Oleh: Alja Yusnadi
Mungkin saya sudah terlambat memulainya. Namun, itu masih baik daripada tidak sama sekali, bukan? Akhir-akhir ini, saya memang sedang tertarik dengannya, membaca beberapa referensi tentangnya, dan berupaya pula menulisnya, dengan gaya saya. Tujuannya memudahkan untuk mengingat, sukur-sukur berguna untuk pembaca.
Itulah: Agribisnis. Awalnya, saya menduga agribisnis itu adalah bisnisnya pertanian, dagangnya pertanian. Rupanya tidak sedangkal itu, bahkan lebih luas dari pertanian itu sendiri.
Agribisnis berkembang sejarum jam dengan perkembangan kebutuhan manusia akan bahan pokok. Pokok untuk bisa bertahan hidup, itulah pangan, soal makan. Ada yang makan nasi, ada yang makan gandum, ada yang makan sagu, dan seterusnya.
Ketika jumlah manusia masih sehitungan jari, kebutuhan pokok itu didapat dengan berburu, memetik yang sudah ada, bergantung kepada alam. Habis dari satu tempat, bergeser ke tempat lain yang persediaan pangannya masih cukup.
Situasi itu tidak bisa bertahan terus-menerus. Manusia terus hidup, beranak, berpinak, bersuku, berbangsa, dan berduyun-duyun, hingga bumi ini terasa sesak. Cara untuk memperoleh pangan pun mesti berubah, tidak bisa berharap dari alam saja.
Mulailah dikenal bercocok tanam. Awalnya menanam begitu saja, tanpa perlakuan apa-apa. Tanam, lalu tumbuh, lalu di panen, lalu dimakan. Situasi ini juga tidak bertahan lama.
Lahan semakin sempit, pertumbuhan manusia semakin tidak terbendung. Jika dulu dengan manusia sejumlah X luas bumi sejumlah Y. Semakin hari X semakin bertambah, berjuta, bermilyar, sementara luas X segitu-gitu saja.
Namanya juga manusia. Terus berfikir, terus berinovasi. Cara bercocok tanam pun kian baharu. Tidak lagi mengandalkan keluasan lahan. Sudah masuk teknologi. Bagaimana dengan lahan yang ada bisa menambah hasil produksi. Lahirlah intensifikasi.
Semakin ke sini, peran pertanian semakin vital. Industri lain boleh saja menuju bulan, selama kebutuhan manusia akan karbohidrat, protein, dan sejenisnya belum bisa diganti dengan yang lain, selama itu pula sektor pertanian ini tetap membumi.
Di situlah Agribisnis hadir. Agribisnis tidak hanya bicara cara bercocok tanam saja atau on farm saja atau produksi saja. Agribisnis terbentang luas, mulai dari hulu sampai ke hilir.
Hulu itu daerah paling atas, pangka, kalau dalam pertanian itu segala yang menjadi input atau masukan sebelum bercocok tanam. Ada apa saja? Ada bibit, pupuk, pestisida, dan silahkan lanjutkan, sesuai dengan jenis komoditi.
Kemudian, baru bercocok tanam, atau produksi atau usahatani atau nama lain. Itulah inti pokok pertanian jika dilihat dari sudut pandang produksi.
Jika hulu adalah pangkal, maka hilir adalah ujungnya. Setelah produksi, ada panen di situ, ada perlakuan pasca panen, lalu ada industri olahan. Jika sudut pandangnya adalah nilai tambah atau add value, maka yang menjadi pokok adalah subsistem hilir ini.
Satu lagi, juga yang paling pokok jika dilihat dari sudut pandang perdagangan: agromarketing. Ini, yang dulunya semasih di luar “sistem agribisnis” yang saya anggap agribisnis. Karena subsistem ini pula, beras sampai ke rumah Anda, Ikan sampai ke dapur Anda dan berbagai macam turunannya.
Agribisnis, secara praktik sudah ada sejak dulu, bahkan dulu sekali, segaris dengan perkembangan kebutuhan manusia akan pangan. Namun, secara konsep agribisnis baru di angkat ke permukaan sekitar tahun 1953.
Konseptornya adalah dua orang ekonom Harvard University yang di Amerika itu. Beberapa referensi atau tulisan pakar agribisnis Indonesia pasti merujuk ke Davis dan Goldberg. Buku yang berjudul “A Concept of Agribusiness” itu sudah berulang kali dicetak, peminatnya sangat banyak. Seolah, buku itu menjadi bacaan wajib bagi agribisnis.
“Proces wise, as the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies, production activities on the farm and the storage, processing and distribution of farm commodities and item of made from them”
Kira-kira, secara liar pendapatnya itu dapat kita artikan “Kesatuan total dari seluruh usaha yang berkaitan dengan produksi dan distribusi seluruh sarana produksi; usaha produksi dalam kegiatan budidaya; usaha penyimpanan, pengolahan dan distribusi.”
Di Indonesia, agribisnis mulai gencar dibicarakan melalui mimbar akademik. Beberapa Universitas membuka program studi agribisnis. Secara terbuka, agribisnis mulai diketengahkan oleh Menteri Pertanian yang juga akademisi IPB: Syarifuddin Baharsah.
Kemudian, yang pendapat dan tulisannya tentang agribisnis paling banyak dikutip media adalah Prof. Bungaran Saragaih. Guru Besar IPB ini sangat konsisten dengan gagasannya: Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian.
Untuk menyebar gagasannya itu, selain menulis jurnal, Bungaran juga mengasuh satu rubrik khusus di media Suara Pembaruan. Namanya: Suara dari Bogor.
Tulisan-tulisan populer itu tidak hanya menjadi konsumsi kaum kampus, tapi dengan mudah dapat dicerna oleh yang non-agribisnis atau orang yang tidak berkecimpung di agribisnis.
Nampaknya, konsistensi itu berlanjut hingga Bungaran diangkat menjadi Menteri Pertanian. Dalam masa hampir lima tahun itu, Bungaran menjadi menteri untuk dua orang Presiden, Gus Dur dan Megawati. Capaian terbaik Bungaran ketika menjadi Menteri Pertanian adalah: Indonesia swasembada beras.
Setalah jabatan Menteri selesai, Bungaran masih melanjutkan perjuangan membumikan agribisnis. Melalui IPB, melalui media masa, Bungaran terus menularkan gagasannya.
Bungaran tidak hanya bicara teks book. Dia juga memberi pandangan terhadap kasus-kasus agribisnis, termasuk dari sudut pandang kebijakan.
Sekarang, pemikiran-pemikirannya itu sudah dibukukan, oleh murid-muridnya, oleh koleganya. Buku buku itu hadir ketengah masyarakat, memberikan referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajari agribisnis, entah itu mahasiswa, dosen, pelaku agribisnis, masyarakat, petani, pengambil kebijakan, termasuk saya…[]