Oleh: Alja Yusnadi
Apakah Anda memiliki pengalaman menghadapi pemeriksaan petugas pendeteksi Korona? Misalnya diukur suhu badan, disuruh pakai masker, dan semacamnya? Kalau Anda pada saat itu merasa terganggu, tidak enak, bahkan marah, saya sarankan hentikan segera.
Ubahlah cara pandang Anda itu. Saya pernah mengalamainya, satu kali di perbatasan Bireun-Bener Meriah, satu kali di perbatasan Aceh Besar-Aceh Jaya, satu kali di perbatasan Aceh Selatan-Abdya.
Kelihatannya sepele, cuma diukur suhu badan, ditanya nama, alamat. Tapi dampaknya bisa besar jika yang ditanya itu sudah terjankit Korona.
Hal itulah setidaknya yang dialami tim tracking Korona Aceh Selatan. Saya tidak membahas detail kejadian. Paling tidak, kasus itu sudah menyebabkan beberapa tim gugus tugas Covid-19 positif Korona, satu diantaranya adalah juru bicara.
Apakah cukup di situ? Tidak saudara-saudara. Tim yang kebanyakan petugas Dinas Kesehatan tersebut memiliki kolega dan keluarga.
Akibatnya, beberapa Puskesmas dan fasilitas rawat jalan di RSUD dr. Yuliddin Away, Tapaktuan, Aceh Selatan tutup untuk sementara, karena kepala dan petugasnya sudah berinteraksi dengan petugas Dinas Kesehatan.
Bukan hanya di Aceh Selatan, hal serupa juga terjadi di RSUD Teungku Peukan, Abdya. Bupati Akmal Ibrahim sudah mengeluarkan maklumat untuk menutup sementara pelayanan di rumah sakit tersebut.
Sebelumnya sudah duluan terjadi di Aceh Tamiang dan Aceh Tengah. Sebabnya sama: tenaga kesehatan (nakes) sudah tertular virus Korona.
***
Apa yang terjadi di Aceh Selatan, Abdya, Tamiang, Aceh Tengah ini adalah contoh kecil dari buruknya proteksi petugas kesehatan. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh status Aceh yang masih hijau.
Aceh sempat berada pada urutan bawah penyebaran Korona. Pemerintah Aceh bahkan mendapat apresiasi dari Pemerintah Pusat dalam hal penanganan Pandemi ini.
Status itu tidak bertahan lama, akhir Juli, kasus-kasus positif terus bermunculan. Dari beberapa kasus itu, yang sangat menyayat hati saya adalah menimpa tenaga kesehatan.
Lihat saja apa yang terjadi di RSUD dr. Zainoel Abidin sebagai pusat rujukan pasien Korona di Aceh. Sebanyak 29 orang tenaga kesehatan dinyatakan positif.
Hal itu juga terjadi di beberapa Kabupaten/Kota yang lain. Kenyataan tersebut mengisyaratkan betapa lemah sistem proteksi tenaga kesehatan kita.
Kalau kita ulik, mungkin kejadian serupa juga terjadi di daerah lain, yang mengakibatkan lumpuhnya pelayanan kesehatan.
Sudah saatnya, organisasi kedokteran duduk berembuk merumuskan apa dan bagaimana seharusnya kebijakan pemerintah dalam menangani Korona ini, terutama proteksi bagi tenaga kesehatan.
Hasilnya nanti disampaikan kepada pemerintah secara berjenjang, sesuai tingkatan. Bisa jadi, sumbang saran dari organisasi kedokteran dapat memberi dampak positif bagi penanggulangan Korona di Indonesia.
Bukan apa-apa, saya melihat peran tenaga kesehatan di masa pandemi ini sama dengan peran militer di masa perang.
Kalau terjadi kelangkaan militer, pemerintah dapat membuka layanan wajib militer atau pendidikan militer singkat. Untuk ukuran normal saja, hanya butuh enam bulan untuk mendidik seorang bintara atau tantama.
Dalam keadaan darurat, mungkin cukup belajar mengoperasikan senjata dan beberapa teknik dasar.
Lalu, bagaimana kalau terjadi kelangkaan tenaga kesehatan? Normalnya, untuk mendidik seorang perawat dan bidan butuh waktu tiga tahun. Untuk mendidik seorang dokter umum butuh 4 tahun untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran, ditambah 2 tahun untuk memperoleh gelar dokter, total sekitar 6 tahun.
Kalau untuk dokter spesialis? Ditambah sekitar 5 tahun lagi, atau sekitar 11 tahun.
Saya bukan sedang membandingkan atau membahas jarak waktu pendidikan militer dan tenaga medis. Yang ingin saya sampaikan dengan data itu adalah, jika situasi lemahnya proteksi kepada tenaga kesehatan ini berlangsung lama dan tanpa perbaikan, saya takutkan kita akan kekuranag stok tenaga kesehatan.
Kalau sudah demikian, imbasnya adalah kita semua, masyarakat. Terutama masyarakat ekonomi lemah yang tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan di luar daerah atau luar negeri.
Coba Anda bayangkan, jika semua kabupaten/kota menutup pelayanan Puskesmas, RSUD, kemana masyarakat akan berobat? Saya kira tabib-tabib pun akan kewalahan dan terancam menutup praktek.
Sependek pengetahuan saya, RSUD dan Puskesmas tidak memiliki banyak stok tenaga kesehatan, terutama dokter. Katakanlah, satu RSUD memiliki 40 orang dokter, mulai dokter spesialis, dokter umum sampai dokter yang menduduki jabatan struktural.
Jika semuanya positif Korona, siapa yang akan melayani pasien berobat ke RSUD? Kan tidak mungkin tabib, kita yang bukan dokter atau kepala daerah yang menggantikannya.
Puskesmas lebih parah lagi, satu Puskemas memiliki tidak lebih dari 4 empat dokter (dokter umum tambah dokter gigi), bahkan ada Puskesmas hanya memiliki 1 orang dokter.
Kepala daerah dapat memutasi pejabat struktural satu hari tiga kali, tapi tidak demikian dengan jabatan fungsional seperti tenaga kesehatan.
Oleh karena itu, walau sudah telat, kepala daerah bersama dengan organisasi profesi harus duduk bersama membahas nasib tenaga kesehatan ini.
Jangan sampai, kedepan terjadi penyebaran Korona yang bersumber dari tenaga kesehatan, atau Bahasa lainnya: Kluster Nakes…[]