Oleh: Alja Yusnadi
Januari 2021 sudah memasuki 10 hari terakhir. Sudah selama itu pula saya tidak menulis di Aljayusnadi.com. Ada saja alasannya. Minggu pertama saya pulang ke Sidempuan, kampung kelahiran mertua saya. Lanjut ke Tekengon, dan Tapaktuan.
Di Takengon, saya mengikuti pelatihan kurikulum kampus merdeka. Programnya Mas Menteri Pendidikan itu. Harapannya, baik mahasiswa maupun dosen sama-sama merdeka.
Mahasiswa merdeka memilih kuliah 3 semester di luar prodi, dosen pun merdeka memilih metode mengajar.
Di samping itu, housting web juga habis masa, belum dibayar, jadi tidak bisa akses.
Tapi itu persoalan teknis, intinya, saya tidak menulis.
Di tahun 2020, beriringan dengan merebaknya virus Korona, saya mencoba kebiasaan baru: Menulis. Tentu dengan kemampuan seadanya.
Saya menulis mengalir saja, tidak terlalu memperhatikan kualitas. Tidak begitu mengikuti kaidah penulisan. Di pertengahan tahun, saya mengikuti pelatihan menulis online, yang diasuh oleh Iqbal Aji Daryono. Saya tidak mengenal IAD. Rupanya, dia penulis tetap di detik.com dan di mojok.co. Dan sudah menulis beberapa buku.
Hasilnya, kemampuan saya kembali diasah. Saya mulai menulis untuk beberapa media online: The Geotimes, Qureta, Kumparan, Aceh Trend, Analisa Aceh, dan mengasuh kolom tetap AY Corner di Anteroaceh.
Akibat yang lebih panjang, lahirlah Aljayusnadi.com ini. Untuk menampung tulisan-tulisan ringan saya. Itupun tidak lepas dari jasa baik Riza Asmadi, pemilik Analisa Aceh itu.
Seturut dengan itu saya juga kembali membaca. Membaca buku-buku lama, dan mengoleksi buku-buku baru. Apa saja, mulai dari buku kumpulan tulisan Mahbub Djunaidi, Iqbal, tema politik, Novel, sampai Bahasa.
Setidaknya, saya melewati tahun 2020 dengan menulis dan membaca sesuatu yang sudah jarang saya lakukan lima tahun terakhir.
Tahun ini, selain melanjutkan kebiasaan membaca dan menulis, saya memiliki tantangan baru: mengajar.
Memang, sejak dua tahun lalu, saya diminta mengajar di Prodi Agribisnis UGP. Kepala program studi meminta saya untuk mengajar, untuk membantu akreditasi.
Saya tidak benar-benar asing dengan dunia mengajar. Pada tahun 2012, saya juga pernah mengajar, di SMK. Ini juga masih membantu, karena saya tidak memiliki sertifikat mengajar atau akta IV.
Tipis-tipis, sepertinya saya menyukai dunia belajar-mengajar itu. Tantangannya hanya satu: Meningkatkan kapasitas diri.
Di UGP, Kaprodi saya perempuan. Begitu enerjik. Cekatan. Dia yang mendorong saya dan kawan-kawan di prodi itu untuk segera mempersiapkan diri. Entah itu untuk mengurus administrasi yang njelimet itu dan juga melanjutkan pendidikan.
Dunia akademis selaras dengan tata kelola pemerintahan. Saya membayangkan, jika Kepala Daerah—juga politisi– dapat bersinergi dengan akademisi sangat baik untuk kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Apalagi Politisi itu juga bagian dari akademisi, memiliki riwayat publikasi ilmiah. Besar kemungkinan kebijakan yang dibuat berdasarkan penelitian. Ini tentu sangat baik untuk daerah, untuk politisi dan juga untuk kampus.
Akademisi diwajibkan untuk melakukan pendidikan, penelitian, pengabdian. Melalui pendidikan, seorang akademisi mengajar. Membagikan ilmunya kepada mahasiswa. Membimbing mahasiswa, dan ada kebutuhan untuk membaca.
Seorang akademisi juga dituntut untuk memiliki ide dan kreativitas yang selanjutnya dihadirkan ke tengah masyarakat. Di situlah dia mengabdi.
Hal yang paling besar angka kreditnya justru ada pada penelitian. Mulai dari yang dipublikasi di jurnal biasa, sampai yang terindeks scopus. Angka kreditnya juga beda-beda.
Kemudian, akademisi juga dituntut untuk mengikuti berbagai kursus yang berkaitan dengan konsentrasi yang digelutinya.
Itu semua menjadi makanan sehari-hari, menjadi passion akademisi. Melalui jalur itulah seorang akedemisi merintis karir profesionalnya, mulai dari Asisten Ahli hingga menjadi Profesor.
Bayangkan, jika insan akademis ini yang menjadi wakil rakyat, menjadi Kepala Daerah, dan seterusnya. Walaupun, itu tidak menjadi jaminan. Paling tidak memiliki modal pengetahuan. Tinggal mengembangkan saja.
Untuk yang kedua (melanjutkan pendidikan) itu, awalnya saya senyum saja. Kian lama, semangatnya kian menggebu. Saya menangkap sinyal keseriusan.
Saya mulai tertantang. Upsss. Ada masalah, Bahasa Inggris saya jeblok. Untuk mendaftar sebagai mahasiswa doktoral di kampus dalam negeri setidaknya diperlukan 500 nilai TOEFL ITP dan 500 skor TPA.
Tidak masalah. Saya mencoba ikut kursus, hasilnya pun bisa ditebak. Mulai dari pre test, sampai post test skor prediksi saya hancur. Berkeping. Lebih buruk dari hasil beberapa tahun lalu.
Nampaknya, salah satu yang harus saya perbaiki di tahun 2021 ini adalah belajar Bahasa Inggris.
Saya harus menebus kelalaian belasan tahun silam. Saya harus memulai dari yang paling dasar: Basic Grammar. Saya memulai dari Part of Speech. Saya menyasar berbagai kursus daring dan luring.
Rupanya, Bahasa Inggris—TOEFL–bukan hanya menjadi kendala bagi saya. Beberapa kawan juga mengalami hal yang sama.
Jika 2020 saya bisa melewati kursus menulis dengan baik, begitu juga hendaknya di tahun 2021, saya dapat menguasai Bahasa itu, dapat cas cis cus, dapat memperbaiki skor TOEFL. Dapat sekolah doktoral.