Oleh: Alja Yusnadi
Dari sekian banyak pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang sering saya dengar namanya adalah Ishak Daud. Walaupun dia Panglima Wilayah Peureulak, namun namanya mashur sampai ke seluruh Nanggroe.
Nama Ishak Daud sering kali muncul di media masa. Sebagai Panglima Wilayah, Ishak Daud sering berbicara kepada media. Dia tidak hanya ahli di dalam taktik perang, namun juga jitu dalam propaganda.
Sebagai salah satu episentrum pergerakan GAM, wilayah kekuasaan Ishak Daud beberapa kali dilakukan operasi khusus oleh serdadu. Salah satunya, operasi di Alue Nireh yang menewaskan panglima berparas tampan ini.
Nama Ishak Daud kembali melambung ketika pasukan GAM menculik Ersa Siregar, Ferry Santoro (wartawan RCTI) bersama seorang sopir dan dua orang istri perwira TNI. Mereka dicurigai sebagai mata-mata.
Ishak Daud beberapa kali memberi keterangan kepada media terkait penyanderaan Wartawan tersebut.
Tapat hari ini, 16 tahun yang lalu, Ishak Daud meninggal dunia sekalian mengakhiri perjuangannya. Ishak Daud terperangkap dalam kepungan serdadu bersama Cut Rostina (istri) dan dua ajudannya.
Perjuangan panjang laki-laki kelahiran 12 Juni 1960 ini berakhr menjelang dimulainya perundingan GAM dengan Pemerintah. Tidak sampai setahun lagi, GAM yang dipimpinnya berunding dengan Pemerintah, tempatnya bukan di Alue Nireh, bukan di Banda Aceh, bukan pula di Jakarta. Letaknya jauh di Eropa, tepatnya di Helsinki, Finlandia.
Bisa jadi, kalau Ishak Daud masih ada, dia menjadi salah satu delegasi dari pihak GAM, paling tidak menjadi bagian dari rombongan GAM yang berangkat ke Helsinki.
Ishak Daud tidak sempat menikmati hasil dari perjuangan yang berdarah-darah itu. perjuangan panjang yang sampai mengantar dirinya untuk belajar ilmu militer di Libya. Dia sudah mengorbankan diri dan keluarganya untuk memperjuangkan Aceh Merdeka.
Sekarang, Aceh telah berdamai dengan Pemerintah. Perjuangan GAM melalui senjata dilanjutkan dengan perjuangan di parlemen. Mantan kombatan GAM bergabung dengan partai politik. Baik partai politik nasional maupun partai politik lokal. Ada juga yang menjadi pengusaha, tidak sedikit pula yang memilih jalan sunyi, jauh dari hiruk pikuk politik.
Kebanyakan, mantan kombatan itu bergabung bersama Partai Aceh (PA) dan Partai Nanggroe Aceh (PNA). Keduanya merupakan partai politik lokal.
Jangankan memimpin, Ishak Daud tidak sempat melihat politik Aceh pasca damai. Bagaimana kolega, pimpinan, pasukan, dan teman seperjuangannya telah mencapai posisi strategis, sama seperti posisi dirinya ketika konflik.
Bedanya, Ishak Daud berjuang untuk memerdekakan Aceh dengan segenap daya upaya, sampai mengorbankan nyawa, istri dan anak yang sedang dikandung oleh istrinya.
Ishak Daud memang tidak sempat menjadi ketua Partai Politik, tidak sempat menjadi Bupati, Gubernur, atau anggota dewan. Paling tidak, semangat perjuangan Ishak Daud harus diwarisi oleh politisi, terutama yang satu “Rahim” perjuangan dengan dirinya.
16 tahun sudah Ishak Daud pergi meninggalkan perjuangannya, meningalkan dunia ini, dan menitipkan perjuangan Aceh kepada penerusnya. Walaupun tujuannya tidak lagi memerdekakan Aceh, namun tak ada salahnya mengenang kata-kata yang dipolulerkan Ishak Daud.
“Sidroe Tanyoe Beuna Manfaat untuk Ureung Ramee.” Kata-kata tersebut harus diterjemahkan dalam kondisi Aceh kekinian. Bagaimana pejuang-pejuang yang hari ini berada di parlemen, eksekutif, pengusaha dapat bermanfaat untuk orang banyak.
Regulator harus melahirkan regulasi yang bermanfaat untuk orang banyak, eksekutor harus melaksanakan program yang bermanfaat untuk orang banyak. Bermanfaat untuk masyarakat Aceh. Setidaknya, Ishak Daud dan pejuang GAM yang sudah duluan berpulang, bisa tersenyum, dan dengan bangga pernah menjadi bagian dari gerakan perjuangan tersebut.