Oleh: Alja Yusnadi
Saya mengenalnya sekitar dua tahun lalu, kalau tidak salah ingat. Pada saat itu, Novi Rosmita merupakan Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan.
Dia menjelaskan beberapa hal pokok yang saya tanyakan mengenai Ambulance Centre, salah satu program Azam yang letaknya di Dinas Kesehatan. Saya belum pernah melihat Novi dalam rapat-rapat sebelumnya.
Untuk seterusnya, saya melihat Novi sering diajak ikut rapat oleh atasannya, selain sebagai sekretaris, saya yakin kehadiran Novi juga untuk ikut memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyan yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan.
Seingat saya, Novi memang piawai dalam menjawab pertanyaan. Tidak bertele, langsung kepada pokok soal. Hanya saja, sedikit tergesa-gesa dan tidak sabaran. Hal seperti ini hanya soal jam terbang saja.
Beberapa kali, Novi terlibat adu argumen dengan saya. Beberapakali dia menyela pembicaraan saya, dan beberapa kali pula saya pangkas interupsiya. Dalam hati saya berguman,”mantap juga ini orang.”
Ibarat pesawat, Novi pada saat itu co- pilot baru di Dinas Kesehatan. Dengan semangat dan pengetahuan yang dia miliki, siap untuk menerbangkan pesawat dengan rute terbaik. Begitu kira-kira saya menyimpulkan.
Dugaan saya benar. Dua tahun kemudian, Novi ditunjuk menjadi Plt. Kepala Dinas Kesehatan. Bisa saja jabatan itu dipersiapkan untuk Novi, namun terkendala administrasi, mungkin pula bukan.
Jelasnya, 2 Januari 2020, Bupati Aceh Selatan menunjuk Novi menjadi Plt. Kepala Dinas Kesehatan.
Tiga bulan setelah mengemban jabatan itu, Novi dihadapkan pada tugas yang sangat berat: Penanggulangan penyebaran Korona di Aceh Selatan.
Walau hanya sebagai Plt. Kepala Dinas, kerja-kerja Novi berhubungan erat dengan pembawa virus yang sangat membahayakan itu.
Akhirnya, kemarin, Senin (10/8) siang, saya mendapat kabar, bahwa Novi dinyatakan positif Korona.
Sepertinya, Novi menular melalui tenaga kesehatan (tim tracking) yang sudah duluan terjangkit. Dia memang sering turun ke lapangan untuk berinteraksi dengan tenaga kesehatan, termasuk tim tracking.
Paginya, saya berkomunikasi dengan Novi. Saya menyarankan, agar dia memberikan masukan kepada pimpinan, setelah meminta pendapat dari asosiasi dokter, asosiasi perawat, asosiasi bidan, dan pihak terkait.
Minta pendapat mereka bagaimana skema untuk memproteksi tenaga kesehatan di Aceh Selatan, terus sampaikan kepada pimpinan, lalu menjadi kebijakan.
Novi menanggapi baik saran saya, dan menyatakan sedang mengupayakan agar RSUD YA memiliki alat PCR sendiri, karena Aceh Selatan sudah termasuk transmisi lokal.
Prediksi saya, di saat kami berkomunikasi melalui WA, Novi sudah positif. Sedikitpun tidak ada nada pesimis, mengeluh, minimal mengucapkan, “untuk sementara saya konsentrasi mengurus diri dulu.”
Novi masih seperti sediakala. Selalu merespon setiap ada pertanyaan atau masukan dari saya.
Setelah tahu positif, sorenya saya kembali menghubunginya melalui WA. Saya memberikan dukungan moril.
Dia mengatakan, 10 hari setelah di swab, dirinya tidak menunjukkan gejala apapun, sampai kemarin hasil swabnya keluar. Novi masih biasa saja.
Dari balik tirai isolasi, Novi tetap menghimbau saya dan masyarakat untuk menjaga protokol kesehatan.
Berkenaan dengan terjangkitnya Novi dan sejumlah tenaga kesehatan sudah saya ulas pada tulisan sebelumnya (baca: Klaster Nakes).
Novi adalah satu dari sedikit perempuan yang menjadi pejabat publik di Aceh Selatan, apalagi untuk katagori instansi penting seperti Dinas Kesehatan. Dia memiliki potensi untuk defenitif, hanya menunggu waktu saja. Usianya juga masih muda, karirnya masih lama.
Mengakhiri tulisan ini, saya mengharapkan Novi untuk sementara waktu fokus kepada diri dan keluarga. Sembari isolasi, konsumsi makanan yang bergizi, jaga imun, sampai hasil swab berikutnya negatif.
Setelah itu, berjibaku kembali, menangani penyebaran Korona, dengan semangat baru, gagasan baru, protokol baru…[]
(Foto: Liputanrakyat)