Politisasi Lembaga Kemanusiaan

0
87
Ilustrasi: anteroaceh.com

Oleh: Alja Yusnadi

Apakah Anda pernah mengalami bagaimana grasak-grusuk nya ketika salah satu saudara, teman, atau kerabat Anda yang sedang terbaring di Rumah Sakit membutuhkan darah, sementara persediaan darah dengan spesifikasi serupa tidak tersedia? Ya, mungkin saja reaksi Anda saat itu ingin menyumbangkan darah Anda segera, namun tidak bisa karena tidak sama spesifikasinya, atau jangan-jangan ada hasrat untuk menonjok petugas yang ada di hadapan Anda. Begitulah, bagaimana pentingnya persediaan darah harus selalu terjaga di Rumah Sakit atau di Unit Transfusi Darah.

Saking pentingnya, mulai dari pemerintah Aceh sampai dengan lembaga non pemerintah memberikan perhatian serius untut menjaga perseidaan darah. Pemerintah Aceh misalnya, menganjurkan aparaturnya untuk melakukan donor rutin. Begitu juga dengan lembaga-lembaga sosial, melalui jaringannya mengajak masyarakat untuk melakukan donor darah. Kesadaran masyarakatpun saya perkirakan meningkat untuk melakukan donor. Mulai dari membuat jargon “Donor darah bagus untuk kesehatan”, menjangkau tempat-tempat keramaian, mengirimkan pesan berantai. Semua itu, dilakukan tidak lebih dan tidak kurang untuk mengajak masyarakat donor darah. Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk donor, semakin baik untuk persediaan darah.

Seketika, kepercayaan publik yang sudah dibangun berpuluh tahun itu runtuh. Ibarat kata pepatah, kapal itu tenggelam bukan karena air di sekelilingnya, melainkan air yang ada di dalam kapal. Begitu juga dalam perkara darah ini, yang meruntuhkan kepercayaan publik itu adalah petugas atau pengurus lembaga yang mengurusi darah itu sendiri.

***
Beberapa hati terakhir, pengguna media sosial di Aceh beramai-ramai menghujat pengurus Palang Merah Indonesia (PMI) Banda Aceh. Pasalnya, beberapa pengurus mengirim persediaan darah yang ada di PMI Banda Aceh ke Tangerang. Saya sebut beberapa pengurus, karena ada dua kubu pernyataan yang berbeda dalam hal ini. Kubu pertama, diwakil oleh Sekretaris yang menyatakan tidak ada musyawarah terkait pengiriman darah tersebut. Kubu kedua, diwakili oleh Ketua dan Kepala Unit Transfusi Darah, menurut mereka pengiriman darah tersebut sudah sesuai prosedur: untuk menghindari kedaluwarsa dan misi kemanusiaan.

Mencuatnya isu ini kepermukaan, mengindikasikan beberapa hal. Petama, ada masalah internal PMI Banda Aceh. Munculnya pernyataan Ketua dan Sekretaris dalam waktu yang tidak bersamaan dan berbeda sudut pandang ini mau tidak mau membuat publik berkesimpulan bahwa pengurus PMI Kota Banda Aceh sedang tidak harmonis. Sebagai lembaga kemanusiaan, tidak sewajarnya terjadi konflik kepentingan.

Kedua, adanya indikasi perdagangan darah. Ini yang bahaya. Jangan sampai kalkulator publik bekerja dengan masif, menghitung berapa keuntungan yang diperoleh dengan mengirim darah ke luar daerah.

Benarkah demikian? Melihat dari sisi organisasi, Ketua PMI Kota Banda Aceh sepertinya sedang tidak disukai atau minimal lagi bersebrangan dengan Sekretaris, Bendahara, dan beberapa Wakil Ketua. Hal itu bisa kita lihat dari pernyataan media beberapa pengurus itu. Mereka menuding Ketua main sendiri, tidak melibatkan pengurus. Hal ini tidak boleh terjadi dalam waktu yang lama, akan mengganggu kinerja lembaga sosial tersebut dan menurunkan kepercayaan publik untuk donor darah.

Menurut saya, kemungkinan pertama lebih masuk akal, atau mungkin juga berjalan secara simultan dengan kemungkinan kedua. Perdagangan darah adalah kesimpulan yang berbahaya, jangan sampai publik beramai-ramai mengambil kesimpulan demikian. Keterlibatan uang dalam penyediaan darah ada aturannya, setidaknya diatur melalui Peraturan Gubernur (Pergub), angkanya sekitar Rp. 360 ribu per kantong. Saya belum melihat ada celah yang dapat menguntungkan dalam pengiriman darah ini. Justru sebaliknya, pengiriman darah ke Tangerang diperkirakan Rp. 300 ribu per kantong, padahal pengiriman untuk Rumah Sakit Umum Zainal Abidin sekitar Rp. 330 ribu per kantong, kalau merujuk kepada Pergub Rp. 360 ribu per kantong. Semoga saja, pengiriman darah ke luar daerah terkait dengan misi kemanusiaan, bukan misi bisnis.

Kerjasama antar lembaga kemanuasiaan merupakan hal yang lumrah. Pada saat tertentu, Aceh menerima begitu banyak bantuan dari lembaga kemanusiaan, lihatlah ketika Tsunami, lebih seratus lembaga kemanusiaan hadir ke Aceh. Hal yang wajar juga ketika lembaga sosial yang berbasis di Aceh membantu masyarat di daerah lain, termasuk bantuan darah ini. Dengan catatan di Aceh persediaan darah melebihi kebutuhan.

Jika benar demikian, maka urusan berikutnya adalah membereskan internal PMI Banda Aceh, kembalikan saja ke Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, kalau tidak beres juga, sudah saatnya PMI Provinsi Aceh atau PMI pusat mengambil tindakan tegas, jangan sampai kekisruhan ini menurunkan semangat masyarakat untuk donor darah.

Reaksi paling keras disampaikan Gubernur Aceh melalui juru bicaranya. Mereka mengkritik pengiriman darah itu jika terbukti melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP). Mungkin saja, reaksi keras itu karena salah satu pedonor rutin adalah pegawai pemerintah Aceh melalui anjuran Gubernur. Imbasnya, Pemerintah Aceh menganjurkan aparaturnya untuk melakukan donor darah langsung ke RSU Zainal Abidin, tidak lagi di PMI Banda Aceh.

Mencuatnya isu darah ini hampir bersamaan dengan munculnya informasi mengenai pelesiran Gubernur Aceh bersama anggota DPR Aceh ke Amerika Serikat. Publikpun memberi respon beragam, ramai yang menghujat. Sebenarnya, pelesiran dalam bentuk kunjungan kerja itu dibolehkan oleh aturan, termasuk penggunan anggarannya.

Persoalan penting adalah: apa yang mereka dapat dari perjalanan dinas yang menghabiskan anggaran daerah sekitar Rp. 400 juta itu? Inilah titik baliknya. Abdurrahman Wahid, tercatat sebagai Presiden yang paling banyak melakukan kunjungan kerja ke luar negri. Tidak sedikit yang menghujat, namun menurut Gusdur, lawatan itu untuk menunjukkan eksistensi Indonesia yang baru saja mengalami huru-hara politik.

Yang menjadi masalah itu, ketika dalam daftar perjalanan dinas yang menggunakan anggaran daerah itu mengikut sertakan keluarga yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah, ya, seperti istri siri misalnya. Kalau sudah begini, tidak kalah amisnya dengan keculasan pengelolaan darah…[Alja Yusnadi]

Disclaimer: Tulisan ini sudah pernah tayang di https://anteroaceh.com/news/politisasi-lembaga-kemanusiaan/index.html