Oleh: Alja Yusnadi
Ternyata Partai Solidaritas Indonesia (PSI) belum mati. Pada pemilu legislatif 2019 lalu, PSI tidak berhasil mengirim wakil ke Senayan, PSI tidak lewat Parliamentary Threshold (PT) atau ambang batas parlemen. Ambang batas perolehan kursi atau suara yang boleh duduk di Senayan.
Kegagalan itu tidak membuat partai yang pengurusnya didominasi anak muda itu gulung tikar, kembali ke habitat masing-masing. Misalnya yang dulunya musisi, kembali menjadi musisi, yang dulunya pedagang kembali berdagang, yang dulunya presenter balik jadi presenter. Tidak pula menguap, mengembun, lama-lama akan hilang.
PSI boleh saja tidak lewat PT, namun semangat anak-anak muda itu masih menyala, seberapa kuat baranya itu tahan, saya belum tahu. Satu hal yang sudah pasti, Plt Ketua Umum PSI sudah mendeklarasikan diri sebagai calon Presiden 2024.
Bukan alang-kepalang, Giring Ganesha, yang pernah menjadi vokalis Band Niji yang berambut bergulung-gulung itu sudah menyatakan sikap sebagai Capres. Padahal pilpres dan pilleg baru setahun selesai.
Giring merupakan “Brand Ambasador” PSI sejak pemilu legislatif 2019. Wajah Giring dipajang diatribut kampanye. Sukses di music, tidak serta merta membuat Giring sukses di politik. Walaupun Giring sudah dieksploitasi sedemikian rupa, PSI masih belum lolos PT.
Lalu, apa maksud PSI kembali menjual Giring sebagai capres 2024? Sebagai partai politik, PSI memang tidak pernah kehabisan ide. Soal keberhasilan nanti dulu, tetapi PSI tetap bisa menjaga eksistensi di tengah dominasi partai politik besar.
Jika melihat sekilas, hampir tidak mungkin Giring dengan sungguh-sungguh akan nyapres. PSI saja tidak memiliki modal untuk mengusung. Mengharapkan usungan dari partai politik lain justru lebih tidak masuk akal lagi.
Ini bukan rencana konser yang cukup menyediakan sejumlah uang, lalu menyerahkan kepada Even Organizer. Pun demikian, sekedar nyapres tidak ada salahnya, tidak melanggar statuta.
Dipilih dan memilih itu konstitusional, tentunya dengan sejumlah syarat. Giring, kalau kita lihat sekilas pandang sehat walafiat, tidak kekurangan sesuatu apapun, kemungkinan besar lolos uji kesehatan, apalagi usianya masih muda, energik karena keseringan jingkrak di atas panggung.
Giring juga tidak terlibat dalam organisasi terlarang. Paling-paling, sesekali dilarang konser. Singkatnya, silahkan saja Giring berkeinginan untuk nyapres, apalagi kalau dia sudah mendapatkan wangsit, misalnya dari suhunya Grace.
Strategi ini juga pernah dimainkan oleh PKB. Rhoma Irama pernah dibuat kesemsem. Digadang-gadang menjadi Capres PKB. Walaupun ujung ceritanya bagai kisah FTV, mudah sekali ditebak. Hingga akhirnya, membawa si Raja Dangdut itu medirikan IDAMAN, yang sayangnya pula gagal mengikuti pemilu.
Kebesaran PD juga tidak lepas dari nyapresnya SBY. Walapu pasca itu kedodoran, sebab bergantung kepada mantan presiden dua periode itu. Gerindra juga sama, setelah menjagokan Prabowo di pilpres 2014 dan 2019, suara Gerindra naik drastis. PDI Perjuangan juga demikian, setelah menjadi oposisi selama SBY, partai besutan Megawati itu berhasil menang di dua pilpres dan pileg secara beruntun.
Mungkin, inilah yang mau di tiru oleh Giring bersama PSI nya, memilih jalan gegap-gempita, menawarkan sosok, tidak sekedar ngekor.
Kalau ibarat balapan, Giring melakukan start—minimal melalui baliho—jauh lebih awal. Di saat partai-partai besar lagi sibuk mengurus Pilkada serentak, PSI justru sudah berfikir jauh kedepan.
Giring sedang berupaya menggiring opini sekaligus meraba persepsi publik. Lagi pula, apa susahnya sih menyatakan akan nyapres. Masih mending daripada harus membuat aksi ini-aksi itu, melibatkan berbagai pihak. Modusnya menyelamatkan Indonesia, ujung-ujungnya untuk nyapres jua.
Bisa juga ada pihak yang sedang menggiring. Bukan menjadi Giring, tetapi Giring digiring untuk Nyapres. Atau, lewat balihonya itu Giring lagi mencari pasangannya? Anda berminat? Silahkan hubungi kantor PSI terdekat. Bisa jadi Giring menggiring, bisa juga Giring digiring, bisa juga bukan keduanya. Kalau saya lebih suka melihat Giring nyingkrak.