Oleh: Alja Yusnadi
Runner Up itu juara dua atau pemenang kedua. Biasa digunakan dalam Bahasa olahraga. Kali ini, Aceh meraih runner up, tapi bukan dalam bidang olahraga, semisal sepakbola, bola voli, Badminton.
Bukan, bukan itu. Aceh meraih runner up dari sisi penambahan kasus positif Korona. “Prestasi” itu diraih pada hari Senin (10/8).
Berdasarkan data yang dirilis Covid19.go.id, seluruh Indonesia terjadi penambahan angka positif sebanyak 1.687 orang, totalnya mencapai 127.083 orang positif.
Penambahan 1.687 kasus itu yang paling banyak terjadi di DKI Jakarta: 435 kasus, Jawa Timur: 296 kasus, Sumatera Utara: 129 kasus, Aceh: 96 kasus, dan Sulawesi Selatan: 77 kasus.
Kita dapat menerjemahkan bermacam kalimat dari sebuah data. Dalam hal ini, salah satu kalimat yang dapat kita baca adalah: Aceh menjadi provinsi keempat terbanyak penemuan kasus positif dari 34 Provinsi. Aceh peringkat kedua se sumatera. Aceh satu-satunya provinsi yang non-kota besar masuk lima besar, dan seterusnya.
Justru, jika dilihat dari persentase kasus positif yang sudah ada, penambahan di Aceh merupakan angka tertinggi, hampir 15 persen. Sementara DKI Jakarta sebagai Provinsi teratas kasus positif penambahannya tidak sampai 2 persen.
Segala kemungkinan bisa terjadi terhadap data tersebut. Bisa saja, penambahan 15 persen merupakan puncak dari penyebaran. Atau sebaliknya, menjadi penanda bahwa kondisi Aceh sedang tidak baik-baik saja.
Secara keseluruhan, Aceh untuk sementara berada di urutan ke 12 penemuan kasus positif.
Jika kita melihat penyebaran di Kabupaten/Kota di Aceh, saya cenderung pada asumsi yang kedua: Aceh sedang tidak baik-baik saja.
Kejadian penutupan beberapa fasilitas kesehatan adalah tanda. Transmisi lokal sedang terjadi. Transmisi lokal sangat berbahaya, ditambahlagi karena belakangan sudah ada yang positif tanpa gejala.
Membiarkan tanpa kebijakan samasekali bukan langkah bijak dari pemerintah daerah. Pemerintah provinsi sudah melakukan pergeseran anggaran lebih dari 2 triliun, ditambah lagi dengan anggaran Kabupaten/Kota.
Pertanyaannya, kenapa semangat refocusing itu tidak dapat menekan angka penyebaran? Entah ada hubungan atau tidak, penambahan kasus positif justru setelah refocusing anggaran dilakukan.
Asumsi yang mendekati kebenaran itu adalah: Kebijakan refocusing tidak berkorelasi dengan penekanan angka penyebaran.
Saya belum mengetahui sebaran anggaran refocusing itu. Apakah semuanya berhubungan langsung dengan menekan penyebaran Korona, atau sebagaian besar justru menghubung-hubungkan, dicari kebersinggungan saja.
Bisa saja semangat refocusing jalan ke Barat, Korona jalan ke Timur. Kalau begitu, kapan ketemunya?
Kalau kita lihat banyaknya tenaga kesehatan yang terjangkit, bisa jadi kebijakan untuk memproteksi mereka juga tidak signifikan. Kebijakan yang diikuti dengan konsekwensi anggran. Apakah membeli Alat Pelindung Diri (APD) standar, memberikan makanan/minuman tertentu, atau semacamnya.
Beberapa hari yang lalu, laboratorium Litbangkes yang digunakan untuk uji swab juga sudah tutup, karena kehabisan barang habis pakai. Sehingga sample dikirim ke Jakarta.
Padahal, di Aceh masih memiliki laboratorium satu lagi, milik Fakultas Kedokteran Unsyiah. Selama ini yang uji mandiri alias bayar sendiri yang melakukan uji di sini.
Saya juga tidak tahu, kenapa Pemerintah Aceh tidak melakukan kerjasama dengan Unsyiah. Padahal sebagai Perguruan Tinggi, ini kesempatan untuk mengabdi kepada masyarakat.
Saya bukan ahli kebijakan publik, bukan virulogi atau mikrobiologi, saya bukan ahli apa-apa. saya hanya menulis apa yang saya potret.
Harapan saya sama seperti harapan masyarakat kebanyakan, penyebaran Korona ini dapat ditekan. Penekan itu selayaknya dipimpin oleh pemerintah, diikuti oleh masyarakat.
Jangan sampai Aceh masuk papan tengah, apalagi papan atas penyebaran. Cukup sekali saja jadi runner up, tidak pula perlu kampium. Makanya perlu kita ingatkan pemerintah: sang pemberi perintah.
Lalu, kalau bukan pemerintah, siapa lagi? Kan tidak mungkin kita serahkan kepada rumput yang bergoyang…[]