Oleh: Alja Yusnadi
Heboh minyak goreng masih berlanjut. Anda sudah tau penyebabnya, ada pemburu rente yang menimbun stock minyak goreng. Mentri Perdagangan sampai minta maaf di hadapan wakil rakyat di Senayan, karena belum bisa mengontrol harga minyak goreng, lebih tepatnya lagi belum bisa mengendalikan para pemburu rente itu.
Di tengah hiruk-pikuk minyak goreng, di Aceh para politisinya justru heboh dengan isu JKA. JKA itu merupakan terobosan Pemerintah Aceh di bawah pemerintah Irwandi-Nazar yang merupakan Gubernur dan Wakil Gubernur pertama yang dipilih rakyat setelah Aceh damai. Irna, begitu singkatan nama pasangan ini maju melalui jalur independen, Irwandi merupakan representatif GAM dan Nazar dianggap mewakili aktivis sipil, keduanya sama-sama pernah di penjara karena “membela” Aceh. Itu dulu, ketika Aceh masih perang, kelak, setelah damai keduanyapun mendirikan partai politik lokal yang berbeda, Irwandi mendirikan PNA dan Nazar mendirikan Partai SIRA.
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) merupakan legacy yang mereka tinggalkan setelah memimpin Aceh dari tahun 2007 sampai 2012. JKA ini merupakan terobosan progresif dalam hal pelayanan kesehatan. Hanya bermodal KTP Aceh, masyarakat sudah bisa berobat gratis di semua fasilitas kesehatan pemerintah, mulai dari Puskesmas sampai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Entah ada hubungannya atau tidak, kemudian hari, dalam bentuk lain, program ini direplikasi secara nasional. Bedanya, JKA tidak memandang status sosial, asal ber-KTP Aceh, bisa berobat gratis. Dalam hal ini, baik calon independen maupun jaminan kesehatan, Aceh memberikan sumbangan gagasan kepada kebijakan nasional.
JKA ini merupakan salah satu—kalau bukan satu-satunya–program otonomi khusus (Otsus) yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh seluruh masyarakat Aceh. Karena manfaatnya itu, tidak ada Gubernur Aceh berikutnya yang berani mengganti program JKA, paling berani mengubah nama, dari JKA menjadi JKRA, hanya menambah kata Rakyat: Jaminan Kesehatan Aceh menjadi Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh. Selebihnya sama saja.
Program ini pula, beserta beberapa program lain yang menyebabkan masyarakat memilih kembali Irwandi sebagai Gubernur Aceh pada Pilkada 207 lalu. Irwandi memilih pasangan Nova Iriansyah yang kelak menggantikannya sebagai Gubernur Aceh.
Di periode kedua, Irwandi tidak lama merasakan panasnya kursi Gubernur, dia keburu ditangkap KPK, lembaga yang fenomenal itu. Irwandi dikeker dengan kasus korupsi, padahal Irwandi sedang giat-giatnya menggaungkan mazhab “hana fee”, artinya tidak boleh menerima fee, komisi, hak agen.
***
Seminggu terakhir, wacana publik dipenuhi oleh narasi JKA, lebih tepatnya lagi jaminan kesehatan itu akan berakhir. Mulai dari eksekutif, legislatif, Ketua partai, sampai pengamat sudah angkat bicara. Mulanya, isu itu dihembuskan oleh Ketua Komisi V DPRA, Fahlevi Kirani. Fahlevi adalah politisi PNA, versi KLB Bireun yang Ketua Umumnya Samsul Bahri.
Setelah itu, berturut-turut para pimpinan partai seolah-olah nampak pasang badan agar JKA jangan dihapus dan megarahkan bola panas kepada Pemrintah Aceh. Tidak ada satu partai pun yang setuju JKA dihapus, baik partai warna merah pekat, hijau, kuning, biru. Bahkan, Muzakir Manaf, Ketua Umum Partai Aceh memberikan tugas khusus kepada Ketua DPRA yang baru untuk membatalkan rencana itu. Serangan politik ini ditangkis oleh Muhamamd MTA, Jubir Pemerintah Aceh. Menurut MTA, anggaran JKA itu direalokasi untuk menampung program pokok-pokok pikir dewan. Pernyataan jubir membalikkan persepsi publik, bola panas berada di DPRA.
Inilah potret politisi kita, selalu semangat diujung, ketika sudah ada keputusan, sudah ada kesepakatan. Wacana evaluasi JKA itu sudah didialogkan dalam berbagai forum, terutama forum yang melibatkan Pemerintah Aceh dan DPRA.
Setidaknya, pembahasan ini sudah berlangsung di Komisi V DPRA yang membidangi kesehatan. Kemudian pembahasan dan kesepakatan pasti sudah terjadi di level Piminan DPRA. Pembahasan lebih lanjut antara DPRA dan Pemerintah Aceh pasti terjadi di dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) dengan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), teruatama dalam menyepakati postur APBA tahun 2022.
Pertanyaannya, apakah para pimpinan partai itu tidak mengetahui setiap pembahasan anggotanya di DPRA? Ada dua kemungkinan. Pertama, pimpinan dan anggota DPRA tidak melaporkan setiap pembasan di DPRA kepada pimpinan partai. Kedua, Partai sudah mengetahui dan menyetujui, namun karena respon publik yang negatif, bersikap seolah-olah tidak pernah tahu.
Dugaan saya, kemungkinan paling besar adalah yang kedua. Apalagi, menjelang tahun politik, partai politik berupaya untuk meraih simpati publik. Sebagai sebuah upaya itu biasa saja, namun penting untuk kita cermati, bahwa pembahasan tentang evaluasi JKA itu sudah berlangsung lama. Kalau kita ibaratkan, pantat itu sudah gatal setahun yang lalu, namun baru digaruk sekarang.
Mengenai JKA, baiknya semua pihak harus bersepakat dilanjutkan. Persoalan data, silakan dicocokkan. Bukan apa-apa, selama otsus ini ada, yang bisa dinikmati secara langsung oleh masyarakat Aceh hanyalah JKA itu.
Disclaimer: Tulisan ini sudah pernah tayang di https://anteroaceh.com/news/jka-dan-politik-garuk-pantat/index.html