Oleh: Alja Yusnadi
Pahlawan itu bisa datang dari mana saja, dari lubang kecil sekalipun. Pahlawan itu soal perjuangan. Pahlawan itu yang gagah berani. Pahlawan itu yang mau berkorban.
Setiap masa pasti menyisakan kisah-kisah heroik, menyediakan ruang untuk pahlawan. Pahlawan lahir bukan hanya di medan perang. Di mana saja selalu memberikan ruang bagi kita untuk memilih: menjadi pahlawan atau pecundang.
Pahlawan itu pilihan. Dan, jalan itulah yang dipilih Rangga, anak-laki-laki berusia 9 tahun.
Rangga bukan pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan negara. Tetapi, Rangga adalah pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan keluarganya, memebebaskan Ibunya dari seorang predator seks.
Tubuh mungil itu harus takluk dibawah tajamnya samurai. Dihujam berpuluh kali, hampir disetiap bagian tubuhnya.
Rangga, berduel dengan seorang laki-laki bejat yang mencoba memperkosa ibunya.
Ini bukan duel seimbang. Rangga melawan dengan tangan kosong. Manusia biadab—lawannya itu—menggunakan samurai.
Entah apa yang ada dibenak residivis itu. Tega menghujam samurai ke tubuh Rangga untuk memuaskan nafsu binatangnya. Barangkali, binatangpun tidak sekeji Samsul.
Samsul adalah residivis, keluar penjara lebih cepat karena Korona—kebijakan Kemenkumham.
Harusnya, tahanan yang memiliki rekam jejak seperti Samsul tidak usah diberikan keringanan. Bebasnya membuat orang musibah.
Saya tidak mengenal Rangga, tidak pernah berjumpa. Keberanian dan kegigihannya mendorong saya untuk menulis tentang Rangga, di ruang aljayusnadi.com ini.
Ini bukan soal menang-kalah. Bagi Rangga—setidaknya menurut saya—ini adalah soal sikap. Soal keberpihakan. Yang kalau kita diposisi itu, belum tentu mengambil sikap seberani Rangga, melawan.
Kisah itu mirip dengan seekor semut memadamkan api. Hitungan logisnya, tidak mungkin air yang diangkut semut itu mampu memadamkan kobaran api yang menggunung. Bagi semut, ini bukan soal padam atau tidak. Jauh lebih penting dari itu: sikap.
Rangga telah bersikap dan sedang mengajarkan kita soal itu. Rangga telah mengorbankan nyawanya untuk menjaga kehormatan keluarganya.
Jalan sunyi itu telah dipilih Rangga.
Apa yang tersisa? Ini adalah salah satu potret buram dari lemahnya perlindungan negara kepada masyarakat. Kepedihan yang tidak berperi terhadap perempuan dan anak. Negara gagal melindungi mereka.
Kiranya, hukuman matipun hampir tak pantas atas perlakuan bejat pelaku. Hukum harus ditegakkan.
Rangga telah pergi. Selama-lamanya. Rangga telah berlindung di sisi Yang Maha Kuasa..
Berani melawan, membela kebenaran, menegakkan kehormatan keluarga: Rangga. Tidak berlebihan kiranya, sikap seperti ini kita sebut dengan Merangga…[Alja Yusnadi]