Oleh: Alja Yusnadi
Nova Iriansyah telah dilantik menjadi Gubernur Aceh sisa masa jabatan 2017-2022. Masih ada dua tahun lagi bagi Nova untuk mewujudkan program Aceh Hebat. Sebuah cita-cita yang dia gaungkan bersama Irwandi Yusuf, pasangannya pada pilkada 2017 silam.
Sejak dilantik awal Nomber lalu, Nova masih seorang diri. Normatifnya, jika tinggal 18 bulan masa jabatan, Nova tidak memerlukan wakil.
Irwandi-Nova dilantik pada tanggal 5 Juli 2017. Satu periode kepemimpinan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dihitung lima tahun sejak dilantik. Artinya, periode itu akan berakhir pada 5 Juli 2022.
Ditarik kebelakang, 18 bulan sebelum habis masa jabatan jatuh pada 5 Januari 2021. Itulah tenggang waktu yang diatur dalam aturan perundang-undangan. Bagaimana jika di luar ketentuan itu? Seharusnya tidak boleh, pun diatur dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh yang leg spesialis itu.
Nova dilantik menjadi Gubernur Aceh sisa masa jabatan pada tanggal 5 November 2020. Hanya menyisakan waktu dua bulan bagi Nova dan partai pengusung untuk merumuskan siapa yang akan mendampingi Nova sebagai Wagub.
Pasca pelantikan Nova, partai pengusung mulai bergerilya, melakukan manuver, saling adu taktik, siapa yang lebih licin.
Irwandi-Nova diusung oleh gabungan partai politik nasional dan partai politik lokal. Di barisan partai nasional ada Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan).
Di barisan partai lokal ada Partai Nasional Aceh (PNA), Partai Damai Aceh (PDA). PNA dan PDA hasil pemilu 2014. Kalau tidak salah, pada saat itu namanya Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh (PDA). Sekarang, untuk mengikuti pemilu 2019 menjadi Partai Nanggroe Aceh (PNA) dan Partai Daerah Aceh (PD Aceh)
Nova merupakan Ketua DPD Partai Demokrat Aceh. Di luar Demokrat, partai pengusung sudah mulai membuat riak, memunculkan nama bakal calon.
PKB misalnya, sudah melempar kepermukaan nama Ruslan M. Daud dan Irmawan. Keduanya merupakan anggota DPR RI dari PKB. Ruslan dari daerah pemilihan (Dapil) Aceh II dan Irmawan dari dapil Aceh I.
Ruslan pernah menjabat sebagai Bupati Bireun. Kalau Irmawan sudah dua periode menjadi anggota DPR RI, keduanya dari PKB. Sebelumnya, Irmawan merupakan anggota DPRA dari PKB. Sekarang, Irmawan memegang tampuk pimpinan DPW PKB Aceh.
Sepertinya, kalau PKB ingin menyorong tokoh partai sebagai pendamping Nova, tentu Irmawan lebih berpeluang. Selain ketua PKB, dia juga sudah teruji ke PKB-annya. Namun, apakah Irmawan akan melepas statusnya sebagai anggota DPR RI? Apalagi harus mundur sebelum keputusan final terpilih atau tidak sebagai Wakil Gubernur Aceh. Ini sangat beresiko, apalagi periode DPR RI berakhir pada 2024, sementara Wakil Gubernur Aceh akan selesai 2022. Demikian juga halnya dengan Ruslan.
PDI Perjuangan juga tidak mau kalah. Muslahuddin, Ketua DPD PDI Perjuangan Aceh sudah beberapa kali mengeluarkan statement ke media. Menurut Muslahuddin, namanyalah yang direkomendasikan dari internal DPD, dan juga tidak menutup kemungkinan dari eksternal.
Selain Muslahuddin, nama Karimun Usman juga tidak bisa dilupakan begitu saja. Namanya sudah kadung “melegenda” sebagai PDI Perjuangan di Aceh. Padahal, sekarang dia bukan lagi Ketua.
Karimun merupakan salah satu orang yang bertanggung jawab terhadap masuknya PDI Perjuangan sebagai partai pengusung Irwandi-Nova pun demikian dukungan PDI Perjuangan untuk beberapa Kabupaten/Kota. Dan, olah karena jasa baiknya itu, Karimun didapuk sebagai Penasehat Khusus Gubernur Aceh.
Di DPRA PDI Perjuangan memiliki satu kursi, di isi oleh M. Ridwan, tokoh masyarakat Gayo. Dia pernah menjadi anggota DPRK Aceh Tengah, pernah menjadi Kadis Pendidikan dan Pengajaran juga di Aceh Tengah, pernah mencalonkan diri sebagau Wakil Bupati Aceh Tengah.
Selain ketiga nama itu, DPP PDI Perjuangan juga bisa meyodorkan tokoh alternatif yang memiliki akses kuat di Nasional, dapat diterima diinternal PDI Perjuangan Aceh dan dapat berkomunikai dengan elit politik Aceh.
PD nampaknya tidak akan mengusulkan kader untuk menjadi Wagub, karena sudah ada Nova.
Dari PNA, sudah ada beberapa nama yang beredar: Samsul Bahri alias Tiyong, Darwati A. Gani. Tiyong adalah Ketua Umum DPP PNA hasil Kongres Luar Biasa Bireun yang sekarang juga sedang menjabat sebagai anggota DPRA.
Sementara Darwati adalah Istri Irwandi Yusuf dan juga anggota DPRA dari PNA. Dalam konflik internal PNA, Darwati berada di kubu Irwandi. Bersebrangan dengan Tiyong.
PDA mengusulkan nama Tgk. Muhibbusabri, Ketua Umumnya sebagai calon. Partai ini cendrung lebih tenang, tidak ada perebutan di internal. Karena ketokohan Ketua Umum sangat kuat.
Siapakah yang lebih berpeluang? Tentu, semua partai dan semua orang berpeluang. Hanya saja, ada beberapa kelebihan dan kekurangan. Bagi partai politik nasional, keputusan akhir berada di DPP, di Jakarta.
Baik DPP PD, PKB maupun PDI Perjuangan akan memutuskan secara matang. Kalau mau, PDI Perjuangan memiliki peluang yang lebih besar. Karena, berkuasa di level nasional, minor di Aceh. Ini kesempatan untuk menempatkan kader sebagai Wagub Aceh.
Selanjutnya, yang juga berpeluang adalah PNA. Karena, Irwandi Yusuf, Gubernur sebelumnya dari PNA. Walaupun, dalam aturan tidak diatur. Kendalanya, sampai hari ini PNA belum selesai dengan urusan internalnya.
Jangan-jangan, kalau persoalan itu belum selesai, PNA justru tidak bisa ikut mengusulkan calon. Jika ini terjadi, tentu kerugian besar bagi partai politik lokal ini.
Tgk. Muhib juga berpeluang, dengan catatan menjadi tokoh alternatif. Apalagi, akhir-akhir ini, PDA semakin mesra dengan PKB.
Bisa saja polanya, PDI Perjuangan berkoalisi dengan PNA mengusul satu nama, PDA berkoalisi dengan PKB mengusulkan satu nama. Lalu, kedua nama itu diserahkan kepada Gubernur untuk selanjutnya diserahkan ke DPRA untuk dipilih.
Penentu akhirnya 81 orang anggota DPRA itu. Kalau masih solid, DPRA dikuasai oleh Koalisi Aceh Bermartabat (KAB). Mereka mayoritas, kecuali untuk paripurna hak angket, tidak cukup 5 orang lagi (baca: Minus 5). Kalau hanya voting lima puluh persen plus satu, siapapun calon yang didukung KAB akan menang.
Tentu, KAB tidak sesolid itu lagi, tidak selinear itu lagi. Bisa saja, dalam pemilhan Wagub akan diagonal. Apalagi DPRA dengan Gubernur sudah akur, setidaknya dalam menyepakati KUA-PPAS 2021.
Jika ada berbagai pilihan, salah satunya itu tentu koalisi PNA-PDI Perjuangan. Ini cikal-bakal koalisi strategis partai politik lokal dengan partai politik nasional. PDI Perjuangan dapat membantu komunikasi dengan pemerintah pusat, PNA dapat meyakinkan KAB.
Siapa sosoknya?, saya perkirakan Tiyong sangat refresentatif. Bagaimana itu terjadi? Jika komunikasi politik tingkat atas mampu dibangun oleh Tiyong dan PNAnya. Termasuk, meminta restu Irwandi Yusuf dan ukurannya bisa dilihat dari selesainya kisruh internal. Atau, bisa juga PNA mendorong kader PDI Perjuangan, baik itu Muslahuddin, Karimun, Ridwan, atau nama lain yang disorong oleh DPP.
Sebaliknya, jika DPP partai tidak melihat ada kepentingan strategis dalam mengisi posisi Wagub ini, kemungkinan besar Nova akan sendiri mengurus Aceh, sampai akhir masa jabatannya, walaupun dibolak dan dibalik sebanyak apapun. Kalau Anda, pilih yang mana?
Tulisan ini sudah pernah tayang di rubrik AY Corner anteroaceh.com