Oleh : Alja Yusnadi
Ibarat sebuah perayaan, Canang sudah ditabuh sebagai petanda acara sudah dimulai. Lahirnya undang-undang nomor 6 tahun 2014 merupakan babak baru bagi pengelolaan desa. Penabuhnya adalah wakil rakyat bersama pemerintah. Beberapa perubahan fundamental lahir melalui undang-undang ini.
Nampak sekali, dalam perkara ini pemerintah entah serius atau ambisius. Angin-anginnya, aparatur desa mendapatkan kepastian gaji sebagai akibat dari penguatan fungsi. Dari sekian yang diperkuat itu, ada satu hal yang menggelitik saya, perihal perangkat desa.
Semasa melakukan penelitian tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) beberapa tahun silam, saya mewawancarai sekitar 260 orang kepala desa. Bagai orchestra, mereka serentak meminta kenaikan gaji, alasannya tidak setimpal dengan tugas yang diemban. Tiga tahun berselang, bukan hanya kepala desa, gaji perangkat desa naik serta, setara gaji pokok ASN golongan dua.
Sinyal ini, bagi sebagian orang tentu bahagia, tidak semuanya, karena ada juga yang bersedih. Setelah mengabdi bertahun-tahun, tetiba harus di “PHK” karena tidak mencukupi syarat, entah itu umur entah pula jenjang pendidikan.
Sejak diundangkan, syarat ini sudah ada, tapi masih longgar. Sekarang, setelah enam tahun, berbagai aturan pelaksana memaksa agar syarat itu ditegakkan, pilihan ada dua: jalankan atau revisi aturan itu.
Beberapa mereka mengeluhkan kesahnya, saya pikir tak ada salah menulisnya, lagi pula sedikit sekali politisi yang membicarakannya baik diruang publik maupun dibilik pengambil kebijakan, bisa karena tak menarik atau juga tak paham.
Rezim undang-undang desa ingin memperkuat dan memperjelas posisi pemerintah desa. Bukan apa-apa, sebelum diundangkan, desa memang sudah ada, pemerintah pusat juga sudah mengaturnya, tapi tidak sekuat ini, kepala desa menerima “tulah” atas jeripayahnya yang dibayarkan entah berapa bulan sekali. Jajarannya lebih parah lagi.
Sekarang, rupa pemerintah desa mirip pemerintah daerah yang memiliki kewenangan, pemerintahan, dan mendapat dana transfer dari APBN
Segaris dengan itu, bertumpuk-tumpuk aturan mulai diperketat pelaksanaannya. Pada bagian inilah, akan terjadi penyeragaman yang “menjawanisasi” seluruh Indonesia.
Ibarat pelaksanaan Ujian Nasional. Bagaimana sekolah dipelosok Menggamat dipaksa berkompetisi dengan sekolah unggulan di Jakarta yang fasilitasnya bagai langit dan bumi. Dari sisi output bolehlah diukur, namun pemerintah samasekali abai terhadap proses. Hasilnya? Terjadilah lakon curang .
Dalam perjalanannya, undang-undang desa telah malahirkan sejumlah aturan turunan, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, peraturan daerah, hingga surat edaran Bupati.
Semua aturan itu, menempatkan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai unsur pemerintahan desa yang menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif.
Di Aceh, Kepala Desa itu ada yang menyebutnya Geuchik, Reje, dan Datok. BPD disebut Tuha Peut. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Kepala desa dibantu oleh Sekretaris Desa, Kepala Urusan (Kaur), Kepala Seksi (Kasi), Kepala Dusun (Kadus). Pasal 48 Undang-undang Desa menyebutnya sebagai perangkat desa.
Kaur dan Kasi dapat dipahami sebagai perangkat desa yang membantu kepala desa dalam hal administrasi kepemerintahan. Bagaimana dengan Kadus? Dalam praktiknya, bukan mengurusi administrasi, namun lebih penting lagi menjadi pengganti peran Kepala Desa di dusun, apalagi desa yang memiliki rentang wilayah yang luas dan penduduk yang padat.
Dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan, harus dipahami bahwa sejarah keberadaan desa-desa di Nusantara berbeda samasekali satu dengan lainnya. Semasa orde baru, pemerintah menyeragamankan, mulai dari penyebutan hingga kelembagaan, mengikis kearifan lokal.
Di Aceh, keberadaan kepala desa bukan hanya menjalankan fungsi administrasi atau menjadi perpanjanggan tangan pemerintahan atasan.
Kepala desa mengurus mulai dari orok yang baru lahir, hingga mayat yang sudah meninggal. Bisa anda bayangkan berapa banyak urusan yang berada dalam rentang itu? itulah yang menjadi urusan kepala desa dan kepala dusun.
Jika Kadus berumur antara 20-42 tahun, bagaimana mereka akan mengurus hajatan masyarakat? Perihal pasang tirai, soalan jumlah hitungan kipas kasap yang disesuaikan dengan apa yang disembelih? Misalnya kalau yang rebah itu adalah kerbau, maka kipas disusun bertingkat 7.
Kadus milenial mana tau perkara adat ini. Apakah di pulau Jawa yang menjadi landasan pikir pembuat aturan Kadus nya memiliki peran seperti Kadus di Aceh? Saya kurang tahu!
Untuk Kepala Desa, undang-undang tidak membatasi umur, hanya dimulai dari 25 tahun. Seharusnya, persyaratan kepala dusun mengikuti kepala desa, apalagi mekanismenya sama-sama dipilih oleh masyarakat, bukan ditunjuk atau seleksi.
Berikutnya adalah Imum Chik. Seingat saya, dalam kazhanah desa masa lampau, ada dua pemegang otoritas kekuasaan; Adat dan Hukum. Kepala desa adalah pemangku Adat dan Imum Chik adalah pemangku hukum (Islam).
Dalam prakteknya, kepala desa mengurusi perkara-perkara menyangkut adat selain urusan administrasi kepemerintahan, seperti pesta pernikahan, sunatan, turun tanah, dan semacamnya. Sementara Imum Chik menjadi pemangku Hukum, misalnya dalam mengurus jenazah, berdoa dirumah kematian, urusan peribadatan, dan perihal keagamaan lainnya.
Belakangan, Imum Chik diposisikan setara dengan Kaur, Kasi, Kadus menjadi perangkat desa yang umurnya dibatasi 20-42 tahun. Cilakanya, jabatan yang luhur itu diserahkan kepada mekanisme pasar untuk menentukan, dipilih masyarakat.
Pada diri Imum Chik melekat ilmu dan kewibawaan. Meminjam pendapat Snouck, Kepala Desa dan Teungku ibarat ayah dan ibu. Sejajar, tidak ada subordinasi.
Imum Chik tidak sendiri, dibawahnya ada Teungku Meunasah atau Teungku Sago, Bilal, Khatib, Panghulu Mesjid, Panghulu Meunasah, Rubiah (pemandi jenazah), dan seterusnya. Imum Chik memimpin masjid, Teungku Sago memimpin meunasah.
Dulu, Mesjid identik dengan Mukim. Meunasah identik dengan desa. Beberapa desa membentuk satu mukim. Masjid itu untuk shalat jumat masyarakat yang ada dalam satu mukim. Menurut Sulaiman Tripa, Meunasah adalah tempat aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial dijalankan dalam sebuah desa. Ada juga yang menyebutkan Meunasah merupakan nama lain dari desa.
Sekarang, hampir semua desa sudah memiliki masjid dan meunasah. Jadilah Imum Chik untuk Mesjid dan Imum Meunasah atau Teungku Sago untuk memimpin Meunasah.
Jika imum Chik sepadan dengan kepala Desa, bagaimana pula dia menjadi perangkat desa khusus yang keberadaannya dibawah Kepala Desa? Yang syaratnya juga dibatasi pada umur 20-42 tahun. Saya memahami apa yang diinginkan oleh undang-undang itu. Jangan sampai penguatan desa akan mengenyampingkan nilai-nilai luhur yang sudah lama terpatri ditengah masyarakat.
Saran saya, untuk Kepala Dusun dan Imum Chik jangan dibatasi umur maksimal, cukup paling rendah 20 atau 25 tahun.
Kepala Dusun mengikuti persyaratan Kepala Desa, karena sama-sama dipilih. Imum Chik jangan diserahkan kepada masyarakat untuk menentukannya. Anda bisa bayangkan, Iseng-iseng, masyarakat memilih si A yang mengaji saja terbata-bata, apalagi samadiah? Tak bisa samasekali. Lalu karena suara terbanyak, terpilih menjadi Imum Chik.
Berilah kewenangan kepada petua-petua desa untuk berembuk, bukan dipilih bukan pula ditunjuk oleh Kepala Desa, bukankah ini cerminan ajaran islam dan pancasila? Saya kira begitu!
Apa yang harus dilakukan? Jika itu kewenangan daerah, segera revisi kebijakan, apakah qanun, surat Bupati atau Surat Edaran Bupati.
Kalau itu menyangkut kebijakan pemerintah pusat semisal Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, PP Nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PP nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, Permendagri nomor 67 tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri nomor 83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, segeralah pemerintah kabupaten/kota di Aceh melakukan konsolidasi dan memberi masukan kepada pemerintah pusat.
Oiya, jangan lupakan Forbes anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh, desak mereka berteriak di Senayan.
Bukan apa-apa, ini hanya pelepas tanggungjawab sejarah, jangan sampai pada generasi kita menjungkir-balikkan nilai-nilai luhur, apalagi hanya gegara tulah. Dengan demikian, kita telah ikut serta menjaga warisan kebudayaan yang usianya sepantaran dengan desa itu sendiri…[]
Tulisan ini sudah pernah dimuat di : https://anteroaceh.com/news/perihal-desa-dan-perangkat-perangkatnya/index.html