Oleh: Alja Yusnadi
Jika ada politisi di Indonesia yang berhasil membuat saya tertawa, mungkin juga Anda, Adian Napitupulu salah satunya. Ada saja ide nyeleneh mantan aktivis Forkot tersebut.
Salah satu candaan Adian yang paling saya ingat adalah “Prabowo pengurus kuda yang baik.” Dalam hitungan detik, Adian dapat memainkan logikanya untuk menyerang Prabowo.
Kecakapan debat Adian berlanjut hingga pilpres 2019. Adian sering mewakili Tim Jokowi-Amin dalam debat-debat singkat di televisi. Hasilnya? Tidak buruk-buruk amat. Adian mampu membuat narasi positif tentang Jokowi sekaligus mematahkan argumentasi lawan.
Dengan keterlibatannya di pilpres itu, tidak ada yang tidak tahu bahwa Adian salah satu orang dekat Jokowi. Namun, belakangan Adian kerap mengkritik kabinet Presiden Jokowi. Salah satunya Menteri BUMN Erick Tohir.
Sependek ingatan saya, di tahun 2020 sudah beberapa kali Adian berhadap-hadapan dengan Erick. Yang terakhir terjadi beberapa minggu lalu.
Padahal kita tahu, kedua politisi tersebut merupakan pendukung Jokowi. Jika Adian bertempur di jalur darat dan udara, Erick pun tak kalah mentereng, menahkodai Tim Kampanye Nasional (TKN).
Secara umum, sama dengan persepsi publik, saya menangkap dua sebab utama pertikaian dua pendekar tersebut. Pertama, Adian melihat banyak masalah yang sedang menggerogoti BUMN.
Sebagai bagian dari tim yang pernah memenangkan Jokowi, Adian merasa bertanggungjawab untuk mengawal kebijakan pemerintah. Ditambah lagi, Adian merupakan anggota DPR yang memiliki kewenangan untuk mengawasi kinerja pemerintah.
Walaupun, komisi I tempat Adian bertugas tidak memiliki relasi langsung dengan BUMN. Sehingga, dengan alasan ini, sebagian pengamat menyimpulkan Adian salah sasaran.
Kedua, Adian meradang karena usulannya diabaikan. Kesimpulan ini banyak disampaikan oleh politisi dan pengamat yang pro Erick. Mereka menganggap Adian tak punya alasan untuk menyerang Erick.
Apapun alasannya, yang jelas Erick tidak bergeming. Pengusaha ini tetap menjalankan misinya untuk membongkar sebagian besar Komisaris di perusahaan milik negara tersebut.
Beberapa kawan Adian didepak oleh Erick dari posisi Komisaris. Kali ini Adian dibuat tak berkutik dan mati langkah. Setuju atau tidak, Adian merupakan salah satu tokoh politik yang sangat peduli kawan.
Sebagai gantinya, Erick membentang karpet merah kepada politisi PAN dan militer. Apa yang ingin dilakukan Erick? Padahal, PAN jelas-jelas tidak berkeringat pada saat pertarungan.
Kalaupun Erick menggeser politisi dari jabatan komisaris di perusahaan BUMN, maka yang harus dimasukkan adalah para profesional non partai politik.
Sebagai pengusaha yang sudah merambah ke politik praktis, tentu Erick ingin menyiapkan bekal yang cukup menghadapi musim pemilu 2024.
Biasanya, setiap pengusaha yang ingin masuk ke pertarungan politik sesungguhnya harus memiliki partai. Bisa saja mendirikan partai baru sebagaimana ditempuh oleh Wiranto, Prabowo, SBY, Surya Paloh, Heri Tanoe, atau mengunci dukungan dari dalam partai yang sudah ada, sebagaimana di praktekkan oleh Sandiaga Salahuddin Uno.
Memang, terlalu dini menilai langkah Erick. Pun demikian, setiap langkah yang di ayun selalu memiliki makna. Sebagai pengusaha yang sudah kepalang tanggung basah di politik, pasti Erick tidak mau langkahnya mati gara-gara tak ada partai.
Sebenarnya, Erick bisa saja mengikuti jejak Sandi, tapi beresiko. Untung-untungan ada partai politik yang mau nampung, kalau tidak? Mati langkah.
Sebagaimana dialami oleh Gatot Nurmantyo. Sudah capek bermanuver, akhirnya langkah terhenti, gara-gara tidak ada partai yang mau tampung. Inilah yang dihindari Erick.
Apakah Erick akan maju dalam kontestasi pilpres 2024? Bisa jadi. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Sebenarnya, sejak Erick turun gunung, banyak pihak menaruh harapan di pundaknya.
Namun, kalau sudah terkontaminasi dengan imajinasi kekuasaan, setulus apapun niat awal yang dibangun akan runtuh dengan kepingan kepentingan yang harus disusun untuk menjadi benteng pertahanan.
Semoga saja pembagian komisaris BUMN tersebut bukan bagian dari langkah Erick membangun benteng pertahanan untuk masuk ke gelanggang pemilu 2024. Kalaupun itu kejadian, maka saya sarankan baik Adian maupun Erick mengikuti saran Mark Manson, penulis buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat.
Adian terus kritik kinerja pemerintah, termasuk BUMN. Focus saja kepada sesuatu (kinerja pemerintah) yang jauh lebih penting dari mempedulikan kesulitan mengurus pergantian komisaris.
Erick focus saja terhadap tujuan, baik membenahi BUMN maupun merintis benteng menuju pemilu 2024. Jangan pedulikan kritik, abaikan Adian.
Toh, pada akhirnya masyarakat juwalah yang memiliki kedaulatan. Mau digiring, digeser kemanapun, kaum mayoritas itu memiliki kearifan tersendiri untuk menonton, menilai, dan menghakimi.
Kalau ada umur panjang, sama-sama kita saksikan, apakah langkah Adian ini benar untuk menyelematkan BUMN atau justru Erick yang akan gemilang, karena telah menempatkan orang yang tepat di jabatan komisaris BUMN, bukan untuk membentang karpet merah, hijau, kuning dan mengucapkan selamat datang pemilu 2024.[]