Oleh: Alja Yusnadi
Apresiasi harus kita berikan kepada Presiden Joko Widodo. Dari sekian banyak keberhasilan dan kekurangannya, salah satunya adalah mengeluarkan Peraturan Presiden 66/2021 tentang Badan Pangan Nasional yang seterusnya saya singkat dengan Bapanas. Bukan apa-apa, sudah hampir 9 tahun sejak Undang-undang 18/2012 tentang Pangan disahkan, baru sekarang dikeluarkan Perpresnya, seharusnya Bapanas itu sudah ada 6 tahun yang lalu, atau 3 tahun setelah Undang-undang Pangan disahkan.
Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari lembaga ini? Pangan memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga stabilitas nasional. Jika ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian serius oleh pemerintah, salah satunya adalah pangan. Posisinya tidak kalah penting dari sistem pertahanan negara. Salah sedikit dalam mengelola isu pangan, akibatnya bisa fatal, apalagi kalau sampai menimbulkan unjuk rasa berjilid-jilid, tentu sangat bahaya. Satu komoditi saja yang bergejolak, langsung direspon oleh masyarakat secara luas, salah-salah bisa menyebabkan pemerintah oleng.
Selama ini, pangan diurus oleh beberapa lembaga pemerintah, yaitu Kementrian Pertanian yang berwenang mengurus soal produksi pangan, sampai menentukan kuota import pangan bersama dengan Kementrian Perdagangan. Satu instansi lagi yang sudah berpuluh tahun terlibat dalam mengurus pangan adalah Badan Urusan Logistik (BULOG) yang belakangan sudah menjadi Perusahaan Umum.
Kewenangan yang selama ini tersebar di beberapa Kementrian itu disederhanakan menjadi kewenangan Bapanas ini. Sangat strategis bukan? Mungkin, karena perannya yang besar ini juga yang membuat proses kelahirannya juga lama. Bayangkan, kewenangan yang sudah terlalu lama tentu melahirkan banyak aktor yang ikut terlibat di dalamnya.
Pasca keluarnya Perpres 66/2021 itu, Bapanas sebagai lembaga yang langsung berada di bawah Presiden mengambil alih seluruh kewenangan yang berkaitan dengan pangan. Hal ini sangat efektif untuk menyederhanakan proses birokrasi, tidak harus melewati banyak instansi, yang kadang-kadang masing-masing instansi itu memiliki ego sektoral yang sama besarnya pula.
Bapanas memiliki kewenangan mulai dari menyelenggarakan fungsi koordinasi, perumusan dan penetapan kebijakan ketersedian pangan, stabilitas pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, hingga penganekaragaman konsumsi pangan dan keamanan pangan.
Lebih spesifik lagi, Kementrian Perdagangan mendelegasikan kewenangannya terkait perumusan kebijakan dan penetapan kebijakan stabilitasi harga dan distribusi pangan. Kementrian Perdagangan juga mendelegasikan kewenangan terkait perumusan kebijakan dan penetapan kebutuhan eksport dan import kepada Bapanas.
Kementrian Pertanian mendelegaasikan kewenangan kepada Bapenas dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara di bidang pangan. Selanjutnya, Bapanas juga menerima pelimpahan wewenang dari Kementrian Pertanian dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan harga pembelian pemerintah dan rafaksi harga. Pelaksana kebijakan pangan nasional dikuasakan dari Kementrian BUMN kepada Kepala Bapanas untuk memutuskan penugasan kepada Perusahaan Umum BULOG. Singkatnya, Bapanas mengurus pangan dari hulu sampai ke hilir.
Masalah Pangan
Melalui kewenangan yang besar ini, Bapanas akan menjelma sebagai lembaga sentral dalam mengurus pangan Indonesia. Oleh Karen itu pula, Presiden harus memilih orang yang tepat untuk mengurus Bapanas ini. Setidaknya, orang yang akan ditunjuk untuk mengisi posisi-posisi penting di Bapanas harus memiliki track record yang jelas dan terang dalam urusan pengelolaan pangan, kolaborasi yang sangat baik antara akademisi dan praktisi yang sudah lama bergelut dengan isu pangan.
Dalam perjalanannya nanti, setidaknya Bapanas akan menghadapi beberapa tantangan dalam mengelola pangan, beberapa diantaranya akan saya ulas di dalam tulisan singkat ini. Pertama, diversifikasi pangan. Sebagaimana kita ketahui, selama ini masyarakat Indonesia sangat tergantung kepada beras sebagai pangan penghasil karbohidrat. Angka konsumsi beras perkapita/tahun mencapai 134, 42 kg. Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah Vietnam yang mencapai angka 151 kg (OECD-FAO). Jika dibanding dengan negara pengeksport beras lainnya, konsumsi beras Indonesia tergolong tinggi, lihat saja angka konsumsi beras Jepang 52, 79 kg, China 76, 53 kg, Thailand 99, 71 kg.
Ketergantungan ini menyebabkan konsumsi beras sangat tinggi di Indonesia, produksi beras dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negri, sehingga pada waktu-waktu tertentu harus melakukan import. Bapanas harus menjadikan diversifikasi pangan ini sebagai program strategis nasional.
Selanjutnya, yang menjadi persoalan pangan adalah menjaga kestabilan permintaan dan penawaran. Pertumbuhan penduduk yang diperkirakan bertambah setiap tahunnya akan berpengaruh terhadap permintaan pangan. Sebagai bagian dari warga dunia, pertumbuhan penduduk dunia ikut mempengaruhi penawaran dan permintaan pangan Indonesia, terutama komoditi import.
Bapanas harus membuat perencanaan kebijakan yang dapat memprediksi keseimbangan penawaran dan permintaan komoditi pangan. Selain memastikan ketersediaan apakah melalui produksi dalam negri atau import, Bapanas juga memperhatikan posisi harga jual petani, jangan sampai babak-belur karena kebijakan pemerintah.
Bapanas harus memiliki pemetaan yang kuat mengenai berbagai komoditi pangan, komoditi apa yang harus swasembada, komoditi mana yang lebih menguntungkan jika diimport. Bapanas harus memiliki target terhadap pemenuhan pangan ini, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
Masalah selanjutnya adalah akses pangan bagi kelompok rentan. Tidak semua orang dapat mengakes pangan, baik karena ketidakberdayaan maupun karena kelangkaan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sebagai leading sektor pangan, Bapanas harus memastikan seluruh masyarakat dapat mengakses pangan, baik melalui skema yang sudah ada, maupun menerapkan skema baru.
Itulah sekelumit masalah pangan yang sudah ada dari dulu. Selanjutnya, apakah Bapanas akan menjadi solusi? atau malah sebaliknya, menjadi masalah bagi pangan Indonesia? Kita tunggu saja kiprahnya. Kalau saya, memilih yang pertama; Bapanas menjadi solusi bagi pangan Indonesia.
Catatan: Tulisan ini sudah pernah terbit di https://www.tabloidsinartani.com/ versi cetak edisi 16-21 Februari 2022.