Paradoks Demokrasi dan Politik Baru

0
22

Selama 32 tahun orde baru sampai diawal reformasi, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pula menteri dalam negeri akan melantik yang kalah atau bahkan yang tidak masuk sama sekali dalam bursa pencalonan. Sebagaimana ditulis oleh Mahbub Djunaidi di harian Kompas edisi 10 Maret 1981,“Asal kamu tahu saja, yang namanya Menteri Dalam Negeri memang bisa saja mengangkat orang yang kalah dalam pencalonan bahkan di luar calon sama sekali,”

Dua puluh lima tahun kemudian, sistem pemilihan kepala daerah berubah, sama sekali. Jangankan menteri dalam negeri, DPRD pun dibuat tidak berdaya. Pemerintah bersama DPR bersepakat membentuk sebuah undang-undang yang secara keseluruhan mengatur tentang pemerintahan daerah, salah satu didalamnya adalah pemilihan kepala daerah secara langsung.

Partai politik hampir saja kehilangan dominasinya, disaat undang-undang membolehkan pencalonan dari jalur perseorangan, non partai, cukup dengan melengkapi bukti dukungan dari masyarakat dalam jumlah yang telah ditetapkan.

Ngeri sekali bukan?, dalam imajinasi orang seperti Mahbub, awalnya, akan banyak sekali perubahan. Untuk mengakomodir suara rakyat secara langsung, benar demikian, tidak diwakilkan. Tapi apakah iklimnya akan jadi lebih baik?. Untuk menjawabnya, lihat saja kepala daerah disekitar anda, tidak usah jauh-jauh harus ke Jawa atau pusat kota.

Perbandingan satu daerah dengan daerah lain, yang membuat beda hanya besar-kecil ongkosnya. Pemilihan langsung ini memerlukan ongkos besar, bukan hanya oleh negara yang membiayai penyelenggara tapi juga juga bagi konstestan.

Soal kebutuhan anggaran, kita ambil saja contoh pelaksanaan Pilkada 2018 yang membutuhkan anggaran sekitar 20 Triliun Rupiah. Anggaran yang melebihi besaran setahun APBA itu digunakan untuk memilih 171 kepala daerah. Itu uang negara yang salah satu sumbernya adalah pajak rakyat.

Sebenarnya, anggaran lain yang jauh lebih besar adalah yang harus dikeluarkan oleh kandidat. Walaupun penyelenggara sudah mengatur besaran sumbangan dan transparansi dana kampanye, namum masih saja bisa di akali, sehingga anggaran yang tidak tercatat bisa lebih besar jumlahnya.

Hal ini membuat kontestan harus berurusan dengan cukong, meminta atau menerima tawaran bantuan para makelar politik. Fenomena ini menurut saya menjadi bagian dari paradoks demokrasi. Satu sisi rakyat telah berdaulat, memilih pemimpinnya secara langsung, disisi lain oligarki hanya bergerser dari pemerintah yang terpusat kepada para pemilik modal.

Suharso (2002), telah menulis ada beberapa paradoks demokrasi yang harus dikritisi, diantaranya adalah berkembangnya kekerasan politik, radikalisme, berkembangnya konspirasi politik yang sangat pragmatis; hanya sekedar meraih kemenangan pemilu tanpa menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan demokrasi.

Apa yang dikatakan Suharso itu masih bisa kita lihat dengan kasat mata, hampir di setiap pilkada. Salah satu yang menjadi perhatian serius adalah keterlibatan segelintir cukong, hanya bermodalkan uang, dapat berperan besar dalam mengendalikan pemerintahan setelah berjalan.

Situasi seperti ini dibeberapa negara justru mengembalikan kepemimpinan yang otoritarian dan membuat jurang yang menganga, menguatkan segelintir elit untuk menguasai sumder daya ekonomi lokal. Di india misalnya, sistem demokrasi lokal telah menguatkan keberadaan kasta dan kelas.

Hal serupa juga terjadi di Camacari, Brazil. Pilkada ikut mendorong munculnya klientisme antara elit ekonomi dan politik sehingga menyebabkan tidak berfungsinya tata kola pemerintahan secara efektif dan efisien.

Sconleitner, G (2004) menyebutnya ungover-nability, yang menyulut terjadinya “perampasan” keuangan daerah oleh para elit ekonomi dan politik. Gejala hadirnya elit politik informal dalam politik lokal memang tengah mewabah di negara demokrasi manapun, termasuk Indonesia dan Aceh.

Harapan terakhir yang tersisa dari gagasan politik baru yang merupakan antitesa dari politik lama yang otoritaian dan sentralistik adalah kehadiran oganisasi masyarakat sipil (OMS) sebagai aktor. Ditengah gagasan demokrasi seperti sekarang ini, yang desentralisasi, terbuka, kontrol dari luar pemerintahan sangat menentukan.

Minimal, ada dua sudut pandang dalam memberi makna OMS, yang pertama adalah organisasi yang secara politis bertindak melindungi dan memperjuangan tegaknya nilai-nilai demokrasi. Dalam batasan ini organisasi ekonomi tidak termasuk didalamnya. Sudut pandang berikutnya adalah yang menempatkan semua organisasi yang diluar struktur pemerintah.

Saya tidak sedang mempertentangkan keduanya. Dari kedua defenisi OMS yang dikemukakan Hyden (1997) itu, saya mengambil batasan, setiap organisasi diluar struktur pemerintahan dapat pula kita sebut OMS, yang pada merekalah harapan terakhir terhadap imaji yang dibayangkan oleh Mahbub tadi dapat kita sandarkan.

Jika OMS pun sudah berselingkuh dengan kekuasaan, maka yang terjadi adalah kita kembali ke sistem politik lama dengan wajah dan lingakaran baru. Semoga saja tidak demikian!…[]