Oleh: Alja Yusnadi
Beberapa hari ini, jagad medsos ramai dengan berita aksi unjukrasa di Simpang Lima, Banda Aceh. Aksi itu dilakukan oleh seratusan massa menggunakan baju mirip almamater kampus. Pegunjuk rasa menolak kedatangan Habib Riziq Shihab ke Aceh.
Aksi ini mendapat respon negatif dari warganet, terutama karena isu dan seragam yang mereka gunakan.
Seketika, saya ingin mengingat kembali perihal Simpang Lima itu, yang sudah puluhan tahun berdiri kokoh sebagai tempat unjuk rasa.
Memang, perlimaan yang di tengahnya ada tugu yang sudah beberapa kali berganti corak itu sering digunakan sebagai “titik klimaks” para pengunjuk rasa.
Mulai dari aksi menolak militerisasi dalam penanganan konflik Aceh, sampai aksi mencela Pemerintah Aceh. Semua menjadikan Simpang Lima sebagai titik puncak. Biasanya diawali dengan aksi unjuk rasa ke kantor Gubernur atau DPRA.
Saya sendiri, semasa kuliah, sekitar 10-15 tahun yang lalu memiliki memori dengan simpang itu. Beberapa kali ikut terlibat aksi unjuk rasa, yang paling sering dengan kawan-kawan Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK).
MPK, merupakan organisisasi mahasiswa ekstra kampus yang lebih banyak bicara mengenai keadilan setelah masa transisi, termasuk hak-hak kaum marjinal, seperti korban konflik.
Kasus yang lumayan lama kami dampingi adalah korban konflik Aceh Tengah dan Bener Meriah. Saat itu, seribuan korban konflik dari dataran tinggi gayo datang ke Banda Aceh untuk menuntut hak.
Kasus itu sampai menghantarkan Hendra Budian—yang sekarang Wakil Ketua DPRA itu—berurusan dengan polisi. Sebagai Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) yang mendampingi korban konflik, Hendra mengalihkan perhatian masa agar tidak merusak fasilitas kantor Kejaksaan Aceh.
Di lain waktu, ketika sedang berkumpul dengan beberapa kawan MPK, mendiskusikan isu politik-kebijakan yang harus diintervensi pada saat itu, tentu saja tempat yang paling strategis untuk berorasi adalah Simpang Lima itu.
Kadang, hanya memberitahukan saja ke pihak kepolisian, kadang juga polisi taunya di TKP. Resikonya dibubarkan, biasanya setelah berorasi 30 menit, membagikan selebaran, terus dilanjutkan ngopi.
Simpang Lima memang menjadi destinasi menarik bagi pengunjuk rasa. Ada beberapa alasan. Pertama, letaknya strategis. Berada di tengah kota. Tidak jauh dari Mesjid Raya Baiturrahman, tidak jauh dari kantor DPRA dan kantor Gubernur Aceh, juga dekat dengan Kodam.
Biasanya, salah satu target dari pengunjuk rasa adalah mendapat perhatian publik, terutama dari jurnalis dan pengendara yang lewat di Simpang Lima. Bayangkan saja, berapa ratus orang pengendara melewati lima simpang itu.
Setelah berorasi, target pengunjuk rasa adalah membagikan selebaran. Memberitahukan kepada publik rasa yang mereka unjukkan.
Kedua, Setting tempat lumayan bagus. Selain letaknya di tengah kota, Simpang Lima juga memiliki tugu yang lumayan besar.
Walaupun sudah direnovasi beberapa kali, di sekeliling tugu Simpang Lima itu masih memberikan ruang bagi pengunjuk rasa untuk berbaris, membentuk pagar betis. Simpang Lima juga bisa menjadi “panggung” aksi teatrikal.
Ketiga, hemat biaya. Simpang Lima milik publik, jika Anda ingin berunjuk rasa di sana tidak perlu mengeluarkan biaya sewa tempat, cukup memberitahukan ke pihak keamanan saja.
Sudah kebayangkan bagaimana strategisnya Simpang Lima sebagai “destinasi” unjuk rasa. Orator menggenggam toa, dihadapkan ke udara. Tidak ada penguasa atau objek yang mereka demo di sana.
Entah sudah berapa puluh orang, bahkan ratusan orang aktivis yang pernah mencicipi “kursus singkat” di Simpang Lima ini. Kalau kita periksa, sebagian politisi, birokrat, pegiat LSM pernah merasakan terik panas Simpang Lima.
Kalau Pemko Banda Aceh mau berbaik hati, menarik juga menyediakan Panggung Orasi Publik (POP) di situ. Jika warga kota memiliki keluhan dengan air bersih, bisa disampaikan di situ. Mahasiswa mau mengkritik Rektor bisa juga menyampaikan orasi di situ.
Mau mengkritik Gubernur, DPRA, Wali Nanggroe, bahkan Presiden, juga dibolehkan di Simpang Lima. Setelah aksi, Pemko menyediakan snack ala kadarnya.
Di sisi lain, Simpang Lima juga harus dipertahankan eksistensinya. Bagi organisasi mahasiswa—baik yang intra maupun ekstra, yang progresif maupun yang intelektuil—setelah mendidik kader mudanya dengan berbagai teori pergerakan, harus diuji sekali-kali, ke lapangan, minimal Simpang Lima itu.
Simpang Lima terbuka untuk siapa saja. Kalau ada yang tidak setuju dengan aksi yang satu, dapat menggelar aksi tandingan. Hari ini sekelompok masa mengkritik Pemerintah, besoknya giliran yang mendukung Pemerintah melakukan aksi, ada juga dalam waktu yang bersamaan.
Hmm. Menarik juga sesekali alumni Simpang Lima ini menggelar gathering atau aksi unjuk rasa di Simpang Lima itu…[Alja Yusnadi]