Oleh: Alja Yusnadi
Beberapa hari yang lalu, di saat saya menulis “Juru” di aljaysunadi.com ini, pikiran saya menuju H. Harmoko. Sebab, mengulas perihal juru bicara, tidak lengkap kalau tidak mengikut sertakan mantan Ketua MPR/DPR itu.
Bukan alang-kepalang, Harmoko menjadi Mentri Penerangan—Menpen– hampir 15 tahun. Penguasa Orde baru menempatkan jubir di posisi penting, sama pentingnya seperti urusan sosial, urusan pemuda dan olahraga, urusan membuat jalan dan jembatan, urusan kesehatan, dan seterusnya. Sama-sama dipimpin pejabat setingkat Mentri.
Beda dengan era setelah reformasi, jubir presiden hanya setingkat tenaga ahli di kantor Kepala Staf Presiden. Perannya pun tidak begitu signifikan. Karena, Kementrian—terutama yang sering mendapat atensi publik—dan lembaga negara lain juga juga memiliki jubir tersendiri.
Informasi, apalagi di era digital ini tidak lagi terpusat pada satu lembaga. Mungkin, karena itu juga peran jubir ini harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kalau dulu, Harmoko akan selalu tampil di TVRI untuk menjelaskan sesuatu perkara yang menyangkut pemerintah. Kalimatnya yang paling tersohor adalah “menurut arahan bapak presiden.” Harmoko menjalankan tugasnya dengan baik. Apapun yang diucapkannya, tidak lepas dari arahan orang yang “diwakilinya”.
Walaupun dengan guyon, kalimat itulah yang sudah berpuluh-puluh tahun berlalu, masih saya ingat, dengan gaya khas Harmoko.
Sebenarnya, untuk menjadi Menpen, Harmoko memiliki rekam jejak yang sangat baik. Dia sudah bergelut dengan dunia jurnalistik, pernah menjadi wartawan di beberapa media, pernah memimpin redaksi media, sampai menjadi orang nomor satu di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Saya tidak mengenal Harmoko secara dekat. Namun, diantara Mentri-mentri Kabinet Pembangunan, Harmoko lah yang paling sering muncul di TVRI. Waktu itu, secara rutin, saya “diwajibkan” untuk menonton televisi milik pemerintah itu, terutama pada jam-jam tertentu yang ada beritanya. Yang masih saya ingat, siaran Dunia Dalam Berita.
Mungkin, karena kebiasan yang diturunkan oleh ayah saya itu, saya bisa dengan lancar menyebut satu-persatu nama-nama Mentri, dan yang paling mudah itu, ya, Harmoko. Selain namanya pendek dan tidak njelimet juga karena sering tampil di TVRI.
Hal lain, hasil kerja Harmoko yang masih membekas dalam ingatan adalah Kelempencapir. Sebuah program dialog Presiden Harto dengan Petani, di tengah sawah. Program ini didesain untuk menggambarkan, betapa dekatnya Presiden Harto dengan Petani, Nelayan dan masyarakat kecil.
Di sisi lain, posisi Menpen juga tidak membuat pers jadi lebih baik, lebih bebas. Memang, pada saat itu, kebebasan media dikekang. Media dituntut untuk mendukung program pembangunan. Pemerintah—yang ada Menpen di dalamnya—melarang media membuat pemberitaan yang menyudutkan pemerintah, dalihnya macam-macam. Coba saja ada media yang memuat karikatur Pinokio atau meme untuk Presiden, selesailah nasib media itu, dicabut izinnya.
Harmoko, bisa dikatakan produk organik Orde Baru. Dalam beberapa periode politik, dirinya ikut ambil bagian. Mulai menjadi Mentri, menjadi Ketua Umum Golongan Karya, hingga menjadi Ketua DPR/MPR RI.
Dia menjadi salah satu Mentri kesayangan Presiden Harto sekaligus yang memimpin sidang turunnya Harto dari Presiden. Bukan apa-apa, di saat gerakan reformasi menuntut Harto mundur, Harmoko lah yang menjadi Ketua MPR. Tidak mungkin bagi Harmoko untuk melawan arus besar reformasi itu. Mau tidak mau, Harmoko “terpaksa” mengetuk palu sidang.
Begitulah, sedikit catatan anak SD tentang Harmoko. Jika ada pembaca yang merasa sama seperti yang saya tulis, itu artinya kalaupun tidak sepermainan, kita sepantaran.
Kemari (minggu, 4 Juli 2021), jubir terbaik itu telah pergi, untuk selama-lamanya. Selamat jalan Pak Harmoko, terimakasih untuk jasa baikmu untuk negri ini…[Alja Yusnadi]