APBK lagi. Dan setengah APBK 2023. Kita tunggu selebrasi sisa program AZAM lainnya sembari menyiapkan jurus tebal telinga. Semoga, riuhnya tidak kalah dari gegap gempita saat kampanye…[Alja Yusnadi]