Oleh: Alja Yusnadi
Apakah Anda pernah melihat antrian panjang di SPBU? Atau pernah berada dalam barisan antrian itu? Saya kira itulah salah satu perbuatan sia-sia, terutama bagi kendaraan diatas 1500 cc.
Cobalah bayangkan, membeli kendaraan mahal-mahal sanggup, tiba isi bahan bakar sudah mengharap subsidi. Kurang lebih begini, membeli Kerbau yang harganya dua puluh juta sanggup, untuk membeli tali sudah mengharapkan subsidi.
Antrian panjang itu mirip-mirip antrian pembagian Jadup—Jatah Hidup–, pembagian santunan. Sekarang, antrian serupa juga bisa kita lihat di pangkalan-pangkalan gas elpiji bersubsidi.
Itulah antrian pengendara yang berebut mengisi tangki minyak dengan bahan bakar bersubsidi. Kabarnya, Premium dan Solar tidak boleh digunakan oleh semua jenis kendaraan, terutama diperuntukkan bagi kendaraan yang melayani masyarakat banyak, seperti mobil ambulan, mobil pemadam kebakaran, mobil jenazah, dan yang sejenis dengan itu.
Beberapa hari yang lalu, Pemerintah Aceh melalui Surat Edaran Gubernur No. 540/9186 tahun 2020 melakukan upaya penertiban. Caranya, memasang stiker yang bertuliskan keterangan penggunaan minyak bersubsidi di kendaraan yang mengisi Premium dan Solar.
Kedepan, hanya kendaraan yang berstiker itulah yang dilayani pengisian BBM bersubsidi, yang lainnya tidak boleh, silahkan isi bahan bakar jenis lain.
Satu sisi, kita memandang baik upaya Pemerintah Aceh untuk mengurangi kecurangan. Curang dalam mengisi bahan bakar. Minyak yang seharusnya untuk masyarakat ekonomi lemah dinikmati oleh orang kaya.
Walaupun, kita masih bisa mendebatnya persoalan batasan yang layak mendapat subsidi ini.
Subsidi adalah perkara yang dari masa ke masa tidak pernah tuntas dibicarakan. Tidak pernah selesai dibahas, direncanakan dan diterapkan. Subsidi adalah tema yang selalu mengambang.
Lihatlah dalam perkara Pemerintah Aceh itu. Tidak ada acuan yang jelas mengenai pengguna BBM subsidi. Hanya bermodal stiker. Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara mendapatkan stiker itu? Apakah ada dijual di lapak-lapak pemerintah? Apakah ada calo yang menjajakannya? Kan tidak mungkin kepada Bapak-bapak yang melauching itu kita tanyakan. Bukan apa-apa, setelah launching habislah perkara.
Kemudian, jenis kendaraan apa saja yang boleh mendapat stiker itu? Apa dibiarkan begitu saja, siapa yang mengarahkan tangki ke nosel Premium dan Solar, terus petugas menempelkan stiker di kendaraan tersebut?
Sejak pelauchingan stiker itu, saya belum mengisi BBM. Kalau tidak salah, program pemasangan itu berlangsung selama 7 hari. Saya tidak tahu, apakah setelah lewat 7 hari itu stiker lenyap atau masih tersedia.
Kalau kita membaca SE Gubernur itu benar adanya. Stiker hanya sebagai penanda, kendaraan mana saja yang untuk kedepannya boleh mengisi Premium dan Solar secara terus menerus.
Satu-satunya prasyarat adalah sudah melunasi pajak. Apakah ada petugas pajak atau polisi lalulintas di setiap SPBU? Memeriksa kendaraan mana saja yang sudah lunas bayar pajak? Saya belum membaca keterangan lanjutannya.
Sampai di sini, Pemerintah Aceh mengharapkan kemaluan pengendara mobil. Jadi jangan heran, jika mobil di atas 1500 cc ikut mengantri Premium atau Solar, hanya dengan modal tempelan stiker di jidat mobilnya. Sebaliknya, kalau tidak mendapat stiker “keramat” itu, mobil dibawah 1500 cc tidak boleh mengisi Premiun dan Solar.
Ada yang sakit dalam logika kebijakan ini. Kalau sekedar mengharapkan kesadaran, mestinya tidak perlu diintervensi, biar saja menjadi urusan pengendara. Kalau mau diatur, ya harus jelas ambang batasnya.
Oiya, kalau peruntukan BBM bersubsidi itu untuk masyarakat kurang mampu, apakah yang memiliki kendaraan roda empat masuk dalam katagori kurang mampu? Sampai disini saya makin bingung.
Kira-kira, apakah SE itu keluar atas inisiatif Plt Gubernur, permintaan dari badan pengawas, atau bisikan dari penasehat khusus Gubernur? Sepertinya, walaupun hasilnya tidak populis, ada harapan agar mendapat simpati, pemimpin berpihak kepada masyarakat miskin.
Yasudahlah. Pemerintah Aceh fokus urus penanganan Korona saja dulu. Anggaran refocusing yang tidak jelas peruntukannya. Atau jangan-jangan biaya cetak stiker itu juga masuk ke dalam anggaran refocusing? Saya tidak tahu, lagi pula tidak dijelaskan darimana sumber anggarannya.
Kalau tetap mau mengurus stiker mobil, lebih baik ditempel di kendaraan dinas. Milik Pemerintah Aceh yang sumbernya dari pajak rakyat. Cetak besar-besar, kalau perlu branding seperti yang sering dilakukan kontestan pemilu, isinya: Mobil ini tidak boleh mengisi BBM bersubsidi.
Pengaturan dengan SE Gubernur selayaknya mengatur ke dalam saja, jangan mengatur rakyat banyak, tempel saja stiker itu di kaca depan mobil plat merah, mulai dari BL 1 sampai BL sekian-sekian, termasuk mobil baru yang menyedot APBA 2019 sekitar 100 milyar rupiah.
Kalau Pemerintah Aceh masih kurang kerjaan, ada satu lagi, masih terkait stiker. Seluruh mobil dinas, mulai dari mobil dinas Gubernur, Wakil Gubernur, Sekda, Asisten, Kepala SKPA, hingga kendaraan sub jabatan yang paling bawah harus di tempeli stiker, isinya: Mobil ini dibeli menggunakan APBA yang salah satu sumbernya dari pajak rakyat.
Biar lebih jelas, disetiap kendaraan itu diberi keterangan, misalnya kendaraan dinas Gubernur Aceh, kendaraan dinas Kepala Dinas Ini Itu, dan seterusnya. Biar masyarakat awam, para wajib pajak tahu, dalam setahun APBA membeli berapa kendaraan dinas.
Masyarakat juga perlu tahu, setiap pejabat publik menggunakan kendaraan dengan nomor polisi tertentu. Misalnya, BL 1 di kendarai Gubernur Aceh, BL 2 milik Wakil Gubernur Aceh, sampai ke bawah.
Penempelan stiker seperti itu juga untuk menjaga moral pejabat publik. Agar kendaraan tersebut tidak dipakai di luar keperluan dinas, apalagi untuk melancong ke luar daerah.
Lha, lha, inikan lagi membicarakan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi, bukan perkara mobil dinas pejabat. Iya, iya, saya mengerti, tapi kan masih berkaitan dengan kendaraan.
Mudah-mudahan saja, program stikering ini dapat memperbaiki moral pengendara. Dapat menekan pengguna BBM bersubsidi, tidak harus menambah kuota.
Tulisan ini sudah pernah tayang di rubrik AY Corner Anteroaceh