Oleh: Alja Yusnadi
Salah satu yang membuat Ganjar yang Gubernur itu disorot adalah karena aktivitasnya di media sosial. Ganjar, menjadi salah satu politisi—cum pejabat—yang memanfaatkan media sosial untuk “menjual” dirinya, melaporkan kegiatannya, menyapa rakyatnya.
Banyak politisi yang mulai menyesuaikan kerja-kerja politiknya dengan kemajuan teknologi, lebih tepatnya, bagaimana mengkapitalisir teknologi untuk mendukung kerja politiknya. Media sosial menjadi corong untuk menyampaikan kegiatan-kegiatannya.
Yang lebih maju, para politisi itu bukan hanya memanfaatkan media sosial untuk dirinya, tapi, lebih jauh untuk orang-orang di sekelilingnya, untuk masyarakat yang lebih luas.
Dari beberapa politisi itu, salah satunya ya Ganjar tadi. Di istagram, selain memposting kegiatannya, Ganjar juga mempromosikan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), melalui tagar: Lapak Ganjar.
Melalui tagar Lapak Ganjar itu, siapa saja pelaku UMKM yang ada di Jawa Tengah dan kawasan sekitar, boleh memposting hasil produksinya di Lapak Ganjar. Dan, siapa saja yang berteman dengan IG Ganjar dapat melihat berbagai hasil usaha itu. Saya, beberapa kali melihat dan cukup menarik perhatian.
Di Aceh, politisi yang seperti Ganjar itu diperankan dengan baik oleh Darwati A. Gani, anggota DPR Aceh. Seperti Ganjar, Kakti—panggilan Darwati—melalui IG nya juga membantu promosi UMKM di Aceh, mulai dari produk kecantikan, kuliner, sampai hasil pertanian.
Apa yang ingin dicapai oleh para politisi itu? Inilah bentuk transformasi. Sederhana saja, tidak menambah beban biaya. Di tengah lonjakan pengguna media sosial, para politisi harus mampu beradaptasi, kalau tidak, ya, ditelan arus globalisasi informasi.
Kita juga memiliki lonjakan angka demografi, yang para milenialis itu sangat dekat dengan teknologi, walaupun kebanyakan menjadi korban. Saya bilang korban, karena tekonologi belum mampu dijadikan ladang produktif. Jika pun ada, angkanya masih sedikit.
Kerja politik pelan-pelan terus menyesuaikan bentuknya. Bisa saja, dalam beberapa pemilu ke depan, para kontestan diberikan ruang untuk melaksanakan karing—kampanye daring—atau webisos—sosialisasi melalui web—dan sejenisnya.
Sekolah saja, yang merupakan sektor paling penting, sudah dilaksanakan dalam jaringan (daring), apalagi sekedar kampanye, apalagi sekedar menyapa calon pemilih.
Hal yang paling penting berikutnya, jangan sampai kerja-kerja di dalam jaringan tersebut mengenyampingkan kerja-kerja di luar jaringan. Jangan sampai, Ganjar yang Gubernur itu, misalnya, karena Lapak Ganjarnya mengenyampingkan peran kegubernurannya. Sebutlah contohnya penguatan UMKM itu, harus diterjemahkan di dalam kerangka kebijakan.
Jika kita ibaratkan dalam sebuah sistem usaha agribisnis, skema yang di lapak itu untuk membantu subsistem agromarketing. Sementara itu, masih ada subsistem lain yang harus diperkuat, agar menjadi sistem yang utuh. Harus ada kebijakan agro inputnya, agroproduksinya, dan agroindustrinya. Kalau sudah begitu, barulah akan mempengaruhi indikator keberhasilan pembangunan.
Begitu juga dengan Kakti. Sebagai anggota DPR Aceh, dia bisa menggunakan fungsi anggaran untuk memperkuat sektor UMKM di Aceh. Apalagi, Kakti naik dari dapil satu yang terdiri dari Kota Banda Aceh, Kota Sabang, dan Kabupaten Aceh Besar.
Banda Aceh dan Sabang sangat potensial untuk dikembangkan usaha-usaha mikro itu. Sebagai destinasi wisata, kedua daerah itu memiliki pengunjung yang lumayan ramai jika dibandingkan dengan daerah lain di Aceh. Baik itu pengunjung dari dalam maupun luar negri. Aceh Besar bisa dijadikan sebagai penunjang, salah satunya pemasok bahan baku dan tenaga kerja.
Ini penting untuk saya katakan. Apalagi, jika nantinya, Kakti berencana menjadi Walikota atau Wakil Gubernur. Sektor ini harus di masukkan ke dalam visi-misi. Apalagi, Kakti sudah memulainya. Memulai dari Lapak Kakti, lapaknya politisi…[Alja Yusnadi]