Oleh: Alja Yusnadi
Rencana, saya masih mau menulis perihal ribut-ribut dua minggu yang lalu, terutama minyak goreng. Efek ributnya masih terasa, beberapa hari yang lalu, saya sengaja melakukan “survey” kecil-kecilan, saya menanyakan minyak goreng di beberapa warung langganan saya. Hasilnya? Seperti yang Anda duga, tidak ada yang menjual minyak goreng dengan merek apapun.
Namun, intensi saya untuk menulis perihal minyak goreng berbelok di tengah jalan. Apa sebab? Ada dua hal, Pertama perihal agresi militer Rusia terhadap Ukraina. Operasi militer itu tidak boleh tidak berdampak terhadap ekonomi global. Kemungkinan harga minyak dunia akan naik, begitu juga dengan harga emas. Lantas, bagaimana nasib para jomlo? Ah, sudahlah tidak usah saya lanjutkan. Kedua, perihal komentar Yaqut yang Menteri Agama itu beserta komentar-komentar setelahnya. Untuk kali ini, saya memilih perihal yang kedua.
Beberapa group whatapps yang saya ada di dalamnya ikut menggunjing perihal ini. Seperti yang Anda tahu, dimulai dari Surat Edaran Menteri Agama No 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Surat Edaran itu dikeluarkan tanggal 18 Februari 2022. Sejak saat itu pula, suara penolakan sudah mulai mengemuka. Ada yang menganggap Pemerintah tidak perlu mengatur, ada yang mengatakan Menag kurang kerjaan, bahkan ada yang mengatakan merugikan Islam.
Pun demikian, ribut-ribut itu masih dalam skala kecil, masih banyak yang membela. Namun, ribut-ribut itu kembali menguat, Pasca Menag Yaqut menjawab pertanyaan wartawan yang mencegatnya sambil jalan. Komentar yang membuat heboh itu, saya yakin Anda sudah berulang kali mendengarnya.
Bagaikan ilalang kering di tengah terik matahari yang dipercikkan api, tidak perlu menunggu lama, penggalan video itu secepat kilat menyebar dan ditanggapi. Yaqut menjadi bulan-bulanan, bagaikan samsak hidup, yang dipukul oleh politisi kelas kakap, politisi kelas teri, politisi kelas kampung, sampai awam. Bahkan, Ketua Fraksi PKB di DPR RI ikut menanggapi, menyuruh Menag mencabut SE itu. Seharusnya, PKB sebagai partai asal Yaqut dapat memanggil adik dari Ketua PBNU ini, menanyakan alasan seraya memberikan “tausiah”.
Secara datar, statement Yaqut itu telah “dihukum” oleh netijen, tidak ada ampun. Bagaimana kalau kita lihat dari sisi yang berbeda? Isu agama ini sangat sensitive, apalagi di tengah arus globalisasi informasi ini. Barangkali, statement Menag Yaqut ini tidak akan sebombastis ini jika dikeluarkan sebelum reformasi.
Bukan apa-apa, selain belum ada internet, berikut pernak-pernik media sosial lainnya, selera humor dan tingkat sensitifitas orang pada masa itu tidak selapuk sekarang, setidaknya menurut pengamatan saya.
Sebenarnya, mengenai pengaturan pengeras suara di rumah ibadah ini dalam skala yang lebih kecil sering kita temukan, bukan hanya di komplek perumahan yang agamanya bermacam-macam, tapi di sudut kampung yang jarak Mesjid dengan rumah penduduk tidak begitu dekat dan agamanya sama semua. Yang dipersoalkan memang bukan ketika azan, tapi ketika tadarus Al-quran di bulan Ramadhan. Lha, kalau bicara sakral-sakralan, sakral mana Azan dengan Tadarusan? Anggap saja sama-sama sakral.
Apa yang dilakukan Menag Yaqut tentang Surat Edaran itu bukan barang baru, tapi beberapa negara yang mayoritas penduduknya Islam seperti Malaysia, Arab Saudi sudah duluan mengaturnya. Bahkan, isi ceramah hari Jumat pun harus lulus “seleksi” lembaga terkait.
Bukan apa-apa, bagi negara Monarki semacam Saudi, penting sekali untuk menjaga stabilitas, jangan sampai panggung-panggung agama dijadikan alat politik untuk menyerang Kerajaan. Berbeda dengan negara demokrasi terbesar seperti Indonesia, politisinya bebas berbicara apa saja, termasuk menghasut menggunakan sentiment agama.
Sentimen ini agama ini memang sagat mujarab, apalagi dalam prilaku politik electoral. Penggunaan sentiment agama dalam ranah politik di Indonesia mencapai puncaknya pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Bagaimana masyarakat di belah oleh isu agama. Apakah Menag Yaqut tidak menghitung efek politik?
Saya duga, tidak ada maksud Yaqut membandingkan “apple to apple” antara Azan dan gonggongan Anjing. Yaqut itu, ilmu fiqihnya walaupuntidak alim-alaim sekali, tapi pernah mondok. Dia juga politisi, sebelum ditunjuk menjadi Menag, Yaqut adalah anggota DPR, sehingga dia tahu mana yang dapat diucapkan di ruang publik dan mana yang harus di simpan untuk obrolan di kelambu. Dalam melihat fenomena ini, seketika saya teringat goyunan salah satu Dosen saya, “Akademisi/peneliti itu boleh salah tapi tidak boleh bohong. Kalau politisi itu boleh bohong tapi tidak boleh salah.”
Bagaimana, jika pernyataan Yaqut ini untuk mebelokkan isu kelangkaan minyak goreng? Ini yang mebuat saya jengkel. Disengaja atau tidak, para politisi, mulai dari pusat sampai ke daerah tidak lagi berbicara mengenai kelangkaan minyak goreng, pemerintah daerah harus mendirikan pabrik minyak goreng, bahkan ada Kepala Daerah yang “nekat” mengolah secara manual Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak goreng.
Saya sarankan, setelah isu Menag Yaqut ini selesai, para politisi itu kembali memikirkan solusi terhadap kelangkaan minyak goreng, secara lebih luas memikirkan solusi pangan untuk rakyatnya dalam jangka panjang. Bicara pangan tidak bisa sepotong-sepotong, dalam jangka pendek meningkat produksi dapat menjadi pilihan, namun untuk jangka panjang harus dipikirkan alternatifnya, termasuk diversifikasi komsumsi.
Yang tidak kalah pentingnya, para politisi setelah peristiwa ini segera menghormati Azan dengan segera memenuhi panggilan-Nya. Membaca SE itu, tidak sepenuhnya pembatasan, bahkan ada beberapa point untuk kebaikan, sebut saja adanya pengeras suara luar dan pengeras suara dalam. Pengeras suara yang kualitas suaranya baik. Siapa tahu, selepas SE ini Menag Yaqut membuat pengadaan alat pengeras suara untuk seluruh Mesjid dan Musala se Indonesia, atau setidak-tidaknya membuka ruang untuk Pokok Pikiran Dewan. Begitu juga dengan pengawasan, selain instansi hirarki, Kemenang dapat juga bekerjasama dengan Organisasi Kemasayrakat Islam.
Kepada Menag Yaqut, saya sarankan untuk segera meminta maaf dan menjelaskan kepada publik. Kalau tidak sanggup mengatur kata, saya sarankan Menag Yaqut untuk segera mencari Juru Bicara, minimal yang sekelas Fahri Hamzah, lah!
Tulisan ini sudah pernah tayang di https://www.ghibahin.id/esai/kontroversi-yaqut/