Ekonomi Pancasila di Tengah Percaturan Ekonomi Dunia

0
73
Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: Alja Yusnadi

Pandemi Covid-19 telah berlangsung hampir dua tahun. Situasi ini membuat perekonomian dunia terpuruk. Indonesia, pada tahun 2020 mengalami kontraksi selama tiga kwartal berturut-turut, pertumbuhan ekonomi negatif.

Sepertinya, beberapa negara sudah mulai membuka penerbangan internasional, mereka sudah siap untuk kembali berkompetisi, siap untuk berproduksi. Pandemi telah menyebabkan kinerja ekonomi menurun, menukik tajam, ke dalam. Alat-alat produksi tidak bergerak. Tenaga kerja menganggur. Situasi ini menyebabkan berkurangnya Agregat Demand dan Agregat Suplay. Perekonomian lesu.

Dalam hal ekonomi, seperti biasanya, selalu ada beberapa kekuatan ekonomi dunia. Ada saja kekuatan politik yang berkelindan dengan kekuatan ekonomi dari beberapa negara yang memaksa negara lain, terutama negara berkembang untuk mengikuti skenario politik-ekonominya.

Dominasi Amerika Serikat dan China belum bisa dibendung dalam hal “monopoli” ekonomi dunia. Melalui “Proxy”nya, kedua kekuatan besar ini selalu “ikut campur” dalam ekonomi negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Sebagai negara yang memiliki cadangan energy: modal sumberdaya alam, seperti nikel (bahan baku baterai:litium) yang melimpah, Batu Bara, Gas dan Minyak Bumi, Indonesia harus menjalankan ekonomi-politik diri sendiri (baca:Pancasila) dalam menghadapi percaturan ekonomi-politik global. Apalagi, Indonesia juga memiliki populasi penduduk terbanyak setelah China, Amerika, India. Indonesia memiliki modal untuk menjadi kekuatan alternatif.

Tidak hanya itu, kekuatan Indonesia juga dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Varian turunan dari kelapa sawit tersebut dapat menjadi sumber energy baru. Itu baru beberapa sektor, masih banyak sektor lain yang dimiliki oleh Indonesia.

Modalitas ini, tentunya tidak mampu menggerakkan kekuatan ekonomi, tanpa dibarengi dengan sekelumit kebijakan lainnya. Kebijakan yang berlandaskan pada sebuah komitmen yang tinggi untuk mengembalikan seluruh kekayaan alam untuk kepentingan rakyat Indonesia seperti termaktub dalam Konstitusi kita. Indonesia harus mampu merumuskan apa yang kita sebut dengan Ekonomi Pancasila.

Mengapa Pancasila?

Pancasila memiliki sejarah dan akar yang kuat. Istilah itu bukan muncul tiba-tiba pada saat sidang BPUPKI. Pancasila bukan barang baru. Dianya ditemukan dari perjalan panjang bangsa ini, yang oleh Bung Karno pada saat itu menjawab pertanyaan Ketua sidang, di sampaikan dalam pidato yang gegap gempita.

Sejak saat itulah, Pancasila menjadi Konsensus, kesepakatan para pendiri bangsa. Pancasila menjadi falsafah dasar berdirinya Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, Bahasa, agama, dan seterusnya. Pancasila lah yang menjadi perekat.

Lalu, bagaimana dengan Ekonomi Pancasila? Istilah ini setidaknya pernah diperkenalkan oleh Dr. Emil Salim. Secara konseptual, ekonomi Pancasila ini menjadi penengah dari konsep ekonomi kanan yang menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar dan ekonomi kiri yang sepenuhnya diatur oleh negara.

Barangkali, dalam praktiknya ekonomi Pancasila ini belum diterjemahkan dalam sebuah konsep ekonomi yang komplek seperti teori-teori ekonomi pada umumnya. Namun, diskursus mengenai ekonomi Pancasila ini tidak boleh berhenti. Salah satu ekonom yang paling serius menggali Ekonomi Pancasila ini adalah Prof. Mubyarto. Pemikirannya itu telah dituangkan ke dalam buku yang berjudul “Ekonomi Pancasila, Gagasan dan kemungkinan.” Gagasan Mubyarto itu juga telah dilanjutkan oleh pembelajar yang lain melalui tulisan-tulisan ilmiah.

Prof. Didin S. Damanhuri, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University juga telah menulis tenang Ekonomi Pancasila. Selanjutnya, Arif Budimanta melalui bukunya “Pancasilanomics” juga telah menulis tentang Ekonomi Pancasila.

Begitulah, sebagai sebuah ilmu, Ekonomi Pancasila terus diperbincangkan. Apalagi, saat ini, Indonesia telah memiliki BPIP yang berwenang mengelola agar Pancasila sebagai Idiologi harus masuk keseluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu diperkuat lagi dengan kehadiran BRIN. Harapannya, perkawinan BPIP dengan BRIN ini dapat melahirkan terobosan-terobosan baru membumikan Pancasila, termasuk dalam hal Ekonomi Pancasila.

Untuk menerjemahkan konsep dan arah perekonomian Indonesia masa depan, sudah saatnya gagasan Ekonomi Pancasila diteruskan menjadi sebuah konsep. Ekonomi Pancasila harus menjadi paradigma baru dalam ilmu ekonomi. Paradigma baru ini seperti yang disampaikan Thomas Kuhn, harus menjadi cara pandang baru dalam ilmu pengetahuan yang dapat menyelesaikan masalah. Dalam hal ekonomi klasik dan neo klasik, salah satu reduksionisnya adalah ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi secara makro hanya menggambarkan bagaimana pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, namun tidak menggambarkan keadilan ekonomi. Dimana, faktor-faktor produksi yang diukur dalam PDB dikuasai oleh beberapa persen penduduk saja.

Melalui konsep Ekonomi Pancasila, Indonesia harus tampil sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia. Di sisi lain, ekonomi Pancasila juga haru mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan pemerataan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketika bicara pertumbuhan ekonomi, negara tidak hanya mempertimbangakn pengusaha saja, petani saja, atau masyarakat konsumen saja.

Melalui ekonomi Pancasila, tidak boleh ada lagi rakyat Indonesia yang tidak bisa mengakses alat-alat produksi. Ekonomi Pancasila harus mejadi sistem ekonomi yang menguntungkan semua pihak. Ekonomi Pancasila harus menjadi sistem ekonomi yang membuat Indonesia berdikari, berdiri di atas kaki sendiri sehingga membuat Indonesia berdaulat secara politik, dan berkepribadian secara budaya.