Oleh: Alja Yusnadi
Akhir-akhir ini, sepeda kian banyak peminatnya. Ada yang bersepeda untuk olahraga, pansos, ada juga untuk olah raga sekaligus mengoleksi dan menjadikannya bisnis.
Untuk yang terakhir itu agak langka. Salah satunya adalah Azrul Ananda, pengusaha muda, anaknya Dahlan Iskan. Azrul mengoleksi berbagai jenis sepeda, jumlahnya sekitar 100 unit. Dia pun sudah mencoba berbagai medan di berbagai negara pula.
Kali ini, saya tidak membicarakan jenis sepeda atau macam-macam motivasi orang bersepeda. Namun, jauh melampaui itu semua, melalui lokus kemanusiaan.
***
Masa itu, beberapa bulan sebelum Tsunami menyapu Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Anak-anak muda–mungkin lebih tepat disebuat transisi remaja ke dewasa—yang baru tamat SMA berbondong-bondong ke Banda Aceh.
Tujuannya: mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), proses seleksi untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. Banda Aceh memiliki dua PTN, Universitas Syiah Kuala dan Institut Agama Islam Negeri Ar-raniry.
SPMB hanya untuk menjangkau PTN. Dan Unsyiahlah satu-satunya di Aceh, pada saat itu. IAIN memiliki ujian seleksi tersendiri.
Untuk masa persiapan ikut tes, biasanya organisasi paguyuban melaksanakan bimbingan belajar. Diantara paguyuban itu adalah Ikatan Mahasiswa Pemuda Pelajar Pasieraja (IMPPP) dan Himpunan Mahasiswa Aceh Selatan (HAMAS).
Salah satu peserta bimbel itu adalah Siti Asra. Alumni SMA 1 Pasieraja, Aceh Selatan.
Asra ke Banda Aceh hanya bermodal tekad. Sepertinya, Asra adalah bukti nyata dari tulisan yang melekat di tugu Darussalam yang diteken oleh Presiden Soekarno: Tekad Bulat Melahirkan Perbuatan Nyata.
Berangkat dari keluarga kurang mampu, Asra bertekad harus menjadi sarjana. Asra adalah contoh, bagaimana tekad menaklukkan keterbatasan. Saya sering menceritakan kisah dia ini di depan calon mahasiswa dan mahasiswa baru.
Lha, dimana sepedanya? Sabar. Ini pengantar, agar peran sepeda itu benar-benar nyata, benar-benar hidup.
Setelah pengumuman, IAIN menerima Asra sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab. Dia tinggal di Lamnyong. Statusnya numpang.
Uniknya, Asra diajak nginap bergilir oleh penguhuni kos itu. Awalnya, Asra numpang di kamar kawan satu kampung. Pada masa itu, bagi yang tidak memiliki keuarga di Banda Aceh, jalan satu-satunya mencari saudara satu kampung atau kakak kelas semasa SMA, yang sudah duluan ke Banda Aceh. Saya juga merasakan hal itu, beberapa bulan sebelum dinyatakan lulus di Unsyiah.
Asra berjalan kaki dari lamnyong ke IAIN. Saya taksir jaraknya 2 km. Sebenarnya, Asra sudah terfikir untuk menyewa kos yang lokasinya dekat dengan kampus.
Tapi, ya itu tadi, biaya. Pada saat itu, seorang kawan—yang juga dari kampung—sudah menawarkan Asra tinggal satu kos dengannya, di dekat kampus, soal biaya bisa nyicil.
Asra sudah tertarik. Dia mencoba pamit, ingin pindah tempat tinggal. Namun, kakak kosnya di Lamnyong tidak meberi izin. Asra di sini saja, makan kami yang taggung, tidak usah sewa. Begitu kata mereka.
Kakak-kakak itu juga memberi Asra pakaian layak pakai. Memang, Asra hanya memiliki beberapa pakaian, itupun yang banyak kain sarung.
Selama ini, Asra tinggal pindah-pindah kamar. Kakak-kakak itu memperebutkan Asra. Saya duga, itu karena Asra yang rajin, supel dan pintar melucu.
Hasrat pindah kembali tertunda. Sebenarnya bagi Asra sudah nyaman, hanya saja karena dia tidak betah naik labi-labi (angkutan kota). Selain berbayar, Asra juga pusing kepala jika duduknya menyamping, seperti duduk di labi-labi itu.
Lambat-laun, perlakuan kakak kos terhadap Asra mendapat perhatian dari Bapak kos. Mungkin agak aneh, biasanya anak kos itu keseringan adu mulut. Kali ini, hampir semua penghuni kos berebutan mengajak Asra makan, tidur, intinya: rebutan berbuat baik kepada Asra.
Kebaikan itu bukan hanya dari yang se kampung dengan Asra , banyak juga yang dari luar Aceh Selatan. Rupanya Bapak kos penasaran.
Beberapa waktu kemudian, Asra kembali pamitan. Saudara barunya itu tidak kuasa lagi menahan. Melepas, walau berat hati. Dibuatlah acara, makan, shalat, hingga doa, mereka lakukan bersama-sama, jamaah.
Asra di daulat menjadi imam. Dia tak bersedia, teringat pesan ayahnya: jangan jadi imam kalau bacaan tidak fasih. Saya yakin, dengan modal mengaji di kampung, Asra bisa saja menjadi imam.
Kemudian Asra diminta berdoa. Kali ini dia menurut. Dalam doanya, Asra meminta Tuhan membalas perbuatan baik kakak kosnya. Untuk doa yang spesifik itu, Asra memintanya dalam Bahasa Indonesia dengan logat Aceh yang kental, atau Aceh tok-tok.
Jamaah tersenyum, ada juga yang ketawa lepas saat namanya disebut. Inilah kelebihan Asra, bisa mengaduk tawa siapa saja, dimana saja, termasuk dalam doa.
Rencana, Asra akan pindah satu hari setelah acara perpisahan. Esoknya, ketika sedang bersiap-siap, Ibu kos bertanya, apa yang terjadi, kenapa gaduh.
Salah satu penghuni kos menjlaskan, Asra mau pindah. Ibu kos melarang, meminta untuk menunggu suaminya pulang–Bapak kos kerjanya mengantar air minum ke warung-warung.
Tidak berapa lama, Bapak Kos pulang. Seorang diantara mereka dipanggil, entah apa yang mereka bicarakan.
Tiba-tiba, kakak itu meminta Asra menunda angkat barang. Bapak dan Ibu kos meminta bertemu dengan Asra. Langsung saja, Bapak dan Ibu kos meminta Asra tinggal bersama, di rumah bukan di kos.
Sebenarnya Asra tertarik, apalagi Bapak kos dan anak-anaknya menurut dia orang baik, namun ada yang mengganjal. Jarak dengan kampus lumayan jauh.
Beberapa hari memikirkan, Asra memutuskan: Iya.
***
Suatu pagi, selepas shalat subuh, Bapak kos sedang mengencangkan beberapa baut sepeda. Rupanya, sepeda baru untuk Asra. Seketika, beberapa anak kos yang melihat berteriak gembira, ”Horee, Asra mendapat sepeda,” kata mereka.
Jadilah, hari berganti minggu. Bulan berganti tahun, sepeda itu menemani Asra. Selain untuk ke Kampus, dengan sepeda hadiah bapak kos—Asra memanggilnya Papa– mengikuti berbagai lomba.
Beberapa kali, saat kuliah dulu, saya melihat Asra mengayuh sepedanya antara Lamnyong-Darussalam. Tidak ada rasa malu atau minder sedikitpun dengan sepedanya.
Pada saat itu, sangat sedikit jumlah orang yang menggunakan sepeda untuk keperluan pokok, termasuk ke kampus, kecuali olahraga.
Asra santai saja, menurutnya, fokus kepada tujuan, jangan hiraukan cibiran. Apalagi cibiran untuk sesuatu yang mereka tidak pernah rasakan. Di Kampus, Asra juga menjadi perhatian dari para dosen, karena sepedanya itu.
Sesekali, Asra memarkir sepedanya ditengah kendaraan bermotor. Sengaja. Untuk melatih kepercayaan diri.
Kadang-kadang, Asra juga ikut lomba sepeda santai, sepeda hias untuk memperingati hari kemerdekaan, 17 Agustus. Sepeda dicat sesuai kebutuhan. Jika acara agustusan, jadilah warnanya merah-putih.
Asra lebih sering menggunakan dominan warna biru-putih. Sudah tidak terhitung berapa kilometer Asra mengayuh sepedanya.
Suatu kali, Asra menghadiri hajatan salah satu kerabat di Lhoknga. Kalau tidak salah, kerabat itu berasal dari Ujong Bate, satu kecamatan dengan Asra. Tidak ada pilihan lain, Asra mengayuh sepedanya. Dia berangkat jam 7 pagi, dan sampai di Lhoknga sekitar jam 10.30.
Setibanya Asra di tempat acara, kerabat itu merasa haru. Situasi berubah sesaat, mereka menangis, di saat tahu Asra ke Lhoknga naik sepeda.
Saya menulis ini atas seizin Asra. Saya mengatakan, ingin menulis tentang “sepeda Asra” di web pribadi: aljayusnadi.com. Dia tidak keberatan, bahkan dengan senang hati. Dia menceritakan kisah yang juga sering diceritakan kepada murid-muridnya.
Dalam hal ini, saya harus belajar kepada Asra. Juga generasi muda lainnya. Terutama yang tunduk dibawah tekanan ekonomi. Semasa kuliah–minimal yang seangkatan dengan saya– Asra adalah yang paling terbatas keadaannya.
Benar, selesai kuliah, Asra memilih pulang ke Mata Ie, Kecamatan Pasieraja, Kabupaten Aceh Selatan. Ke rumah orangtuanya.
Sekarang, Asra mengajar di beberapa sekolah. Sebagai seorang Sarjana Pendidikan Islam, Asra juga membuka Tempat Pengajian Alquran di rumah orangtuanya.
Santrinya cukup banyak. Dia menerapkan metode modern dalam TPA nya itu. selayaknya dikembangkan oleh pemerintah.
Setelah 16 tahun, sekarang Asra masih menyimpan sepeda pemberian Papa, Amril Datok Majolelo.
Oiya, masih ada satu harapan Asra yang belum tercapai, yaitu mendirikan Madrasah setingkat Ibtidayah di desanya.
Di saat saya tanyakan, apa ada rencana ikut sepeda santai hari ini? Dia hanya ketawa.
Saya lupa, sekarang Asra sudah menjadi guru, di gampong. Mana ada lomba sepeda santai.
Asra adalah pahlawan, minimal untuk dirinya sendiri. Dia patut jadi contoh. Keterbatasan bukan alasan. Jika pahlawan kemerdekaan berjuang untuk merebut kemerdekaan dari penjajah, maka tugas generasi muda mengisinya. Salah satu caranya memiliki semangat untuk maju. Seperti semangat Asra…[]
Dirgahayu Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesi ke 75.
17 Agustus 1945-17 Agustus 2020
Merdeka
Merdeka
Merdeka