Oleh: Alja Yusnadi
Korona tidak menyebabkan pesta demokrasi di Amerika Serikat tersendat. Presiden Trump hampir habis masa jabatan. Harus ada pemilihan untuk menggantikan atau melanjutkan.
Dua orang calon presiden siap berkompetisi: Donal Trump dan Joe Biden.
Trump dari Partai Republik dan Biden dari Partai Demokrat. Dua-duanya sudah memasuki usia lanjut, diatas 70 tahun. Biden lebih tua sedikit.
Pilpres akan digelar awal November mendatang. Sekarang masing-masing kandidat lagi merebut simpati masyarakat. Terutama suara negara bagian yang masih abu-abu.
Hanya ada dua partai kuat di negeri paman sam itu: Republik dan Demokrat. Keduanya memiliki perbedaan yang mencolok. Republik lebih konservatif, Demokrat lebih liberal.
Di sana, platform partai benar-benar nyata. Rakyat memilih berdasarkan idiologi—setidaknya program– yang diperjuangkan partai.
Salah satunya perkara Migran atau penduduk luar Amerika. Trump memperketat kedatangan imigran, terutama dari negara Islam. Biden sebaliknya, membuka jalan bagi imigran gelap untuk mendapatkan kewarganegaraan.
Beda dengan Indonesia. Multi Partai, tapi di saat pilpres, partai yang banyak itu menyatu dalam koalisi yang bukan berdasarkan idiologi. Akhirnya menghasilkan dua kekuatan politik juga.
Hanya saja, bukan dalam bentuk partai politik. Sering disebut koalisi, isinya beberapa partai politik. Akibatnya, berkompetisi saat Pilleg , bisa mesra saat Pilpres.
Mungkin juga, Indonesia lagi menuju ke arah sana. Perihal 20 persen ambang batas pencalonan presiden dan 5 persen ambang batas parlemen.
Kembali ke Trump dan Biden, keduanya masih saling serang. Trump, yang awalnya menyerang China—entah untuk merebut simpati atau benar adanya—sekarang sudah melunak. Giliran Biden menyerang Trump, menurut Wapres Obama ini, Trump sudah tunduk di bawah kaki China.
Persaingan semakin ketat, keduanya terpaut tipis. Bukan hanya isu atau program kerja yang saling serang, tapi juga kebijakan teknis.
Salah satunya ketentuan pemilih. Awalnya hanya dibatasi umur, 18 tahun. Belakangan ditambah lagi harus memiliki kartu identitas, semisal SIM. Alasannya untuk mengetahui identitas si pemilih, menghindari suara gelap.
Kubu Biden menganggap ini akal-akalan kubu Trump untuk membatasi pemilih Biden dari kalangan masyarakat bawah yang tidak memiliki SIM—karena biaya pembuatan mahal.
Sistem penentuan pemenang di pilpres Amerika bukan berdasarkan perolehan suara kumulatif. Contohnya Hillary Clinton, perolehan suara keseluruhan lebih unggul dari Trump, tapi Trump menang electoral college.
Electoral College (EC), semacam lembaga pemilihan presiden yang anggotanya merupakan pengurus partai politik di negara bagian atau orang yang memiliki afiliasi politik dengan capres.
Jadi, masyarakat, selain memilih presiden juga memilih anggota EC. Suara Anggota EC inilah yang kemudian menentukan siapa yang akan menjadi Presiden.
Amerika memiliki 538 EC yang tersebar di 50 negara bagian plus Washington DC. Penyebarannya tergantung jumlah anggota DPR, jumlah anggota DPR tergantung jumlah penduduk.
Semakin banyak jumlah penduduk negara bagian, semakin banyak pula jumlah anggota DPR dan EC. California merupakan negara bagian yang paling banyak, 55 orang EC. Alaska, Wyoming, Nort Dakota, merupakan negara bagian yang paling sedikit, minimal 3 orang.
Kalau kita lihat, sistem EC ini merupakan sikap tengah. Tidak mengembalikan sepenuhnya kepada rakyat, juga tidak menyerahkan sepenuhnya kepada DPR atau Senat.
Capres yang mendapatkan dukungan minimal 270 EC yang akan memenangkan pertarungan.
Hillary dan Al Gore adalah contoh calon presiden yang menang secara nasional, tapi kalah secara EC. Dua-duanya dari Partai Demokrat, dan dua-duanya pula dikalahkan oleh capres Republik.
Al Gore mengalahkan Gergoe W Bush secara akumulasi suara nasional pada pilpres 2000, dan Hillary mengalahkan Trump pada pilpres 2016. Selisihnya tidak tanggung-tanggung, Al Gore menang 500 ribu suara, Hillary menang hampir 3 juta suara.
Baik Biden maupun Trump harus memastikan mayoritas EC memilih mereka. Untuk 48 negara bagian—kecuali Maine dan Nebraska—capres yang mendapat suara mayoritas dari EC akan memiliki keseluruhan suara EC.
Misalnya saja California. Jika Biden berhasil mendapatkan 28 suara EC, maka dalam waktu bersamaan Biden akan mendapatkan 55 suara EC California.
Menggarap ke 50 negara bagian tentu bukan strategi jitu, menghabiskan energi. Paling tidak—menurut saya yang bukan ahli politik Amerika—yang bisa mengamankan negara basis, memenangkan negara bagian yang paling banyak anggota EC dan memenangkan dua negara bagian yang membagikan anggota EC secara proporsional, itulah yang akan menjadi Presiden Ameika Serikat berikutnya. Entah Biden, Entah juga Trump, kalau Anda punya hak pilih, melanjutkan kepemimpinan Trump atau mau merasakan sentuhan Biden?
Siapapun pemenangnya, kali ini Amerika akan memiliki Presiden yang berusia lanjut, Biden dan Trump: Bidtrump…[Alja Yusnadi]