Oleh: Alja Yusnadi
Sampai hari ini, masih ada masyarakat yang tidak percaya Korona, atau Korona merupakan konspirasi jahat Yahudi, China, PKI.
Bahkan, Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin menyatakan 8 dari 10 orang di Aceh tidak mempercayai adanya Korona. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, darimana dia memperoleh data tersebut
Pendapatnya itu dikutip berbagai media online nasional. Pernyataan itu dikeluarkan seorang ahli kesehatan, bukan ahli sosiologi atau antropologi yang secara keilmuan mempelajari tentang masyarakat.
Dr. Azharuddin juga tidak mencantumkan sumber, misalnya hasil penelitian siapa atau lembaga mana. Apa yang disampaikan Azhar tidak sepenuhnya salah, karena memang faktanya ada yang berpendapat demikian.
Namun, sebagai pejabat publik, tentu Azhar harus lebih hati-hati berpendapat, apalagi menyebut angka 8 dari 10 orang itu sama artinya 80 % masyarakat Aceh tidak percaya kepada Korona.
Jika penduduk Aceh berjumlah 5,3 juta jiwa, maka ada sekitar 4,2 juta jiwa yang tidak percaya. Ini sangat berbahaya.
Jika pendapat Azhar dapat dirujuk kepada sumber yang dapat dipercaya, saya kira Pemerintah Aceh harus jungkir balik mengantisipasi.
Pertanyaan besarnya, apa guna anggaran refocusing yang hampir 2 Triliun itu? apa guna baliho besar-besar dan advertorial itu?
Saya juga memiliki pengalaman beberapa kasus tentang orang-orang yang abai kepada Korona. Namun tidak bisa menarik kesimpulan yang mengeneralisasikan.
Beberapa hari yang lalu, dalam berbagai majlis silaturrahmi, ada beberapa orang yang menyatakan bahwa Korona ini adalah konspirasi jahat dan tidak usah terlalu diambil pusing.
Tapi, ya itu tadi, karena tidak metodologis, saya tidak berani menarik kesimpulan general.
Bagi saya, ancaman virus itu ada. Persoalan apakah hasil konspirasi yahudi, China atau Amerika saya belum dapat menyimpulkannya.
Jika melihat sejarah munculnya, Korona memang pertama sekali ditemukan di Wuhan, China. Dan itu 6 bulan setelah Amerika menutup kantor perwakilan kesehatannya di Beijing.
China dan Amerika adalah dua negara yang sedang bersaing memperebutkan pengaruh global, baik dalam hal ekonomi, teknologi, dan juga kesehatan.
Terlepas dari asal-muasalnya, Korona ini benar-benar ada, walau tidak tampak. Hal itu juga selaras dengan prediksi ulama kasyaf yang disampaikan jauh sebelum Korona ada.
***
Ada berbagai alasan orang tidak mempercayai adanya Korona, yang paling asyik itu adalah alasan takut bertambah rukun iman. Karena, sejauh ini rukun imam sudah final enam perkara. Mungkin ini guyon.
Berfikir kritis memang dianjurkan untuk memperoleh kebenaran, apalagi bagi saintis. Kecurigaan yang selanjutnya diikuti dengan langkah-langkah pembuktian sangat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Tapi menganggap sepele Korona tentu berbeda samasekali dengan sikap kritis yang saya maksud tadi. Korona telah berada diambang wilayah kita.
Bukan apa-apa, sikap anggap remeh itu sangat berperan dalam membantu penyebaran virus yang sudah menjangkit semua negara itu.
Kalau lah berdampak pada diri sendiri tidak mengapa, lha ini harus ditanggung oleh masyarakat banyak bahkan tenaga kesehatan.
Di negara lain, Korona telah membuat negara tidak berdaya. Awalnya sama, sikap anggap remeh tadi. Negara sebesar Amerika saja dibuat kewalahan oleh Korona, apalagi kita.
Ada beberapa testimoni yang menurut saya harus didengar oleh orang-orang seperti ini: Testimoni Abu Mudi dan Dokter Is.
Tgk. Hasanol Basri atau biasa disapa Abu Mudi adalah pimpinan pesantren Mudi Mesra Samalanga. Abu memiliki banyak santri dan pengikut.
Akhir Juli, Abu Mudi dinyatakan positif Korona. Bagi sebagian orang, mengemukanya kasus tersebut merupakan permainan, saya tidak tahu apa yang dipermainkan.
Bisa jadi, bagi pengikut fanatik, tidak rela mendengar orang yang di takziminya dinyatakan positif Korona.
Namun, setelah keluar dari perawatan RSUD dr. Zainoel Abidin, Abu Mudi melalui video pendek menyatakan bahwa Korona benar-benar ada dan meminta masyarakat untuk waspada.
Testimoni yang kedua dilakukan oleh seorang dokter spesialis di Aceh Tengah. Dalam suratnya yang dimuat di media online, dokter Is menyatakan bahwa dia melakukan uji swab karena keinginan sendiri.
Jika ditinjau dari skala prioritas, dokter Is tidak termasuk. Setelah di swab, akhirnya dokter Is dinyatakan positif Korona. Padahal, dalam melayani pasien, akunya sudah menggunakan standar operasional prosedur.
Atas kejadian itu pula, dia meminta masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan jangan menganggap enteng.
Dari dua pengakuan tadi, semoga dapat menjadi pengingat bagi kita, terutama kaum 80 % yang disebut dokter Azhar tadi…[]