• About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
Alja Yusnadi
  • Beranda
  • Tentang AY
  • Tentang Situs
  • Daftar Isi
    • CePAY
    • Desa AY
      • BUMDesa
      • Profil Desa
      • Tokoh Desa
    • Feature AY
    • Galery AY
    • Haba AY
    • Jak AY
    • Kolom AY
    • Mata AY
    • Rumeh AY
    • Sahabat AY
    • Wawancara AY
  • Kontak AY
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Tentang AY
  • Tentang Situs
  • Daftar Isi
    • CePAY
    • Desa AY
      • BUMDesa
      • Profil Desa
      • Tokoh Desa
    • Feature AY
    • Galery AY
    • Haba AY
    • Jak AY
    • Kolom AY
    • Mata AY
    • Rumeh AY
    • Sahabat AY
    • Wawancara AY
  • Kontak AY
No Result
View All Result
Alja Yusnadi
No Result
View All Result
Home Feature AY

Coba-Coba LKS

Alja Yusnadi by Alja Yusnadi
Desember 24, 2020
in Feature AY
0
Ilustrasi: KSEI

Ilustrasi Lembaga Keuangan Syariah: KSEI

0
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Alja Yusnadi

LKS itu bukan Lembaran Kerja Siswa, ya: Lembaga Keuangan Syariah. Seperti Bank, Asuransi, Pegadaian dan semacamnya yang di syariahkan—sistem ekonomi dalam Islam.

Qanun itu sudah disahkan pada tahun 2018. Secara mengejutkan, Gubernur Aceh, Nova Iriansyah meminta agar proses konversi Bank konvensional ke Bank Syariah ditunda sampai tahun 2026, padahal dalam Qanun itu diberikan 3 tahun untuk masa transisi. Artinya, 2021 sudah syariah. Seluruhnya.

Yang membuat terkejut bukan apa-apa, karena perubahan itu “dipaksa” menggunakan Qanun Aceh yang disepakati oleh DPRA dan Gubernur Aceh juga. Nah, tiba-tiba dalam perjalanannya, justru diminta tunda oleh Gubernur.

Padahal, betapa superiornya Qanun—yang di provinsi lain disebut peraturan daerah—No 11 tahun 2018 tentang LKS itu. Peraturan daerah mampu “menaklukkan” perusahaan BUMN yang notabenenya diatur dengan Undang-undang.

Bank-bank dan Lembaga Keuangan lain itu seperti tidak berdaya, sudah dua tahun mereka mempersiapkan diri untuk beralih ke Syariah. Apakah proses itu berjalan mulus?

Di internal, manajemen menawarkan kepada karyawan—melalui survei—apakah memilih tetap di konven atau syariah. Jika karyawan memilih Konven, maka akan di mutasi ke luar Aceh. Jika memilih syariah, tetap di Aceh.

Hasilnya? Ada yang tetap di konven, banyak juga yang beralih ke syariah. Tidak sedikit pula yang memilih keluar.

Selama proses persiapan itu, banyak suara-suara sumbang dari masyarakat yang selama ini menjadi nasabah Bank konvensional. Masalah datang bagi masyarakat yang bekerja di perusahaan nasional yang sistem keuangannya menggunakan jasa Bank konvensional.

Perusahaan harus memberikan kekhususan kepada karyawan dari Aceh untuk menggunakan jasa Bank syariah.

Masalah juga dihadapi masyarakat yang memiliki relasi bisnis di luar Aceh yang menggunakan jasa Bank konvensional. Walaupun, semua itu bisa saja disesuaikan, walau sedikit ribet.

Sebenarnya, perihal syariah-syariahan ini bukan barang baru di Aceh. Entah melalui Qanun atau tidak, suatu waktu, nama isntansi pemerintah semuanya disertai tulisan Arab. Misalnya, Kantor Gubernur Aceh, maka di bawahnya diikuti tulisan arab.

Kita Tarik lagi ke belakang, perkara mensyariahkan masyarakat juga mulai diperkenalkan dengan memotong celana perempuan di tempat umum, bahkan ada yang memotong rambut perempuan yang tidak sempurna menggunakan penutup kepala.

Itu terjadi dua puluh tahun yang lalu. Di saat konflik Aceh mulai memanas.

Hasil dari gerakan pensyariahan ini ditangkap oleh pemerintah pusat, dan segera memformalkannya melalui otonomi khusus. Pun hal itu tidak bisa menyelesaikan konflik Aceh yang sudah akut itu.

Sebenarnya, tidak ada masalah dengan semua itu. Asal dilakukan dengan sadar dan merupakan value yang hidup di tengah masyarakat, bukan di dorong oleh kepentingan politik.

Kembali ke Qanun LKS tadi. Baru-baru ini, Gubernur Aceh mengirim surat ke DPRA untuk merevisi Qanun LKS tersebut.

Salah satu yang membuat Nova untuk berfikir ulang adalah masukan dari para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh. Para pengusaha itu—terutama eksportir—mengeluhkan terjadinya penambahan biaya dan waktu jika menggunakan jasa Bank syariah.

Sebabnya, negara-negara tujuan itu belum syariah.

Kendala yang dihadapi para pengusaha itu masuk akal. Yang jadi masalah, kenapa hal-hal demikian tidak muncul di saat penyusunan Naskah Akademik, di saat pembahasan, bahkan di saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).

Patut diduga, dari beberapa proses itu ada yang salah atau tidak maksimal dilakukan. Seharusnya, Qanun serumit ini harus di bahas secara matang. Tidak boleh coba-coba. Tidak juga untuk gagah-gagahan.

Kita jangan terjebak pada penggunaan istilah, apapun nama dan istilah perbankan itu harus berlaku adil dan membantu perekonomian masyarakat.

Lagi pula, dari sistem keuangan syariah yang sudah ada selama ini, apakah memberikan efek positif terhadap masyarakat dan perekonomian Aceh? kecuali mengganti sejumlah istilah, misalnya Murabahah, Mudharabah, dan sejenisnya.

Nampaknya, mau memakai sistem konvensional maupun syariah, pekerjaan yang paling berat adalah membuat masyarakat mudah, apalagi sejahtera.

Ada baiknya, tukang legislasi memikirkan bagaimana pelaku usaha mikro dan usaha informal yang tidak memiliki jaminan dapat mengakses permodalan ke lembaga keuangan syariah itu. Kalau perlu ditalangi pemerintah. Seperti mengalihkan skema hibah ke skema semi hibah dah semi perbankan itu.

Sekalian menyediakan jasa “konsultan” yang dapat memberikan arahan agar usaha yang sangat mikro sekalipun dapat berkembang.

Yang perlu diingat, di saat krisis—juga di saat pandemi—yang banyak bertahan adalah usaha informal dan mikro. Sektor ini menjaga stabilitas, keseimbangan dan membuka lapak kerja.

Tapi itu tadi, sektor ini sering kali luput dari perhatian kebijakan. Padahal, kehadiran mereka telah meringankan beban pemerintah daerah.…[Alja Yusnadi]

Previous Post

Hattrick Risma

Next Post

Kabinet Cemekam

Alja Yusnadi

Alja Yusnadi

Related Posts

Bersama Pimpinan Partai Gerindra Aceh
Feature AY

Bersama Pimpinan Partai Gerindra Aceh

Maret 9, 2025
Anggota DPRK Aceh Selatan Dorong Lahirnya Badan Pendapatan
BUMDesa

Fajar Usaha

Maret 8, 2025
Kopi Gayo: Jejak Sejarah, Warung Kopi, hingga Identitas Orang Aceh
Desa AY

Kopi Gayo: Jejak Sejarah, Warung Kopi, hingga Identitas Orang Aceh

Juli 10, 2024
Simpang Lima Banda Aceh (Fhoto:Detiknews)
Feature AY

Alumni Simpang Lima

Desember 17, 2020
Ilustrasi (Medcom.id)
Feature AY

Setelah Perjanjian Itu

Desember 14, 2020
Ilustrasi: acehonline
Feature AY

Mencari Pendamping Nova

Desember 6, 2020
Next Post
Ilustrasi by Fajar

Kabinet Cemekam

Resen Postingan

Tega, Pemkab Belum Bayar Jasa Non Kapitasi, Begini Kata Anggota DPRK Aceh Selatan

Maret 26, 2025
BI: Total Factor Productivity Harus Naik untuk Capai Pertumbuhan 8 Persen

BI: Total Factor Productivity Harus Naik untuk Capai Pertumbuhan 8 Persen

Maret 17, 2025
Dahlan Iskan (Sumber: Disway.id)

Gemerlap Danantara

Maret 17, 2025
Kongres Luar Biasa

Kongres Luar Biasa

Maret 9, 2025
Bersama Pimpinan Partai Gerindra Aceh

Bersama Pimpinan Partai Gerindra Aceh

Maret 9, 2025
Bersama Mentri Kebudayaan

Bersama Mentri Kebudayaan

Maret 9, 2025
Alja Yusnadi

© 2024 Alja Yunadi - Rumah Menulis AY theme by Eza.

Navigate Site

  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

Follow Us

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Tentang AY
  • Tentang Situs
  • Daftar Isi
    • CePAY
    • Desa AY
      • BUMDesa
      • Profil Desa
      • Tokoh Desa
    • Feature AY
    • Galery AY
    • Haba AY
    • Jak AY
    • Kolom AY
    • Mata AY
    • Rumeh AY
    • Sahabat AY
    • Wawancara AY
  • Kontak AY

© 2024 Alja Yunadi - Rumah Menulis AY theme by Eza.