Oleh: Alja Yusnadi
Dunia sedang berpacu menemukan vaksin Korona. Negara yang paling ambisius adalah China dan Amerika.
Setidaknya, ada beberapa calon vaksin yang sudah lahir: CanSino Biologics, penemuan vaksin yang dipimpin Jenderal Perempuan di Wuhan, China. Kemudian Sinovac, pengembangannya dilakukan di Beijing. Terus, Moderna Inc, gabungan Amerika dengan Swedia. Satu lagi, penemuan dari Oxford University, Inggris.
Semuanya sudah sampai pada tahap uji coba. Di Indonesia, Sinovac lebih duluan sampai. Baru-baru ini, Bio Farma–perusahaan BUMN di bidang Farmasi–sudah mengajukan hak uji coba tahap 3 di Indonesia.
Tujuannya agar vaksin ini dapat diproduksi di Indonesia. Kelak, kalau jadi, vaksin inilah yang akan beredar di Nusantara.
Sebanyak 1600 orang relawan mendaftar secara gratis untuk dilakukan uji coba di Bandung. Begitulah, Amerika dan China memimpin penemuan vaksin.
Tidak mau kalah, “Profesor” Hadi Pranoto juga menyatakan sudah menemukan vaksin Korona, hanya saja dalam bentuk herbal.
Sesuai nama, kita sudah bisa menebak, Pranoto adalah orang Indonesia. Dia menyatakan penemuannya itu dalam sebuah wawancara dengan Anji—yang artis itu—dalam kanal Youtubenya: duniamanji.
Tidak perlu menunggu lama, kedua orang ini menjadi tranding topik di media sosial. Banyak orang penasaran, tidak sedikit pula yang langsung menyanggah pernyataan Pranoto.
Berbagai kalangan memberi komentar, mulai dari masyarakat awam, rekan Anji sesama artis sampai mengundang komentar dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Saya berulangkali mencari wawancara tersebut, video yang dimaksud tidak saya temukan. Bisa jadi sudah di takedown oleh Youtube.
Berdasarkan informasi yang sudah tersebar di media sosial, ada beberapa hal yang menyebabkan video tersebut viral dan menuai kecaman. Anji memanggil Pranoto dengan panggilan “dokter” dan menyebutnya sebagai Profesor ahli mikrobiologi.
Karena alasan ini, Wakil Ketua Umum IDI langsung mengklarifikasi, bahwa organisasinya tidak memiliki Profesor mikrobiologi atas nama Hadi Pranoto. Dan meminta polisi untuk mengusut, karena dianggap meresahkan masyarakat.
IDI merupakan lembaga profesi yang menaungi dokter seluruh Indonesia, sehingga bertanggungjawab atas setiap tindakan yang mengatasnamakan dokter.
Tompi, seorang dokter dan juga penyanyi ikut menanggapi,”Kacau, mungkin maksudnya ingin menolong tapi malah mendorong ke jurang lebih bahaya.” Tulis Tompi di akun twiternya.
Kalaupun Pranoto sudah menemukan “vaksin”—paling tidak ramuan—yang menurutnya dapat menyembuhkan, mencegah, atau meningkatkan imun tubuh, tidak seharusnya menyebut vaksin atau obat.
China dan Amerika memerlukan waktu berbulan-bulan dan anggaran yang sangat besar untuk bisa sampai pada tahap uji coba.
Saran saya, kalaupun ada temuan herbal yang diyakini dapat membantu pasien Korona atau meningkatkan imun tubuh tidak usah diklaim secara klinis, cukup bilang ramuan saja.
Barangkali seperti Bandrek yang bagi sebagian orang meyakini dapat menambah imun tubuh dan baik untuk terhidar dari Korona, walaupun tanpa keterangan tertulis dari pihak berwenang.
Bagaimana kalau tujuan Anji dan Pranoto hanya untuk Prank atau biar viral? Ini keterlaluan, tidak seharusnya dilakukan di tengah masyarakat yang lagi panik seperti sekarang ini.
Atau sebaliknya, duet Anji-Pranoto merupakan jawaban atas minimnya terobosan yang dilakukan Pemerintah untuk menanggulangi Korona.
Sembari menunggu vaksin yang sudah diuji secara klinis, tidak ada salahnya ramuan Pranoto ini diuji coba kepada pasien positif Korona.
Lagi pula, selama ini pasien Korona hanya di isolasi, diberikan vitamin C, dibantu pernafasan. Dibawah pengawasan dan otorisasi pihak berwenang coba saja tambah ramuan ini.
Bagi saya, menjatuhkan vonis bahwa ramuan itu abal-abal dengan tidak ada bukti sama lecehnya dengan mengklaim ramuan sebagai obat sebelum ada uji klinisnya.
Oiya, kalau nanti ramuan ini diproduksi secara masal—tentu setelah uji klinis—kalau belum ada nama, saya menawarkan Pranji: Pranoto-Anji. Ditemukan oleh Hadi Pranoto, di viralkan bersama Anji, itupun kalau boleh…[]
Photo Ilustrasi (Travel Kompas)