Oleh: Alja Yusnadi
Beberapa hari yang lalu, sekelompok kakak-kakak membuat heboh Banda Aceh. Kakak-kakak itu dengan “jersey” merah jambu mendayung sepeda.
Lha, kok bersepeda bisa bikin heboh? Inilah hebatnya warganet, pengguna media sosial. Mungkin, akan biasa saja jika peristiwa tersebut terjadi sebelum si Mark membuat facebook.
Yang buat riuh itu poto dan video mereka tersebar di media sosial, mulai facebook, sampai group whatsapp. Sebagian dari poto itu sengaja dizoom-in. Tujuannya agar seragam yang agak minor itu terlihat jelas.
Untuk ukuran pakaian olahraga tidak terlalu parah. Untuk ukuran syariat? Saya tidak paham. Yang jelas, dalam berolahraga, masih banyak kita temukan ukuran baju demikian.
Bahkan, dalah sebuah poto, terlihat Pak Amin menggunakan celana pendek dalam bermain bola.
Tidak tanggung-tanggung, mulai dari masyarakat awam, ketua Ikatan Sport Sepeda Indonesia Provinsi Aceh, hingga Wali Kota turut memberi komentar. Mereka semua mengecam.
Bahkan, Pak Wali memerintahkan polisi syariat untuk menangkap kakak-kakak gemes itu.
Jadilah mereka bahan ulok-ulok di media sosial. Padahal, belum tentu juga para pengulok itu lebih baik akhlak atau budi pekertinya.
Tapi, yasudahlah. Anggap saja resiko yang harus mereka terima atas tindakan yang kurang peka syariat itu.
*
Entah ada hubungan atau tidak, selama Corona, minat masyarakat untuk bersepeda kian meningkat. Minimal menurut pandangan saya.
Secara umum, ada beberapa alasan orang bersepeda. Apa saja? ada yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, sebagai alat olahraga, hingga sebagai gaya hidup.
Pertama. Sepeda sebagai alat transportasi. Pesepeda jenis ini menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Artinya, bukan untuk gaya-gayaan atau untuk olahraga.
Bisa kita temukan di desa-desa, kakek saya salah satunya. Di usia senjanya, Kakek saya masih sanggup mengayuh sepeda ontelnya untuk bergerak ke sana-sini.
Dulu, sewaktu Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya juga bersepeda ke sekolah yang jarak dari rumah sekitar dua kilometer.
Di tahun 1980-an, sepeda adalah jenis transportasi yang digunakan masyarakat pedesaan. Memiliki sepeda Phoenix RRT (RRT itu rupanyan singkatan dari Republik Rakyat Tiongkok) menjadi kebanggan se-kemukiman.
Karena hanya orang tertentu saja yang dapat memilikinya. Selain mahal, pada saat itu juga belum ada leasing, lembaga keuangan non-bank yang bergerak di bidang pembiayaan.
Beda dengan sekarang, hampir setiap rumah memiliki kendaraan bermotor. Itu tadi, walau tidak sanggup membeli kontan, kehadiran leasing memberi kemudahan.
Di tahun 2020 ini, pesepeda model ini dari sisi pendapatan termasuk ke dalam ekonomi lemah, karena tidak mampu membeli kendaraan bermotor. Keberadaan merekapun sudah jauh di pedalaman.
Kedua. Alat olahraga. Pesepeda jenis ini menggunakan sepeda sebagai alat olahraga, untuk mengeluarkan keringat. Sesekali, saya juga pernah melakukannya.
Mendayung sepeda dapat menggerakkan otot-otot kaki, memicu jantung berdetak lebih cepat, dan sederet manfaat lain yang jelas baik untuk kesehatan.
Pada tahap ini, sepeda sudah menjadi fungsi sekunder. Walaupun, bagi sebagian orang, olahraga sudah menjadi kebutuhan primer. Pengguna nya adalah orang yang tinggal di kota. Minimal ibukota kecamatan.
Bagi orang desa, kalau hanya untuk mengeluarkan keringat tidak perlu naik sepeda. Kerja sehari-hari sudah cukup berpeluh.
Anda bayangkan saja bagaimana bekerja di kebun, di gunung, di sawah, di laut. Bukan hanya peluh, kadang-kadang juga keluar asap dari telinga hehehe. Kalau tidak percaya, sesekali main-mainlah ke desa, dan tinggal di sana untuk beberapa lama.
Kalau perlu, ikut serta bekerja, merasakan nuansa berbeda.
Ketiga. Lifestyle. Pesepeda jenis ini menggunakan sepeda untuk gaya-gayaan dan meneguhkan status sosial. fungsinyapun sudah tersier, tidak lagi penting.
Ada berbagai kelompok pesepeda untuk lifestyle, mulai pesepeda ontel sampai sepeda gunung. Ada juga, kelompok pesepeda pamer.
Pada yang ketiga itulah, sepeda benar-benar berubah fungsinya. Bayangkan saja, harga sepeda lima ratus-tujuh ratus juta. Apa-apan ini? Sudah setara pokir anggota dewan kabupaten.
Begitulah, setiap masa menemukan jalannya sendiri. Dulu, sependek pengetahuan saya, olahraga yang membentuk status sosial yang lebih tinggi adalah Tenis, Menembak, Golf.
Sekarang, mulai dari pengusaha, pejabat eselon satu dan dua, anggota DPR, Kepala Daerah sudah bersepeda.
Jika Anda berkepentingan terhadap mereka, apakah itu melobi proyek atau melobi jabatan, tidak salah masuk komunitas sepeda. Seperti dikatakan Weber, persamaan status dinyatakan dalam persamaan gaya hidup.
Pesepeda, dalam taraf tertentu sudah menjadi lifestyle atau gaya hidup.
Gaya hidup, dapat diartikan sebagai faktor yang digunakan untuk menentukan seberapa besar arti nilai suatu barang/jasa yang berfungsi sebagai nilai tukar. Kecendrungan, semakin kaya seseorang, semakin tinggi gaya hidup.
Setidaknya, ada dua kemungkinan gaya hidup bagi pesepeda. Pertama, pesepeda yang menggunakan uangnya untuk bersepeda dengan tujuan menaikkan kelas sosial, bisa juga disebut panjat sosial.
Hemat saya, untuk yang model beginian, terlalu dipaksakan. Masak iya untuk urusan bersepeda harus mengorbankan kebutuhan yang lebih penting. Tapi, ini soal selera, sah-sah saja.
Kedua, pesepeda yang menggunakan uangnya untuk bersepeda dengan alasan hobi dan kesenangan semata. Pesepeda model begini biasanya pengusaha yang sudah kelebihan uang. Jadi wajar saja harga sepeda mereka lebih mahal dari mobil saya.
Itulah sekilas tentang warna-warni pesepeda. Kalau ada yang kurang silahkan ditambah. Kira-kira, Anda termasuk katagori mana? Kalau kakak-kakak merah jambu itu saya tebak sedang memanjat status sosial. Jadi, tak usahlah menangkap segala!…[]