“Yang Banyak Menderita”

0
72
Bayu Krisnamukthi
Bayu Krisnamurthi (Foto: Alumni IPB)

Oleh: Bayu Krisnamurthi

Multatuli, yang dalam Bahasa Latin berarti “yang banyak menderita”, atau “saya sudah banyak menderita”, adalah nama samaran yang dipilih oleh Edward Douwes Dekker, seorang makelar kopi yang pernah – hanya kurang dari 3 bulan – menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten tahun 1856.

Boleh jadi Douwes Dekker sendiri memang hidupnya menderita, tetapi yang dimaksud ‘penderitaan’ dalam novelnya – yang telah diterjemahkan dalam puluhan bahasa – “Max Havelaar” adalah penderitaan rakyat (Banten). Meski hanya beberapa minggu saja Douwes Dekker ‘melihat’ kondisi masyarakat Banten, dia sudah dapat merasakan suatu tingkat penderitaan rakyat yang amat sangat, akibat penjajahan, praktek tanam paksa dan kesewenangan penguasa pribumi.

Gambaran betapa keluarga-keluarga di Banten ketika itu penuh ketidak berdayaan menghadapi kesewenangan yang sangat tidak adil, diceritakan oleh Multatuli secara romantis-tragis dalam kisah Saijah dan Adinda, bab 17 dari buku Max Havelaar.

Dikisahkan Saijah dan Adinda adalah dua anak yang berangkat remaja, dari keluarga petani yang rumah dan lahan sawahnya berada di satu kampung, bertetangga. Dan kedua remaja itu tampaknya saling menyukai satu sama lain. Kedua keluarga pun telah menyetujui bahwa kelak keduanya akan dijodohkan.

Sebagai petani sederhana Ayah Saijah hanya memiliki satu kerbau untuk membantunya mengolah sawahnya yang kecil. Adalah tugas Saijah untuk merawat dan mengembalakan kerbau, dan karenanya Saijah menjadi sangat dekat hubungannya dengan binatang andalan keluarga itu.

Keluarga ayah Saijah – dan juga keluarga ayah Adinda – harus bekerja keras bertani karena dari waktu ke waktu harus membayar pajak-tanah, land-rent, kepada penguasa penjajah Belanda. Dan tidak ada tawar-menawar, pajak itu harus dibayarkan bagaimanapun kondisi pertanian yang diusahakannya. Disamping itu, para petani di Banten ketika itu juga harus menghadapi kesewenangan penguasa pribumi lokal. Seperti ketika kerbau Saijah diambil paksa oleh wedana setempat. Tidak ada alasan, mungkin hanya karena suka saja dan karena memang sang penguasa itu bisa melakukannya.

Bagi ayah Saijah itu berarti bencana, karena tanpa kerbau, bagaimana dia bisa mengolah sawah, bagaimana dia bisa menghasilkan padi untuk dijual, dan bagaimana bisa membayar pajak. Padahal barang siapa tidak membayar pajak akan dipenjara. Oleh sebab itu, dengan mengais-ngais sisa harta yang ada – sebuah keris warisan – ayah Saijah membeli lagi seekor kerbau. Beruntung dia berhasil mendapatkan seekor kerbau yang besar dan kuat. Saijah juga menjadi bersemangat menggembalakannya.

Tetapi sekali lagi, kesewenangan melanda mereka. Sang wedana kembali tertarik dengan kerbau besar milik keluarga Saijah itu, dan mengambilnya lagi dengan paksa. Saijah hanya bisa menangis menyaksikan ayahnya yang tak berdaya dan putus asa.

Dalam keputus asaan, ayah Saijah mengorek dan mengais sisa-sisa harta keluarga untuk bisa membeli kerbau kembali. Kali ini hanya bisa mendapat seorang kerbau yang kecil saja badannya, tidak gagah dan kuat seperti sebelumnya. Saijah kembali terhibur hatinya, dan segera juga akrab memelihara kerbau itu sepenuh hati. Dan rupanya kerbau – dikisah lain sempat disebutkan kerbau itu diberi nama Arjuno – tahu membalas budi. Suatu ketika, Saijah yang sedang melepas lelah dipinggir hutan, diserang seekor harimau lapar. Dan kerbau itu melindungi Saijah, dengan berani menghadapi harimau dengan tanduknya. Saijah selamat, kerbaunya terluka. Namun kisah heroik sang kerbau, sampai juga ke telinga wedana yang serakah dan kejam. Lagi-lagi kerbau yang tidak terlalu bagus perawakannya dan terluka pun diambil paksa, dan kabarnya disembelih untuk dimakan.

Drama keluarga Saijah dan Adinda masih berlanjut. Ayah Saijah akhirnya dipenjara karena tidak dapat membayar pajak tanah. Ibu Adinda meninggal, dan ayahnya melarikan diri ke Lampung, bergabung dengan pemberontakan petani. Saijah sendiri pergi ke Batavia, mencari kerja apa saja. Dan rupanya dia cukup berhasil menabung, sehingga punya uang yang cukup untuk membeli tiga ekor kerbau dan merasa siap untuk menikahi Adinda. Namun ketika kembali ke kampungnya, dia dapati rumah pujaan hatinya itu telah terbakar rata dengan tanah, dan dikabarkan Adinda beserta adik-adiknya pergi ke Lampung menyusul ayah mereka.

Tekad bulat untuk mendapatkan Adinda kembali, Saijah menempuh perjalanan jauh ke Lampung. Tragisnya, dia sampai ke Lampung hanya untuk mendapati ayah dan ketiga adik Adinda telah tewas ditangan serdadu Belanda. Dan Adinda? Ditemukannya penuh luka, diperkosa, dan tidak bernyawa.

Abad 19 adalah abad dimana kehidupan rakyat penuh dengan penderitaan, akibat penjajahan dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh penguasa, asing maupun pribumi. Sejarah kemudian menunjukkan bahwa penjajah dan penguasa yang dzalim menjadi ‘musuh bersama’, yang turut mempersatukan aneka ragam suku, latar belakang, dan budaya yang ada di Indonesia. Tempaan penderitaan yang dilewati dalam sejarah panjang rakyat Nusantara kiranya telah ikut membentuk semangat kebangsaan (nation-hood) Indonesia.

Kita perlu terus menguatkan ‘nation-hood’ Indonesia yang memperjuangkan keadilan dan anti kesewenangan itu, karena jika ketidak adilan dan kesewenangan pihak lain ikut menyatukan kita, maka sebaliknya ketidak adilan dan kesewenangan bangsa sendiri akan dapat menghancurkan kita. Semoga tidak terjadi.–[Bayu Krisnamurthi]

 

Catatan:
– Tulisan ini dikutip dari catatan Bayu Krisnamurthi 1 Juli 2021 yang di share di group Asosiasi Agribisnis Indonesia (AAI)

– Dr. Bayu Krisnamurthi adalah Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Indonesia (AAI), Dosen Agribisnis di IPB University, Koordinator Staf Ahli Mentri Perdagangan, mantan wakil mentri pertanian, mantan wakil mentri perdagangan.