Oleh: Alja Yusnadi
Untuk megatur kehidupan berbangsa dan bernegara, Konstitusi memberi peran kepada DPR bersama Pemerintah untuk membuat Undang-undang. Misalnya, untuk mengatur mengenai hubungan A dengan B, dibuatlah aturan mainnya, undang-undangnya.
Secara bergantian, baik DPR maupun Pemerintah sama-sama memiliki hak untuk mengusul Rancangan Undang-undang (RUU). Baik melalui usul inisiatif DPR maupun prakarsa Pemerintah. Singkatnya, RUU itu bisa muncul dari ide legislatif maupun eksekutif.
Begitu juga dengan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja—yang semalam sudah disahkan menjadi Undang-undang Cipta Kerja.
RUU ini diprakarsai oleh Pemerintah, selanjutnya diproses oleh DPR untuk dibahas bersama Pemerintah.
Omnibus Law, itu penyebutan untuk RUU yang memiliki cakupan yang sangat luas dan akan merubah banyak Undang-undang yang sudah ada.
Pun Cipta Kerja itu. Sangat luas cakupannya. Terdiri dai 11 Cluster–salah satunya tenaga kerja–, 15 Bab, 186 pasal. Menabrak lebih dari 70 Undang-undang—seribu lebih pasal.
Ini adalah pekerjaan besar, harus melibatkan banyak ahli, termasuk kelompok yang diatur dalam Undang-undang itu, salah satunya tenaga kerja.
Sebagai pemakarsa, Pemerintah berhasil “menundukkan” DPR. Tidak banyak mendapat penolakan. Hingga akhirnya, Senin (5/10) mendapat kesepakatan.
Justru, Undang-undang ini ditolak berbagai kalangan di luar DPR: Tenaga kerja, akademisi, pengamat, dan seterusnya.
DPR, yakin betul dengan Undang-undang usulan pemerintah itu. Secara rinci, saya belum membacanya. Namun, tidak terlalu sulit untuk melihat kehendak Pemerintah.
Sekilas, Pemerintah ingin “memanjakan” dunia investasi. Pengurusan izin dimudahkan, relasi dengan tenaga kerja di longgarkan. Apa yang ingin dicapai? Menuju industrialisasi, persaingan global. Meningkatkan daya saing. Mungkin juga ingin memulihkan ekonomi yang berantakan selama Pandemi.
Bahayanya, kalau tidak bisa dikendalikan berdampak buruk terhadap tenaga kerja dan pengusaha lokal.
Undang-undang ini juga mengubah banyak undang-undang lain, tujuannya: menyederhanakan birokrasi.
Kalau untuk mempermudah akses Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tentu kita patut apresiasi. Bagaimana jika karpet merah justru dibentangkan untuk investor asing? Ini yang jadi masalah.
DPR telah mengetok palu. Itu artinya Undang-undang ini sudah disahkan, walaupun untuk pelaksanaan harus menunggu penyesuaian.
Di luar senayan tenaga kerja akan menolak. Demo. Mogok kerja.
Setelah menundukkan DPR, tugas besar Pemerintah berikutnya adalah meyakinkan tenaga kerja dan para penolak. Bahwa Undang-undang ini bukan untuk memangkas hak-hak tenaga kerja. Membuktikan kepada masyarakat, Omnibus Law ini bukan untuk investasi asing, bukan untuk memangkas hak-hak buruh, bukan untuk menggadai…[Alja Yusnadi]