Oleh: Bayu Krisnamurthi
Lebih dari lima puluh tahun lalu, pemimpin mereka mengajak rakyatnya untuk “mari membuat daratan gurun dan tanah kering ini bermekaran (lets make our dessert blooming)”. Dan mereka terus konsisten dengan tekad itu. Sekarang gurun mereka menjadi salah satu penghasil pertanian terbaik, dan teknologi mereka diundang untuk turut mengembangkan pertanian di beberapa negara Afrika, di India, dan di beberapa negara ASEAN: Thailand, Vietnam, dan Filipina. Mereka adalah Israel.
Teknologi Israel dimulai dengan mencoba mengatasi faktor paling penting sekaligus paling terbatas ketersediaannya dalam lingkungan mereka: air. Tanah ada, matahari banyak, tetapi air sangat sedikit dan sangat sulit diperoleh. Jadi pertanyaannya adalah bagaimana menyampaikan air itu setepat mungkin: dengan jumlah yang tepat, tidak lebih tidak kurang, pada waktu yang tepat, pada bagian tanaman yang tepat.
Untuk menjawab pertanyaan itu, dua hal yang menjadi fokus perhatian mereka: ‘perilaku’ tanaman dalam ‘menggunakan’ air dan bagaimana cara menghantarkan air secara presisi sesuai perilaku itu. Mereka melakukan pengamatan intensif bertahun-tahun sehingga akhirnya menemukan dan membuktikan bahwa tanaman sebenarnya dapat hidup subur dan produktif hanya dengan beberapa tetes air saja, tetapi harus dengan ketepatan presisi tinggi tadi.
Soal menghantarkan air secara presisi ternyata lebih sulit, dan membutuhkan waktu hampir 20 tahun untuk mengembangkannya. Sebagai ilustrasi, jika kita menggunakan selang plastik (yang biasa dipakai di halaman rumah untuk siram-siram tanaman atau mencuci), lalu satu ujung kita masukkan ke keran air, maka kita akan dapat aliran air di ujung satunya. Kita bisa mengatur besar kecilnya aliran air dengan mengatur besar kecil bukaan keran.
Itu dengan hanya satu lobang tempat keluarnya air. Bagaimana jika kita menginginkan ada 10 lobang tempat keluar air untuk menyiram 10 tanaman? Bagaimana mengatur agar jumlah air yang keluar dari setiap lobang sama volume dan kecepatannya? Jika selang itu panjangnya lima meter masih mudah mengaturnya. Bagaimana jika 20 meter? Bagaimana jika 20 ribu meter?
Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan riset terus menerus sekitar 15 tahun lamanya. Lahirlah teknologi tetes atau dripping / drip irrigation yang revolusioner itu.
Dan riset pertanian yang terus menerus, berkesinambungan, konsisten dan persisten; kemudian melahirkan teknologi-teknologi lain yang menakjubkan, sehingga sekarang terdapat tujuh teknologi yang kadang disebut sebagai “seven wonders of agriculture technology” – tujuh keajaiban teknologi pertanian.
Pertama, dripping atau drip irrigation itu. Kedua, teknologi sensor lahan, yang dianalogikan seperti steteskop (alat bantu untuk mendengarkan detak jantung yang dipakai dokter dalam pemeriksaan pasien), yang memungkinkan untuk mengetahui bagaimana ‘perilaku’ dan perkembangan ‘kehidupan’ tanah: apakah kurang air, atau kebanyakan air; apakah kurang nitrogen atau kebanyakan nitrogen; apakah cacing-cacing tanahnya hidup dengan baik atau tidak, dan sebagainya.
Ketiga, daur ulang air. Bahkan sudah dengan teknologi irigasi tetes pun, masih dikembangkan kemampuan untuk mendaur ulang air yang ada. Sedemikian efisiennya sehingga air yang dapat digunakan kembali untuk tanaman mencapai 85%. Keempat dan kelima, biopestisida dan biofertilizer. Memanfaatkan jamur dan bahan-bahan organik lain, biopestisida dan biofertilizer itu bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga lebih efektif, lebih murah, dan lebih aman jika dilihat dari kepentingan food-safety.
Keenam dan ketujuh adalah kecerdasan buatan, yang berwujud realitas virtual (virtual reality) dan robotik. Simulasi pertanaman dan usahatani dapat dilakukan bahkan sebelum pertanaman sebenarnya dilakukan. Robotik digunakan antara lain dalam bentuk drone (robot terbang) dan robot pemetik buah. Semua dengan presisi tinggi dan efisiensi biaya yang mengagumkan.
Semua itu diperoleh dari – sekali lagi – riset yang konsisten dalam hitungan waktu beberapa dekade, terus hingga sekarang. Ada yang disebut ‘silicon wadi’ (wadi dalam Bahasa Arab dapat berarti lembah atau desa), yang didedikasikan untuk riset pertanian. Secara nasional dana risetnya mencapai 4,3% dari GDP (Indonesia hanya 0,3%), dan lebih dari 17% dari dana total pembangunan pertanian digunakan untuk riset (Indonesia diperkirakan kurang dari 1,5%). Dan dalam setiap tahap riset berikut pengembangannya selalu terlibat empat pihak: petani, industri / pengusaha, lembaga riset dan teknologi, serta pemerintah.
Saat ini perusahaan-perusahaan mereka (yang juga sebagian dimiliki oleh petani) berjaya dibanyak negara. Seperti misalnya Rivulis, spesialis teknologi pengelolaan air; Croptimal, pengembangan bibit dan pengelola tanaman; AgrIOT, pemupukan dan pengairan; atau Saffron Tech, monitoring dan sensori pertanaman. Dan menariknya, wilayah operasi perusahaan-perusahaan itu – atau setidaknya diwakili oleh teknologi mereka – dikabarkan telah memasuki wilayah yang secara politik sulit dibayangkan mau bekerjasama, seperti negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi.
Tujuh keajaiban teknologi pertanian telah memasuki halaman tetangga kita, yang notabene adalah juga pesaing kita. Apa pembelajaran yang dapat kita ambil? Dan lebih penting lagi, apa yang akan kita lakukan?
Catatan:
Tulisan ini merupakan catatan Bayu Krisnamurthi edisi 27 Juli 2021 yang di kirim ke group AAI.
Dr. Krisnamurthi adalah pengajar Agribisnis di IPB University. Ketua Asosiasi Agribisnis Indonesia (AAI). Selain akademisi, Bayu juga pernah menjadi Wakil Mentri Pertanian, Wakil Mentri Perdagangan. Sekarang, sebagai Penasehat Mentri Perdagangan.