Oleh: Alja Yusnadi
Salah satu masalah yang sering kita hadapi adalah kekurangan pasokan listrik. Harusnya, kekurangan itu dapat diselesaikan melalui menggali potensi energi terbarukan.
Mengharapkan sepenuhnya kepada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) kurang tepat.
PLTD bahan bakarnya adalah minyak yang disuling dari perut bumi. Demikian juga dengan PLTU. Bahan bakarnya adalah batu bara. Anda tahu, semakin hari persedian minyak bumi dan batu bara kian menipis.
Diantara energi terbarukan itu, memanfaatkan tenaga bayu atau angin, tenaga air yang mengalir, tenaga surya, dll. Itu semua tidak merusak, persediaannya juga tidak terbatas. Selama kita bersahabat dengan alam, menjaga ekosistemnya, selama itu pula kita dapat menghirup udara, menikmati energi surya.
Salah satu upaya yang pernah dilakukan untuk mengolah energi terbarukan adalah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Kluet yang terletak di desa suaq bakong, kecamatan kluet selatan, kabupaten aceh selatan.
Rencana itu terjadi sekitar 2010. Bukan main, peletakan batu pertama dilakukan oleh Gubernur Aceh—saat itu dijabat oleh Irwandi Yusuf–dan Bupati Aceh Selatan—saat itu dijabat oleh Tgk. Husen Yusuf.
Semangat itu mulanya layak diacungi jempol, karena Perusahaan Listrik Negara (PLN) Wilayah Aceh sudah meneken kontrak kerjasama dengan PT. Gelora Lintas Artha (GLA). Harapannya, GLA dapat menyuplai arus listrik ke PLN.
Rupanya semangat itu tidak konsisten. November 2011, PLN membatalkan kontrak kerjasama. Alasannya, GLA tidak mampu menyuplai arus listrik sebagaimana waktu yang telah disepakati.
Pembatalan itu membuat masyarakat kecewa. Kalau saya tidak silap, pemerintah daerah pun sudah menganggarkan dana untuk membangun pagar. Mengelilingi areal yang akan dijadikan PLTB.
Sampai saat ini, pagar itu masih berdiri tegak. Di dalamnya sudah tumbuh ilalang dan tanaman keras. Tidak terurus.
Ketika terjadi pemutusan kontrak, pihak GLA buang badan sembari melempar kesalahan kepada pemerintah daerah. Alasannya pemerintah daerah lamban membebaskan tanah.
Padahal, kalau jadi, pada saat itu PLTB Kluet merupakan PLTB yang ke enam se Indonesia. Awalnya, GLA menggandeng salah satu perusahaan dari Korea. Namun, belakangan sepertinya sudah tidak lagi.
Pantai Suaq Bakong memiliki kecepatan angin 2-4 meter per detik. Hal inilah yang menarik minat investor. Termasuk beberapa investor asal Korea Selatan seperti Kim Jong Tae, Go Young Min, Song Jae Sung, baek Gwang Hyun, dan juga pengusaha Indonesia, Marlis Pohan. Nama yang terakhir adalah Direktur GLA.
PLTB itu direncanakan berkapasitas 10 mw dengan 200 unit tower turbin angin di area seluas 75 hektar. Kalau tidak salah, kebutuhan kecepatan angin sekitar 1,6 sampai 3 meter per deteik.
Seharusnya, kecepatan angin pantai Suaq bakong cukup untuk memutar turbin PLTB Kluet.
***
Sepuluh tahun sudah berlalu. PT. GLA tidak terdengar kabar. Lokasi PLTB Kluet sudah menjadi semak belukar. Beberapa bulan yang lalu, seorang investor kembali bertandang.
Katanya dari Jepang. Dia mau melanjutkan pembangunan PLTB Kluet. Namanya Kota Saito, mewakili PT. After Fit Indonesia, salah satu Perusahaan Jepang di Jakarta yang bergerak di bidang energi.
Dalam kunjungan itu, Kota tidak sendiri. Dia didampingi oleh Bupati dan DPRK Aceh Selatan. Dalam waktu dekat mereka akan melakukan survey, menganalisis, apakah pantai Suaq Bakong layak jadi PLTB atau tidak. Juga berkoordinasi dengan PLN sebagai pembeli arus.
Sebelumnya, PLN sudah pernah menjalin kerjasama dengan GLA, yang berujung gagal. Apakah kali ini, PLN akan mencapai kata sepakat dengan After Fit? Atau akan bernasib sama? Saya belum tahu, kita tunggu saja proses lebih lanjut.
Semoga, After Fit tidak sama dengan GLA. Serius menggarap energi terbarukan ini. Khususnya PLTB Kluet. Bukan apa-apa, selain menyuplai listrik ke PLN, kehadiran pembangkit listrik tersebut juga menampung tenaga kerja lokal.