Oleh: Alja Yusnadi
Beberapa hari yang lalu saya membaca Recehan Bahasa, karya Ivan lanin. Ivan akhir-akhir ini secara konsisten berkhidmat dalam dunia kebahasaan.
Menariknya, Ivan tidak berangkat dari Sarjana Kebahasaan atau Sastrawan Indonesia. Justru, Ivan adalah lulusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Awalnya, Ivan bersentuhan dengan Bahasa, namun bukan Bahasa Indonesia, melainkan Bahasa Komputer. Dia adalah seoang proggramer komputer.
Melalui bukunya itu, Ivan menyibak beberapa kesalahan berbahasa, terutama Bahasa formal. Perbedaan beberapa istilah yang sering digunakan. Salah satunya adalah perihal sekapur sirih.
Kata Ivan, sekapur sirih sama dengan kata pengantar. Ditulis oleh orang lain. Berisi apresiasi kepada penulis, ucapan terimakasih kepada penulis. Beda dengan Prakata. Dibuat oleh penulis. Berisi Penjelasan tujuan pembuatan karya tulis, ucapan terima kasih kepada orang lain yang mendukung penulis.
Kenapa harus sekapur sirih? Saya sempat berfikir sejenak. Apa hubungan menulis dengan kapur dan sirih. Sebelum sampai ke situ, memori saya mereview beberapa penggunaan sirih dan kapur.
Masih menurut Ivan, beberapa suku bangsa di Indonesia memiliki tradisi mengunyah sirih (menginang). Dahulu, tamu yang datang biasanya disuguhi sekapur sirih (kinang) sebagai pembuka.
***
Dari beberapa suku bangsa yang disebut Ivan, Aceh salah satunya. Di Aceh, sekapur sirih disebut ranup sigapu: ranup itu berarti sirih, gapu itu berarti kapur.
Sekapur sirih sering saya lihat digunakan orang meu uroh—mengundang—menggunakan bate (cerana) yang isinya sirih, kapur, pinang, gambir.
Di gampong (desa), di saat mau melaksanakan hajatan, yang punya rumah atau keluarga mengundang orang sekampung dengan cara “meu uroh”.
Sekapur sirih itu mewakli sirih, pinang, kapur, gambir untuk sekali makan. Pengundang membuka bate yang berisi sekapur sirih. Sambil mempersilahkan orang yang akan diundangnya memakan sekapur sirih, di situlah pengundang menyampaikan maksud kedatangannya.
Misalnya, “Kami mengundang Bapak/Ibu untuk hadir di rumah si Pulan, muaia hari A sampai hari E, acara si Pulan menikahkan anak,” begitu kira-kira saya mendengar para pengundang itu.
Lambat laun, tradisi ini mulai terkikis, diganti dengan mencetak semi-undangan, judulnya sekapur sirih, isinya jadwal pelaksanaan pesta. Kali ini sirih dan kapurnya tidak lagi di dalam cerana tapi sudah dalam bentuk kertas. Di print.
Kecuali untuk orang-orang tertentu, seperti perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, diundang masih menggunakan cerana. Agak lebih jauh, menggunakan sekapur sirih, lebih jauh lagi menggunakan surat undangan.
Di beberapa tempat, saya juga masih melihat sekapur sirih ini disuguhkan di rumah-rumah kenduri. Saya bukan pecinta sirih. Namun, Ibu, Kakek dan mendiang Nenek saya adalah pecandu sirih.
Saya belum tahu kenapa harus sirih. Makna filosofis dan historisnya. Yang jelas, jika sirih, pinang, kapur, gambir dimakan secara terpisah, rasanya tidak karuan.
Daun sirih itu rasanya reuhang. Pinang, jika dimakan tanpa rempah lain rasanya kelat. Kapur, cobalah makan tanpa sirih, saya tidak bisa mengilustrasikan. Yang pasti panas. Gambir juga demikian, jarang orang makan tanpa sirih.
Namun, jika kesemua rempah itu dimakan dalam waktu bersamaan akan memberikan cita rasa khas, dan bisa membuat candu. Saya dengar cerita, salah satu efek makan sirih ini adalah membuat gigi kokoh.
Tentu ini klaim sepihak, belum melalui uji ilmiah. Saya perhatikan, gigi Ibu saya memang masih kokoh, di usia 55 tahun masih utuh. Entah ada hubungannya dengan makan sirih atau tidak, saya kurang tahu.
Kemudian, saya juga melihat sekapur sirih ini digunakan untuk menyambut tamu kehormatan dalam sebuah majlis. Biasanya dalam acara resmi kedaerahan. Pembawa cerana, biasanya perempuan muda, dibalut baju adat, menyuguhkan cerana yang di dalamnya berisi sirih, pinang kepada tamu.
Biasanya disertai dengan tarian. Tarian tradisional, namanya: tari ranup lam puan. Tari ini bisa ditarik sejarahnya. Diciptakan sekira tahun 1959 atau 1962. Penciptanya Yusrizal dengan sanggar Pocut Barennya.
Banyak nama besar yang terlibat dalam proses peciptaan itu: Ali Hasmy, Ny. AK. Abdullah, Ny. T. Ismail, Ny. Sugono, Ny. Hamid HS, mereka adalah pengasuh sanggar Pocut Baren.
Kemudian ada nama Tuanku Burhan, AK. Abdullah, A. Aziz Kunun, Samaun Gaharu, T. Hamzah dan istri, Mayor T. Ismail dan Istri, Nyak Adam Kamil dan Istri, T. Djohan, Cut Ainun Mardiah, T. Ismail Bitai, Ny. Hamidi, AD Manua. Mereka adalah pejabat daerah pada masa itu (Isbiaceh.ac.id).
Para tokoh itu berembuk. Disepakatilah tari itu menjadi tari ranup lampuan yang dijadikan sebagai tari penyambutan dalam setiap acara.
Terus, kenapa harus sirih? Sepertinya sirih sudah digunakan kerajaan Aceh Darussalam, beberapa abad silam. Sultan Alaidin Riayatsyah menyambut kedatangan utusan Raja Ingris dengan sirih.
Kemungkinan, sirih mewakili sifat kerendahan hati dan upaya memuliakan tamu. Sering juga digunakan untuk mengawali musyawarah penyelesaian sengketa, upacara perdamaian, dll.
C. Snouck Hurgronje dalam bukunya Orang Aceh menyebut beberapa kali penggunan sirih dalam kebiasaan orang Aceh masa lampau. Pertama di saat lamaran. Rombongan linto (mempelai laki-laki) membawa hadiah lamaran dan ranub dong.
Secara harfiah ranub dong artinya sirih berdiri. Maksudnya, seperangkat sirih yang sudah di susun rapi di dalam dalong (baki kayu). Di sekeliling baki diletakkan barisan daun sirih yang disusun secara apik di alas yang cekung. Barisan daun sirih itu ditumpuk memutar dari lapisan terendah hingga teratas, dan di puncak lapisannya diletakkan buah pinang.
Kedua, di saat Linto baro bersama rombongan peunganjo (pendamping) menuju Meunasah di gampong dara baroe (mempelai perempuan). Lintoe harus menegur setiap anakmuda, dan berusaha ramah kepada mereka, sembari memberikan sirih.
Snouck merupakan antropolog yang bekerja untuk Kerajaan Belanda. Dia ke Aceh sekitar tahun 1891-1892, salah satu tujuannya meneliti pengaruh agama Islam terhadap semangat perlawanan orang Aceh kepada Belanda.
Dalam tugasnya, Snouck mengamati setiap kebiasaan orang Aceh, termasuklah salah satunya soal sirih itu. Artinya, pada saat guru besar Laiden University itu berada di Aceh, sirih sudah digunakan dalam beberapa upacara adat.
Paling tidak, itu sejarah tertulis tentang penggunaan sirih, besar kemungkinan sirih sudah digunakan jauh sebelum kedatangan Snouck, termasuk klaim sampai kepada kerajaan Aceh Darussalam.
***
Kembali kepada ranup sigapu atau sekapur sirih, seperti kata Ivan tadi. Dalam sejarahnya, sirih beserta rempahnya digunakan untuk menghormati tamu. Sebagai salam pembuka. Sebagai ucapan terimakasih.
Jadi, penggunaan sekapur sirih dalam setiap tulisan agaknya berkaitan erat dengan tradisi Aceh yang saya sebut tadi.
Seharusnya, sekapur sirih itu dibuat oleh penulis. Sebagai ucapan penghargaan, ucapan terimakasih, ucapan selamat datang dari penulis kepada para pembaca dan pihak-pihak yang telah membantu penulis.
Oiya, yang benar itu sekapur sirih? kapur sesirih? sirih sekapur? atau sesirih kapur? Kalau saya lebih memilih sirih sekapur. Bagaimana Uda Ivan Lanin, boleh begitu? Hehehe. Saya melanjutkan Recehan Bahasa, siapa tahu masih banyak misteri yang belum terpecahkan di situ.
Catatan: Tulisan ini sudah pernah tayang di Qureta