Oleh: Alja Yusnadi
Sejak kemunculannya, Covid-19 (untuk seterusnya saya sebut Korona saja) sudah menebar ketakutan. Seperti hantu atau kentut, tidak tampak tapi efeknya nyata. Kita tidak usah berdebat mengenai hantu, apalagi jika menggunakan Madilog, sudah tentulah tidak ketemu.
Hantu telah “hidup” dalam “keyakinan” kebanyakan masyarakat. Kentutpun demikian, tidak usahlah mendebat soal keakuratan bau yang ditimbulkan. Persamaan ketiganya hanya soal ketidak nampakan.
Koronapun demikian. Makin ke sini, makin banyak orang yang positif tanpa menunjukkan gejala apapun. Saya tidak meninjau dari sisi medis atau virulogi, karena saya bukan ahli keduanya. Saya melihat dari sisi lain, sebagai masyarakat yang berada di tengah-tengah teror Korona itu.
Bukan apa-apa, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah (semua tingkatan) belum mampu menekan angka penyebaran virus mematikan itu. Jika merujuk kepada negara-negara yang lumayan berhasil menekan penyebaran, katakanlah seperti China, Vietnam, Korea—Utara dan Selatan—Indonesia agak jauh dari kriteria itu.
Negara penganut sistem yang agak lebih ketat seperti China, Vietnam, Korea Utara agak lebih berhasil menanganinya, bisa saja negara dengan corak seperti ini mudah mendisiplinkan aparatur dan masyarakatnya.
Kemudian negara yang memiliki teknologi lebih maju, katakanlah seperti Korea Selatan. Indonesia sebagai penganut sistem demokrasi dan tidak pula memiliki penguasaan teknologi yang terbilang maju, agak kerepotan menekan penyebaran. Tidak mudah memang menghadapi pandemi ini, negara sebesar Amerikapun hampir kewalahan dibuatnya.
Saya perhatikan, Pemerintah Pusat agak ragu-ragu menerapkan pembatasan kegiatan secara menyeluruh. Karena, selain faktor kesehatan, Pemerintah juga bertanggungjawab untuk mempertahankan ekonomi, biar negara tidak ambruk.
Masalah pokoknya memang kesehatan. Namun, masalah ekonomi juga tidak dapat dianggap sepele. Lihat saja pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kwartal ke kedua, sudah menunjukkan kemunduran, jika kondisi ini terjadi berturut-turut pada dua kwartal berikutnya, masalah besar sedang menunggu di depan: resesi.
Pemerintah berdiri diantara kedua masalah besar ini. Tidak boleh mengorbankan yang satu untuk yang lainnya. karena efeknya sama-sama kehancuran.
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus membantu menekan penyebaran itu. Sudah banyak tawaran-tawaran solusi dari berbagai pihak. Termasuk saya malalui tulisan-tulisan pendek yang tidak beraturan dalam aljayusnadi atau media lain.
Mengharapkan seluruh masyarakat berhenti beraktifitas tentu tidak mungkin. Akibatnya bisa fatal, salah satunya, ya itu tadi, mempercepat resesi. Karena banyaknya uang beredar tidak diikuti jumlah produksi.
Harusnya bagaimana? Sekali lagi, saya mengatakan ini bukan sebagai ahli medis atau virulogi. Anggap saja sebagai bukan pakar apa-apa atau pakar bukan-bukan, paling tidak dari sisi kebijakan publik, masih boleh lah.
Dari berbagai bacaan, saya menangkap ada beberapa klasifikasi masyarakat yang memiliki resiko tinggi (resti) terhadap penyebaran Korona ini, diantaranya adalah anak-anak, orang tua dan yang memiliki riwayat penyakit jantung, darah tinggi, gangguan pernafasan, diabetes dan penyakit lain (pihak berwenang dapat merilis).
Hal itu diperkuat lagi dengan banyak ditemukan kasus positif tanpa gejala. Artinya, pasien positif tidak memiliki keluhan apapun, tidak ada sakit kepala, batuk, pilek, seperti ciri-ciri yang dirilis di awal kemunculannya.
Biasanya, yang tanpa gejala ini adalah mereka yang muda, memiliki imunitas yang kuat, dan tidak memiliki riwayat penyakit seperti saya sebut di atas. Sepertinya untuk yang seperti ini biarkan saja beraktivitas seperti biasa dengan menjalankan kebiasaan baru.
Bagaimana yang termasuk kelompok resti? Ini yang harus diproteksi. Pergerakan mereka harus dibatasi, kalau tidak begitu penting, tidak usah keluar rumah. Amaran ini, bisa dimulai dari keluarga sendiri, kalau memungkinkan, dapat diformulasikan oleh Pemerintah Daerah.
Bagaimana caranya? Pemda memiliki perangkat yang cukup untuk memikirkannya. Sebagai langkah awal, saya mengusulkan, agar dinas terkait mengklasifikasi data.
Terkait dengan umur, dinas kependudukan memilikinya. Untuk data pasien, Dinas Kesehatan atau Rumah Sakit Umum Daerah memilikinya. Mulai lah dari situ.
Jika data sudah tersedia, Pemda merilisnya, menyampaikan kepada yang bersangkutan, instansi dan struktur pemerintah di bawahnya. Seterusnya? Mulailah berangkat dari data itu, tugaskan kepala instansi untuk menghayalkannya.
Kalau perlu, melalui refocusing anggaran, berikan kelompok resti itu asupan gizi tambahan, daripada mencetak stiker BBM bersubsidi atau jalan-jalan, lebih bermanfaat, bukan???