Presiden dan Aceh

0
155
Presiden Joko Widodo (Tribunnews)
Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Aceh (Foto: Tribunnews)

Oleh: Alja Yusnadi

Presiden Joko Widodo kembali berkunjung ke Aceh, Selasa (25/8). Ini adalah kunjungan kedelapan selama dia menjadi Presiden. Kali ini, Jokowi ke Aceh dalam rangka menekan bel, tanda jalan tol yang menghubungkan Aceh Besar-Pidie itu sudah diresmikan.

Mantan Walikota Solo ini juga membawa satu juta masker yang diberikan kepada Pemerintah Aceh untuk selanjutnya dibagikan kepada masyarakat Aceh.

Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia yang ke 7. Artinya, sudah ada 6 Presiden lain sebelum dirinya. Kesemuanya itu, memiliki sejarah dan hubungan tersendiri dengan Aceh.

Aceh ini unik. Luasnya tidak seberapa, penduduknya setara dua Kabupaten di Pulau Jawa. Tapi soal pengaruh? Jangan ditanya. Sejak Indonesia merdeka, sudah beberapa kali Aceh membangkang kepada Pemerintah.

Ir. Soekarno, Presiden pertama memiliki hubungan yang maju mundur dengan Aceh. Ada manis, ada pahit. Salah satu yang manis, ketika Bung Karno meresmikan tugu Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam tahun 1959.

Bung Karno membubuhkan tanda tangan di atas prasasti yang kelak, berpuluh-puluh tahun setelah itu, tanahnya diperebutkan oleh petinggi Perguruan Tinggi yang ada di dalam Kopelma itu.

Pahitnya, di bawah komado Daud Beureueh, Aceh menyatakan bergabung dengan Negara Islam Indonesia atau disebut juga Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Peristiwa itu terjadi pada 23 September 1953. Aceh kecewa karena digabung menjadi bagian Sumatera Utara, padahal Aceh telah banyak membantu kemerdekaan Republik Indonesia.

Soeharto, Presiden kedua dan yang terlama memimpin Indonesia pasti memiliki hubungan yang lebih dalam dengan Aceh. Di masa Soeharto, berbagai pembangunan dilakukan. Perusahaan Nasional dan Multi Nasional hadir di Aceh, mengeruk sumberdaya alam. Sebut saja seperti PT. Arun, Exon Mobil, Pupuk Iskandar Muda (PIM), KKA, dan beberapa perusahaan lain.

Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro dan kawan-kawan mendeklarasikan Aceh Merdeka. Ingin memisahkan Aceh dari Indonesia. Perlawanan ini di hadapi dengan penerapan status Daerah Operasi Militer (DOM) Jaring Merah tahun 1989.

Setelah Soeharto lengser, BJ. Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden dilantik menjadi Presiden oleh MPR. Di masa Habibie, DOM dicabut dari Aceh, tahun 1998. Presiden meminta maaf kepada rakyat Aceh atas peristiwa itu.

Habibie juga memberikan 9 harapan kepada masyarakat Aceh, beberapa diantaranya adalah membangun jalur Kereta Api dan membangun kawasan pelabuhan bebas Sabang.

Habibie tidak lama menjabat sebagai Presiden. Seterusnya dilanjutkan oleh Abdurrahman Wahid.

Mantan ketua PBNU tersebut juga memiliki keterikatan dengan Aceh. Gus Dur, entah apa sebabnya mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial, dia mengaku “Nabi”nya orang Aceh. Pernyataan Gus Dur dikecam.

Setelah reformasi, perjuangan bersenjata di Aceh menemukan jalan baru. Hura-hara politik Jakarta dimanfaatkan oleh pejuang kemerdekaan untuk membangun konsolidasi yang masif. Hingga, membuat Gus Dur sebagai Presiden terbelah sikapnya tentang Aceh.

Satu sisi, sepakat dengan referendum untuk menentukan nasib Aceh: Berpisah atau tetap dengan Indonesia. Di sisi lain, sebagai Presiden, Gus Dur harus mempertimbangkan tekanan politik nasional.

Gus Dur menjabat setengah periode. Dirinya berhenti di tengah jalan. Selanjutnya, Megawati Soekarno Putri dilantik menjadi Presiden.

Di awal kepemimpinannya, Megawati berkunjung ke Aceh. Mengenang hubungan Soekarno—yang juga Ayahnya—dengan Aceh. Mega ingin masalah Aceh diselesaikan dengan cara damai. Salah satu kebijakannya memberikan otonomi khusus untuk Aceh.

Melalui Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pemerintah memberikan kewenangan khusus untuk Aceh, mengurus beberapa hal mengenai penyelenggaraan pemerintah lokal. Seperti memformalkan pelaksanaan Syariat Islam.

Berbagai istilah atau penyebutan nama daerah dalam Bahasa Aceh mulai di akomodir, seperti Sagoe, Sagoe cut dan lain-lain dimasukkan ke dalam aturan ini. Keberadaan Wali Nanggroe dan Tuha Nangroe juga mulai disinggung di dalamnya. Bagi hasil sumberdaya alam juga diatur.

Kesemuanya itu lebih progresif diatur kemudian melalui UU. No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Eskalasi konflik terus meningkat, beberapa perundingan gagal mencapai kesepakatan. Terakhir, gagalnya perundingan Tokyo, memaksa Megawati untuk memberlakukan Darurat Militer (DM) di Aceh.

Seterusnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Indonesia pada tahun 2004. Pemilihan presiden pertama yang dilakukan langsung oleh rakyat, tidak diwakilkan kepada DPR/MPR.

SBY memiliki kaitan dengan Aceh. setidaknya, ada dua peristiwa yang terjadi di Aceh selama SBY menjadi Presiden. Perdamaian Aceh dengan Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005, dan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh pasca Tsunami.

Setelah gagal berkali-kali, akhirnya perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah berhasil dicapai. Tangan dingin Jusuf Kalla yang saat itu menjadi Wakil Presiden sangat membantu proses perundingan itu. Banyak cerita dibalik layar yang tidak terungkap ke publik di mainkan oleh JK.

Selain konflik yang telah membuat Aceh hancur, Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 juga menyebabkan Banda Aceh dan sekitarnya lumpuh total. Kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) NAD-Nias mampu mengembalikan pembangunan infrastruktur.’

Dua hal itu, paling tidak yang dikenang oleh orang Aceh semasa SBY-JK. Ganjarannya, SBY-Boediono memperoleh suara 90 persen lebih pada pilpres 2009 di Aceh.

Berikutnya, pada pilpres 2014, Joko Widodo-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Keduanya bukan orang asing bagi Aceh. Jokowi pernah tinggal di Aceh dan JK pernah terlibat dalam perdamaian Aceh.

Selama itu pula, sudah ada beberapa program Pemerintah yang dikucurkan ke Aceh, diantaranya pembangunan waduk, pembangunan jalan tol.

Ternyata, Jokowi secara electoral belum berkawan dengan orang Aceh. lihat saja perolehan suaranya pada pilres 2019 lalu. Hanya sekitar 14 persen. Masih ada empat tahun lagi masa jabatan Jokowi pada periode kedua ini. Sepatutnya memikirkan strategi apa yang harus dimainkan, agar Jokowi bisa dekat dengan orang Aceh.

Bukan untuk elektoral. Karena Jokowi sudah tidak bisa lagi mencalonkan sebagai Presiden. Setidaknya, dalam lintasan sejarah, Jokowi dikenang sebagai Presiden yang banyak berbuat untuk Aceh.

Dan, yang tidak kalah pentingnya, langkah tersebut sangat berpengaruh bagi pengikut Jokowi di Aceh, baik secara pribadi maupun secara patron politik atau partai politik. Nasionalis, Republiken, Self Goverment, Etno-Nasionalisme secara bersamaan bisa kita jumpai di Aceh.

Catatan: Tulisan ini sudah pernah tayang di AYCorner