Oleh: Alja Yusnadi
Sebuah pesan dari Ibu Redaktur Esai Ghibahin.id masuk ke gawai saya, “Sabtu ini jatah bang Alja, ya” Begitu bunyi pesannya. Pesan itu, tidak lain dan tidak bukan dikirim oleh Ibu redaktur yang biasa saya sapa Mbarin, begitu rajinnya dia. Saya paham, Mbarin hanya ingin memastikan giliran saya tidak tertukar dengan Masdok yang sama-sama mengasuh rubrik Sabtuan.
Iseng, saya bertanya lagi kepada Mbarin, kira-kira isu apa yang sedang “hits” belakangan ini, maklum, akhir-akhir ini saya disibukkan dengan tugas yang membuat pusing tujuh keliling. Dia menjawab, “Tas Aurel yang 1 Milyar mungkin asik ”. Wah, seketika saya terperanjat. Bukan apa-apa, nilai segitu bisa membuka ternak ayam petelur se kecamatan.
Jumat pagi, saya bersepeda kurang lebih 2,5 jam. Selama itu pula harga tas yang satu ember itu berkeliaran di ruang tunggu pikiran saya. Yang menjadi masalah bukanlah harga tasnya, bagi mereka yang punya uang, itu tak jadi soal, apalagi, bagi sebagian kalangan, menggunakan outfit yang bermerek akan mempengaruhi tingkat pendapatan mereka. Semakin mahal harga outfit yang mereka gunakan, ada kemungkinan semakin tinggi pula bayaran yang mereka terima.
Bagi saya, mungkin juga Anda menggunakan sepatu seharga dua puluh juta, baju tiga puluh juta, jam tiga ratus juta, apalagi tas seharga 1,4 Milyar seperti tasnya Aurel itu, bukan saja tidak pantas, tapi juga tidak punya uang sebanyak itu.
Pun demikian, mengenai harga tas Aurel itu hanyalah contoh kecil dari lebarnya jurang pendapatan masyarakat kita. Bagaimana mungkin pendapatan satu orang mengalahkan pendapatan masyarakat lain se kecamatan, se kabupaten. Di mana letak keadilan sosialnya? Ah, yasudahlah, kapan-kapan kita ghibahin.
Secara makro, kita boleh berbangga karena Indonesia masuk ke dalam 20 negara yang pertumbuhan ekonominya berpengaruh di dunia, bersama Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa. Bahkan, untuk tahun 2022, Presiden Indonesia ditunjuk sebagai pemimpin Group of Twenty (G20) ini. Kita boleh berbeda pendapat soal ini, nyatanya tidak semua negara bisa bergabung dengan group ini.
Pada tahun 2020 Indonesia memiliki Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,05 Triliun USD. Artinya, nilai akhir dari produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh orang atau perusahaan pada tahun 2020 mencapai 1,05 Triliun Dolar Amerika Serikat. PDB ini sering dipakai untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pada saat PDB naik, maka pertumbuhan ekonomi juga naik. Makanya, jika pemerintah ingin menaikkan pertumbuhan ekonomi, yang digenjot adalah nilai produksi dalam negri.
Ada satu lagi pendekatan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, namanya Pendapatan Perkapita. Sekali lagi, pendapatan perkapita ini digunakan untuk melihat pendapatan masyarakat secara agregat, bukan per rumahtangga. Bisa saja pendapatan satu orang setara dengan pendapatan orang lain satu kecamatan atau satu kabupaten.
Misalnya saja, pendapatan Atta Halilintar yang memberikan hadiah tas seharga 1,4 Milyar untuk istrinya itu setara dengan pendapatan masyaakat di satu kecamatan di kampung saya. Secara makro, kita bisa berbangga dengan capaian Indonesia yang masuk lima besar pendapatan masyarakat terbesar se Asia Tenggara. Namun, jika kita telisik lebih dalam secara mikro, maka hal-hal yang sangat kontras akan kita temukan.
Tidak usahlah jauh-jauh, jika Anda yang berdomisili di kota-kota besar seperti Jakarta, main-mainlah ke daerah kumuh atau di bawah kolong jembatan, dengan tidak bersusah payah kita akan menemukan masyarakat yang kontras tadi. Bagi Anda yang berdomisili di daerah yang jauh dari kota besar, lihat-lihatlah bagaimana nasib nelayan, buruh tani kita, terutama petani pangan yang setiap hari kita konsumsi hasil keringatnya.
Secara makro, situasi masyarakat yang rentan itu disebut dengan kemiskinan. Sampai September 2021, jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 26,5 juta jiwa atau setara dengan 9,71persen dari total penduduk (BPS, 2021). Jika menggunakan pendekatan Sayogo (1999), berarti ada 26,5 juta jiwa masyarakat Indonesia yang penghasilannya setara dengan 240-320 kg beras per tahun untuk daerah perdesaan dan 360-480 kg beras per tahun untuk daerah perkotaan.
Ada beberapa pola pendekatan untuk mengukur kemiskinan dan ada beberapa lembaga pula yang mengeluarkan indikator kemiskinan. Secara Internasional, Word Bank memiliki indikator tersendiri untuk mengukur angka kemiskinan. Di Indonesia sendiri, kemiskinan ini di highlight oleh Kementrian Sosial, BKKBN, BPS dan beberapa isntansi lain.
Kita tidak berdebat mana instansi yang lebih otoritatif dalam menentukan jumlah orang miskin ini, yang kita tahu, salah satu penyebab kemiskinan itu adalah kesalahan kebijakan ekonomi dan kesalahan pengelolaan sumberdaya alam, seperti disebutkan oleh Lubis (2006).
Mayoritas, yang memiliki pendapatan tertinggi itu berprofesi sebagai pengusaha, tugas pemerintahlah memfasilitasi masyarakatnya agar dapat berwirausaha. Jumlah masyarakat Indonesia yang berwirasusaha masih di bawah 3 persen, jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya. Seharusnya, hal ini lebih penting diurus daripada sekedar mengurus masa jabatan Presiden.
Lalu, di mana salahnya tas Aurel itu? Tidak ada yang salah. Idealnya, semua masyarakat Indonesia harus menghadiahi istrinya, tidak mesti tas seharga 1,4 Milyar, di bawah itu pun boleh. Kalu sudah begitu, aman dan tentramlah keluarga Indonesia.
Disclaimer: Tulisan ini sudah pernah tayang di https://www.ghibahin.id/esai/tas-aurel-dan-keadilan-ekonomi/