Dahlan Nusantara

0
105
Fhoto: Kompas.com
Ilustrasi Vaksin (Kompas)

Oleh: Alja Yusnadi

Maksudnya Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN itu. Sekarang, di tengah kesibukan bisnis, jurnalistik dan keluarga, Dahlan masih sempat menulis satu artikel satu hari yang dipublis melalui Disway.id.

Saya menjadi salah satu pembaca tulisan Dahlan itu. Saya menyukai tulisan yang seolah-olah sedang bertutur itu. Lagi pula, ada saja kebaruan ide yang ditampilkan Dahlan melalui Disway nya itu.

Konsistensi itu masih sampai sekarang. Melalui alur tulisan-yang kadang-kadang teknis sekali itu—saya duga Dahlan menulis sendiri artikelnya, bukan oleh orang lain.

Saya pernah mencoba untuk menulis satu tulisan setiap hari, bukan ingin mengikuti apalagi menyaingi Dahlan, jauh sekali. Saya hanya mengisi waktu yang sangat luang. Imbas Korona, tidak bisa kemana-mana. Tapi tidak lama, hampir setahun. Setelah itu, hanya beberapa tulisan setiap bulan.

Banyak sekali sudah tema yang dia tulis, mulai dari “perang” Tiongkok dengan Amerika, Pemilu Amerika, Porang, dan masih banyak lagi.

Terakhir—sebelum tulisan ini terbit—Dahlan menulis secara berseri tentang Vaksin Nusantara, disingkat Vaknus.

Vaknus adalah istilah yang dikembangkan oleh Dr.,dr, Letjen Terawan Agus Putranto dan kawan-kawan. Dari nama, saya menangkap semangat keindonesiaan. Entah iya begitu, semoga saya tidak salah menangkap.

Ini masih menyangkut penanganan Covid-19. Vaknus ingin menjadi “penangkal” Korona buatan Indonesia. Ternyata upaya tersebut tidak berjalan mulus. BPOM, sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk mengawasi obat-obatan dan makanan belum merekomendasi Vaknus itu untuk dilanjutkan.

Vaknus dianggap di luar jalur vaksinasi secara umum. Bahkan, ada yang menyatakan Vaknus bukan bagian dari vaksinasi. Hal itu sejalan dengan sikap BPOM yang tidak memberikan izin uji klinis tahap II kepada Vaknus.

Saya bukan ahli epidemologi, bukan ahli kesehatan, bukan juga ahli vaksin. Saya hanya belajar ekonomi pertanian, itupun belum seberapa. Jadi, dalam tulisan ini, saya tidak sedang membela atau mencela Vaknus atau Vaksin yang lain.

Tidak sedikit pula tokoh di Nusantara yang mendukung keberadaan Vaknus ini. Dan, itulah yang ditulis Dahlan dalam Disway nya itu.

Selama tujuh hari berturut-turut, sejak 13 April 2021, tulisan Dahlan berjudul Nusantara, mulai dari Sudi Nusantara, Fadilah Nusantara, Sampai Ical Nusantara.

Nama-nama beken itu adalah yang dengan suka rela menjadi “relawan” Vaknus. Sudi adalah mantan mentri sekretaris kabinet. Siti Fadhilah Supari adalah mantan menteri kesehatan, Aburizal “ical” Bakrie adalah mantan menteri koordinator kesejahteraan rakyat, dan seperti yang Anda tahu.

Secara umur, mereka sudah tidak lagi muda, di atas 60 tahun, bahkan ada yang sudah di atas 70 tahun.

Kenapa mereka seakan-akan begitu percaya kepada Vaknus? Saya duga, ini bukan hanya soal Vaknus, yang sangat besar pengaruh bagi kepercayaan mereka adalah Terawan sang dokter-jendral itu.

Sudi dan Fadilah adalah dua Menteri pada masa itu yang ikut “membantu” Terawan melalui RSPAD Gatot Subroto mendapatkan alat kesehatan yang kemudian kontroversi itu: Mencuci otak.

Saya tidak tahu padanan kata yang pas untuk mewakili cuci otak, yang jelas fungsinya untuk membersihkan darah yang mengumpal.

Kalau Ical, sudah pernah merasakan bagaimana hasil “terapis” Terawan itu.

Masih ada nama-nama beken lain yang dengan suka rela ikut Vaknus. Mereka adalah para politisi, ada nama Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI, Emanuel Melkiades Lakelena, Pimpinan Komisi Kesehatan DPR, Adian Napitupulu dan beberapa nama lain.

Adian, memiliki alasan tersendiri ikut Vaknus. Disaat vaksin lain tidak dibolehkan untuk orang yang mengalami masalah dengan jantung, Vaknuslah yang menjadi pilihan.

Sepertinya, “perdebatan” Vaknus kian panjang dan melibatkan banyak tokoh. Menurut saya yang bukan ahli ini-itu, faktor utamanya adalah kepentingan publik. Jika Vaknus mampu menjawab persoalan yang lagi pelik-peliknya ini, tidak salah diberikan ruang.

Pun jika tidak memenuhi kaidah ilmiah sebagai vaksin, keluarkan saja Vaknus dari jalur vaksin, tawarkan nama lain.

Membelenggu Vaknus di dalam kerangkeng ketidak ilmiahan bukan pilihan tepat. Apalagi, Terawan dengan beberapa “penemuan” sebelumnya telah menarik perhatian publik. Padahal, Terawan sudah dikeluarkan dari keanggotaan Ikatan Dokter.

Semakin banyak tokoh yang dengan sukarela menjadi relawan Vaknus, semakin meyakinkan publik—setidaknya saya—akan Vaknus ini. Masing-masing mereka memiliki cara tersendiri.

Salah satunya adalah Dahlan Iskan. Melalui tulisan-tulisannya memberikan “pembelaan” terhadap Vaknus. Tidak berlebihan kiranya kita sebut: Dahlan Nusantara.