Oleh: Alja Yusnadi
Ada-ada saja, “Rencong kiri-kanan, pulau bisa hilang,” ujar Nasir Jamil, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Aceh II. Ucapan Nasir itu tidak baru sama sekali, sering diucapkan sebagai adagium untuk menggambarkan ketika orang Aceh yang kehilangan dompet di Medan, “Rencong kiri-kanan, dompet bisa hilang,” begitu kurang lebihnya.
Rencong merupakan senjata tajam khas Aceh. Pada masa saya kecil, orang-orang dewasa masih ada yang membawa Rencong kemana-mana, diselipkan di pinggang. Rencong adalah keperkasaan. Rencong kiri-kanan itu saya duga hiperbola.
Copet adalah sebuah tindakan mengambil barang orang lain secara diam-diam, mirip pencuri, namun copet lebih dekat dengan mencuri tas atau dompet yang berada di dalam saku atau genggaman. Tidak semua orang bisa mencopet dengan baik, butuh keahlian. Saya tidak tahu, apakah pencopet benar-benar berani untuk memangsa orang Aceh yang di pinggangnya terselip Rencong atau itu hanya kiasan belaka.
Nasir tentu sedang meledek elit politik Aceh. Seolah-olah dia mau mengatakan, “kalian politisi Aceh ngapain saja, kenapa pulau itu bisa hilang.” Yang Nasir lupa, dia adalah politisi Aceh juga dah sedang menjabat pula. Tidak tanggung-tanggung, Nasir sudah mewakili Aceh selama empat periode di DPR, pencapaian Nasir ini hanya bisa disaingi oleh Teuku Rifki, anggota DPR lainnya yang juga dari daerah pemilihan Aceh. Selain Rifki, tentu Nasir tidak ada tolak bandingnya.
Pulau yang dimaksud adalah beberapa pulau yang dekat dengan kepulauan banyak. Secara administrasi, kepulauan ini berada di kabupaten Singkil. Gugusan pulau ini tidak ada bandingannya di Aceh, daratan-daratan kecil itu berada di tengah lautan lepas. Anda bisa bayangkan bagaimana indahnya? Saya menghabiskan masa kecil di kepulauan Banyak. Saya sekolah di SD 2 Pulau Balai, kecamatan Pulau Banyak.
Pada masa itu, kepulauan banyak tidak banyak disentuh oleh pembangunan. Jaraknya yang sangat jauh dari ibukota Provinsi membuat pulau banyak sangat jarang diperhatikan. Yang sanya ingat, pada masa orde baru, pula banyak adalah lumbung suara, hampir 100 persen. Entah bagaimana suara itu diperolah, saya tidak tahu.
Konon, dulu ceritanya pulau-pulau yang ada di kepulauan banyak berjumlah 100 pulau. Lambat-laun, beberapa pulau tenggelam oleh lautan. Hal ini menggambarkan, ukuran pulau-pulau itu sangat variatif, ada yang sangat besar seperti Pulau Balai, Haloban, Bangkaru, dan seterusnya, ada yang sedang, ada juga yang kecil, salah satu yang berukuran kecil itu adalah yang dinyatakan hilang. Cerita itu saya dengar sekitar tahun 90-an. Terkini, saya kurang tahu.
Tidak semua pulau berpenguni. Selain pulau-pulau besar yang saya sebut tadi, hanya menjadi kebun kelapa. Pun demikian, karena kemolekan alamnya, pulau banyak menjadi minat tersendiri bagi wisatawan asing. Bayangkan, di tahun 90-an saya sudah melihat orang-orang bule berjemur di pulau palambak.
Sebenarnya, pulau banyak ini menarik hasrat para pengusaha untuk mengembangkannya. Saya tidak tahu, apakah pulau-pulau nan indah itu masih dimiliki oleh orang lokal atau sudah berpindah tangan kepada pengusaha dari luar.
Pada saat itu, Pulau Banyak terkenal dengan hasil lautnya. Saya mengenal banyak jenis ikan ya di sini. Penduduknya sebagian besar berprofesi nelayan. Pernah juga menghasilkan Cengkeh. Penduduknya campuran. Saya mengidentifikasi menurut Bahasa. Ada yang menggunakan Bahasa Singkil, Bahasa Aceh, Bahasa Nias dan yang paling banyak menggunakan Bahasa jame khas pulau banyak.
Saya mengenal keberagaman di pulau terpencil ini. Saya memiliki teman satu kelas di SD 2 Pulau Balai yang beragama Katolik. Namanya Agustinus, berasal dari Nias. Saya juga berteman dengan Heni, Junaidi, Darisman, dan banyak nama lain yang kalau saya tulis terlalu panjang. Mereka semua anak pulau. Saya sendiri menggunakan Basaha Aceh. teman-teman saya itu, mengidentifikasi saya sebagai orang Aceh. Tidak ada perkelahian diantara kami gegara Agama, suku atau Bahasa, kecuali soal kelereng atau rebutan mainan.
Saya mereli kembali memori. Rupanya, empat pulau yang sekarang diperebutkan itu tidak masuk ke dalam gugusan pulau banyak. Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, Pulau Panjang itu masuk ke dalam wilayah Singkil Utara.
Inilah resiko daerah terluar atau terjauh dari pusat ibukota. Isu ini sudah mencuat sejak beberapa tahun yang lalu dan sudah disuarakan oleh politisi Singkil. Penataan daerah perbatasan memang menjadi masalah tersendiri. Sudah seharusnya dimasukkan ke dalam program prioritas yang akan diurus. Itu belum lagi mengenai kependudukan, saya duga juga banyak masalahnya.
Kalau Pemerintah Aceh menganggap penting keberadaan empat pulau dan daerah perbatasan yang lain, segera buat kebijakan. Kebiasaan buruk pejabat publik kita, kalau sudah ribut baru sibuk. Kalau sudah hilang dompet, baru teringat sama Rencong. Bukan apa-apa, selain perbuatan sia-sia, juga kesannya tidak ksatria, gitu lho!
Disclaimer: Tulisan ini sudah pernah tayang di: https://anteroaceh.com/news/nestapa-empat-pulau/index.html